REMBANG (SUARABARU.ID)-IBARAT berlian yang teramat mahal dan mewah. Itulah arti air bagi masyarakat Dusun Wuni, Desa Kajar, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Air sangat sulit didapatkan. Berpuluh-puluh tahun mereka harus berjuang untuk mendapatkan air bersih. Bahkan, sejak nenek moyang mereka bermukim di dusun tersebut, kebutuhan air bersih tidak pernah terpenuhi.
Kondisi geografis dusun yang berada di atas ketinggian dengan elevasi (kemiringan) 88 meter itu, menjadi salah satu penyebab mengapa air bersih sulit didapat. Bahkan, tidak satu pun di antara 145 Kepala Keluarga di dusun tersebut memiliki sumur. Selama ini mereka mendapatkan air dengan cara menampung (tadhah hujan) saat musim hujan tiba.
Dusun Wuni adalah satu dari tiga dusun yang masuk wilayah Desa Kajar. Dua dusun lain adalah Jatimalang dan Kajar. Desa Kajar masuk ringsatu PT Semen Gresik Pabrik Rembang. Lima desa lain yang masuk ring satu adalah Tegaldowo, Kadiwono, Pasucen, Ngampel, dan Timbrangan.
Dari tiga dusun di Desa Kajar, Dusun Wuniyang paling kesulitan air bersih. Selain mengumpulkan air dari tadhah hujan, jika ingin memiliki air bersih warga harus berjalan kaki sekitar satu kilometer untuk mengambil air dari Desa Waru. Perjalanan mendapatkan air bersih di Desa Waru juga harus bersusah payah. Jalan naik turun harus dilalui oleh warga.
Air yang diambil sebenarnya hanyauntuk mencukupi kebutuhan masak memasak dan sekadar minum. Untuk keperluan mandi, terpaksa mereka melakukan tidak setiap hari.
Berjalan Kaki
Sebelum ada bantuan dari CSR Semen Gresik, warga harus berusah payah untuk mendapatkan air bersih. Kami harus berjalan kaki sekitar satu kilometer ke Desa Waru, wilayah tetangga kami. Jalan terjal naik turun harus dilalui sekadar mengusung satu jerigen air bersih,” ujar Kepala Dusun Wuni, Sono menceritakan kesusahan masa lalu.
Kepala dusun yang menjabat sejak 2008 itu bercerita, pada 2017 pihaknya mulai tergerak mencari jalan agar bisa memanfaatkan aliran air di bawah Gua Manuk. Dari cerita warganya yang sering mengambil sarang burung walet sejak 1980, di dasar gua ada aliran air.
Pada 2017, Sono bersama dua wargamencoba membuktikan kebenaran cerita dari mulut ke mulut tentang adanya sumber mata air di Gua Manuk. “Saya turun langsung ke dalam gua, ternyata cerita yang selama ini saya dengar ada air di bawah gua tidak salah. Di dasar gua benar ada sumber mata air,” kenang kepala dusun berusia 40 tahun itu.
Gua dengan kedalaman sekitar 60 meter itu sering disambangi pengunduh sarang burung walet. Cerita dari mulut ke mulut tentang adanya mata air di bawah gua, juga didapat dari pengunduh sarang burung walet. “Tadinya mereka sering melempar batuke bawah. Saat batu terlempar ke bawah, ada suara air,” kenang Sono.
Dua tahun setelah dipastikan terdapat sumber mata air di bawah Gua Manuk, Sono beserta kepala desa memberanikan diri mengajukan proposal kepada PT Semen Gresik. “Proposal kami langsung disetujui setelah melalui beberapa kajian,” ujar Sono.
Bantuan CSR
Melalui Corporate Social Responsibity (CSR), disalurkan bantuan untuk kebutuhan pembelian pompa dan pipanisasi. “Air kami sedot dari bawah melalui pompa, kemudian kami salurkan dengan pipa menuju bawah,” imbuh Sono.
Kesulitan air bersih yang bertahun-tahun dialami masyarakat Dukuh Wuni pun akhirnya teratasi. Air bersih yang selama ini hanya ada dalam angan-angan,tidak lagi sekadar mimpi.
Kini, tidak sekadar untuk kebutuhan memasak, air bersih dari Gua Manuk dimanfaatkan juga untuk kebutuhan primer lainnya, mandi. Bahkan juga untuk memunuhi kebutuhan pakan ternak seperti sapi dan domba. “Tegalan yang tadinya tidak pernah tersentuh air pun kini bisa dialiri air untuk bercocok tanam,” ujar Sono.
Untuk kebutuhan warganya, perangkat desa menyediakan empat tandon air yang tersebar di beberapa tempat. Tandon air digunakan untuk menampung air yang sudah disedot dari atas (Gua Manuk). Masyarakat yang membutuhkan tinggal mengambil dari tandon air.
“Setiap warga yang mengambil satu jerigen kami pungut Rp 500. Uang tersebut kami pergunakan untuk perawatan pipa, pompa, dan petugas yang merawat Gua Manuk,” tutur Sono.
Saat ini, pengelolaan dan pemeliharaan air bersih dilakukan secara mandiri oleh perangkat desa. Cara ini dinilai lebih efektif dan sudah berjalan dengan baik. Itulah sebabnya belum ada rencana menggandeng pihak BUMDes. “Dengan model pengelolaan seperti sekarang ini belum ada keluhan dari warga. Kami juga belum berencana menyerahkan pengelolaan kepada BUMDes,” tandas bapak dua anak ini.
Pantangan Hari Jumat
Pemeliharaan mata air Gua Manuk secara rutin dilakukan. “Petugas kami langsung bekerja jika ada problem, seperti pompa rusak atau ada pipa yang bocor. Petugas tidak mengenal waktu, jika ada laporan tentang problem mata air, entah siang atau malam saat itu juga mendatangi lokasi,” kata Sono.
Dia menceritakan, kendati petugas setiap waktu segera mengatasi problem jika ada masalah, namun khusus hari Jumat tidak dilakukan. Ada gugon tuhon (kepercayaan masyarakat) di sana, Jumat merupakan hari pantangan bagi petugas untuk mengatasi masalah, apakah pipa bocor, tandon bocor, atau pompa rusak.
“Beberapa kali saat terjadi problem hari Jumat dan ditangani, petugas mengalami kejadian di luar nalar.
Terkait ada beberapa pihak yang memprediksi sumber mata air akan rusak akibat adanya penggalian bahan pembuataan semen, Sono meyakinkan, prediksi itu tidak akan terjadi. Selama dua tahun lebih sumber mata air diambil tidak ada perubahan. Bahkan pada saat musim kemarau, air tetap bisa diambil untuk kebutuhan 450 jiwa warga Dukuh Wuni.
“Kami tidak pernah terganggu dengan prediksi mata air akan surut, karena kenyataannya selama dua tahun ini tidak ada kendala pengambilan air dari dari Gua Manuk. Kajian yang dilakukan oleh pihak luar juga sudah membuktikan, mata air ini layak untuk kami konsumsi,” tegas Sono.
Dia menginginkan, ke depan ada bantuan CSR lagi. Bantuan yang diharapkan adalah pipanisasi langsung ke rumah warga. Dengan demikian pengambilan air tidak perlu lagi dengan mendatangi tandon. Cara ini dianggap lebih efektif dan bisa langsung dirasakan oleh warga.
Ingin Memakmurkan Warga
Sementara itu, pengelolaan air bersih di Desa Pasucen, Kecamatan Gunem, boleh jadi sudah lebih maju dibandingkan di Desa Kajar. Di desa berpenduduk kurang lebih 750 jiwa itu, pipanisasi dari sumber mata air sudah langsung menuju ke rumah-rumah. Secara geografis, Pasucen lebih datar, sehingga memungkinkan pipa mudah sampai ke rumah.
Kepala Desa Pasucen Salamun mengisahkan masa kecilnya. Saat itu warga desa kesulitan air, khususunya pada musim kemarau. Jika kemarau tiba, yang dilakukan warganya adalah mengambil air dengan cara dipikul. Mata air di desa tersebut berada di bawah, kurang lebih satu kilometer dari perkampungan.
“Cita-cita saya sejak jadi kepala desa ingin memakmuran warga, khususnya mengatasi masalah air bersih. Air memang menjadi problem utama kami, padahal air adalah kebutuhan sehari-hari. Saya teringat betul saat kecil harus ikut mengambil air. Kesusahan itulah yang mendorong tekad saya agar warga bisa mudah mendapatkan air bersih,” ujar Salamun, yang memimpin Pesucen sejak 2013.
Kehadiran pabrik semen, bagi warga Pusucen adalah berkah. Hampir lima puluh persen warganya bekerja di pabrik, kondisi yang tidak pernah terpikirkan.Dahulu wargabanyak yang merantau ke luar kota, khususnya ke Jakarta. Para pemuda desa juga sering mabuk-mabukan, sehingga suasana sering tidak kondusif.
Kegiatan kepemudaan juga tidak berkembang. Para pemuda cenderung kurang aktivitas. Kini, setelah ada BUMDes, munculbanyak kegiatan. Pengelolaan air bersih diserahkan melalui BumDes yang diketuai remaja putri, Novi Tri Lestari. Demikian juga kesenian diserahkan kepada para remaja.
Novi Tri Lestari mengakui dorongan dari kepala desa membuat dia bersama pengurus lain lebih mantap mengelola beberapa kegiatan, seperti pengelolaan air bersih dan kesenian.
Air bersih dikelola dengan memperhitungkan penggunaan air di masing-masing rumah. Setiap satu meter kubik, BumDes menerapkan tarif Rp 3.000. Kalau di rata-rata setiap rumah menggunakan air 20-30 meter kubik, namun pihak BumDes tidak membatasi penggunaan air.
Selain masjid dan musala, rumah yang teraliri air diwajibkan membayar sesuai dengan kesepakatan bersama. “Hanya masjid dan musala yang dibebaskan dari kewajiban membayar, itu pun pemakaian maksimal hanya lima meter kubik perbulan. Jika lebih dari itu, tetap kami tarik urannya. Balai desa juga seperti rumah-rumah warga, harus membayar setiap bulan,” ujar Novi.
Dia tidak menampik, setiap bulan ada warga yang menunggak membayar iuran air. Namun biaya keterlambatan akan dihitung pada iuran bulan berikutnya. Prinsip pengelola air bersih, bisa memahami kondisi warga dan tidak membebani mereka.
Diberlakukannya tarif per meter kubik dimaksudkan agar warga merasa memiliki, sehingga bisa merawat peralatan meteran yang ada di rumah masing-masing. Sebab, jika digratiskan, dikhawatirkan warga seenaknyasendiri menggunakan air.
Salamun menambahkan, aturan iuran penggunaan air bersih juga bertujuan agar pola pikir warga berkembang. Mereka dilatih tanggung jawab untuk disiplin melaksanakan kewajibannya. Tidak hanya haknya yang diterima, tetapi harus berpikir timbal balik.
“Iuran dari warga disamping untuk pemeliharaan, juga untuk membayar tenaga yang mengurusi air. Kadang ada problem aliran air, tidak jarang terjadi malam hari. Jika terjadi malam hari, tenaga kami langsung datang dan memperbaiki,”tuturnya.
Suarabaru.id/Tim