Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM
Jawabnya Ya benar, jika dibarengi jiwa tasamuh (tolerans). Tidak benar, jika dibarengi jiwa tafaruq (intolerans). Statemen dari judul yang substansinya benar tersebut sudah bermasalah meskipun dikutip oleh Al-Hafidz Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim, karena hadits ini dikategorikan maudhu’ oleh Syaikh Al-Utaibi (Tanziehus-Syarie’ah 2/402).
Menurut berbagai kamus, khilaf-ikhtilaf adalah “perbedaan paham” (Warseon Munawir, 392).
Dalam sejarah Islam, telah viral bahwa perbedaan paham khususnya tentang bentuk dan estafet kekhilafahan sebagai ibadah ghairu mahdhah telah terjadi sejak zaman old.
Selanjutnya ada perbedaan empat mazhab besar yang pengikut mutakhir-nya pernah memanas, tetapi ajib, karena akhirnya terbukti bisa menyatu dalam satu ormas atau negara.
Kembali era klasik, perbedaan paham politik waktu itu telah menelan korban-syahid tiga khalifah dari empat khulafa’rasyidin. Bagi orientalis Robert N Bellah, hal ini dipicu oleh ajaran Islam yang modernitasnya kejauhan mendahului umatnya.
Menurut Syaikh Ibnu Taimiyah, perbedaan paham ada dua macam. 1. khilaf Tadhod +kontradiktif) yang tidak mungkin semua benar maka harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. 2. khilaf tanawu’ (variatif) yang keduanya bisa benar seperti macam- macam doa iftitah.
Pertanyaanna! Kan era khulafa’rasyidin pasti sudah merujuk Al-Qur’an dan sunnah? Mungkinkah reasoningnya saja yang berbeda? Karena dalam hal politik, Al-Qur’an dan sunnah penjelasannya bersifat global.
Ada lagi perbedaan paham tafsir di bidang sainstek. Yaitu dua ulama tanpa madzhab yang berslogan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Beliau adalah A. Hasan Bangil dan Prof. Dr. Muhammad Hasbie As-Shiddiqie, tentang hadits air minum yang kemasukan lalat (Bukhari no 3320).
Menurut Prof Hasbie, meskipun hadits itu sahih tetapi hukumnya mutawaqquf ‘alaih karena belum diketahui hikmahnya secara medis (Lihat: Koleksi Hadits Hukum).
Beda pendapat dengan A. Hasan, mau ada hikmah apa tidak, hadits itu harus dijalankan sebagai ta”abbudi” (Lihat: Soal Jawab Bangil). Kalau mengikuti fatwa Ibnu Taimiyah, harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Bagaimana mungkin, wong mereka berdua tokoh tanpa madzhab yang selalu kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah. Untung ada penelitian Prof. Dr. Biran tentang sayap kanan lalat yang mengandung syifa’ dan sebaliknya. Jika tidak ada, bagaimana melaksanakan fatwa itu?
Demikian juga dalam soal ibadah salat. Yaitu soal i’tidal setelah takbir, Prof. Hasbie menyarankan tangan langsung lurus ke bawah. Sementara A. Hasan menyarankan langsung sedekap seperti waktu berdiri sebelum ruku’.
Apakah ini khilaf tanawwu’ yang memang dicontohkan oleh Rasul secara berbeda? Apakah khilaf ini bukan karena pemahaman terhadap satu informasi tetapi berbeda cara pandang? Perbedaan pendapat soal ini juga terjadi antara Syaikh bin Baz dan Syaikh Al-Albani (Al-Manhaj.or.id/2408-con).
Mengenai salat lima waktu sehari semalam. Kita meyakini lima waktu adalah sesuatu yang pasti karena bersumber dari hadits mutawatir. Tetapi dengan berbagai argumen Sulaiman al-Ghanim menyebut salat lima waktu sebagai pengaruh Zaraoster.
Bagi dia, semua waktu salat bisa dikembalikan kepada Al-Qur’an hanya dalam dua waktu, yaitu “bukratan wa ashiilan” dan atau “”Ghuduwwi wal Aashaal” (QS. 33/42; 7/205).
Melihat realitas tersebut, rasanya dari anasir keislaman yang tidak akan pernah berbeda adalah kalimah “Tahlil”. Kalimah tentang Keesaan Allah SWT. Kalimah ini didahului nafi lalu itsbat, yang menjadi pangkal keselamatan.
Lafal Allah adalah satu-satunya Asma Tuhan yang tidak bisa di pluralkan. Allah, tidak bisa menjadi seperti nama tuhan yang lain misalnya: Tuhan-Tuhan, Gods, Godling, Goddess, Ilaahun-Aalihah dan lain sebagainya.
Inilah kalimat penyelamat: اخرجوامن النار من كان في قلبه مثقال حبة من خردل من ايمان (HR. Bukhari no 22). Artinya: Keluarkanlah orang yang memiliki iman seberat biji sawi sekalipun!
Wallaahu A’lam bis-Shawaab!
Penulis Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo