Hampir sebagian orang mengalami hal serupa. Pada awal berumah tangga, tinggal sesaat di pondok (mertua) indah. Saya pun mengalaminya, walau saat itu saya sudah ada penghasilan.
Tentang membangun rumah, saya terinsipasi pengalaman teman. Saat dia sowan sesepuh, PNS dengan satu anak itu ditanya tinggal di mana? Dia menjawab,”Kadang di rumah orang tua, kadang di rumah mertua.”
Jawab Sesepuh,”Rezekimu sebenarnya sudah mengejarmu, karena kamu mondar-mandir, maka rezekimu lelah mencarimu. Menetaplah pada satu tempat, walau itu hanya rumah kecil, insya Allah nanti rezekimu akan mendatangimu.”
Magnet Rezeki
Menurut keyakinan orang tua, rumah itu wadah dan sekaligus magnet rezeki. Banyak cara bisa dilakukan untuk memotivasi bagi yang ingin punya rumah. Misalnya, melukis rumah idaman, ditempel pada dinding dan dilihat menjelang tidur, agar terbawa pada alam mimpi.
Namun cara itu masih sebatas mengajukan “proposal” pada-Nya. Yang lebih nendang itu jika pakai jurus nekat, langsung memulai membuat vondasi, dan setelah itu dilanjutkan secara bertahap.
Ada ajaran sesepuh yang lebih rasional dengan konsep istikamah dan itu lebih efektif, terutama bagi kalangan remaja usia 20-an tahun yang hidup di pedesaan. Yaitu, saat mandi ke sungai, pulangnya membawa batu atau pasir.
Walau hanya satu ember kecil, jika itu dilakukan dalam waktu satu, dua hingga tiga tahun, maka dia mampu mengumpulan pasir dan batu yang lumayan banyak, dan pada saat nanti membangunan rumah, sebagian dari kebutuhannya sudah tersedia.
Untuk memulai membangun rumah, terkadang perlu jurus nekat. Artinya, kalau baru ada rezeki untuk vondasi, jangan mikir dulu tembok dan gentengnya. Kebutuhan lain dipikir sambil jalan. Asal mulut berdoa, tangan bergerak, insya Allah dimudahkan. Jangan batasi keajaiban dengan logika.
Doa dan Ikhtiar
Awal kami menikah saya sempat tinggal di rumah mertua. Semangat untuk segera memiliki rumah itu ada. Karena itu saya sowan sesepuh. Setelah menempuh 10 jam perjalanan, saya bertemu beliau dan diberi doa yang harus diamalkan 40 malam tanpa terputus.
Ketika wirid itu hampir selesai, tanda akan terkabulnya doa itu mulai tampak. Saya menerima surat dari penerbit yang berminat membeli hak cipta tulisan saya berseri yang dimuat disebuah harian.
Hasil penjualan hak cipta itu hanya cukup untuk vondasi. Namun, setelah buku pertama terbit dan oleh pasar direspon baik, penerbit pesan naskah lagi. Satu naskah selesai, pesan lagi, dan itu beruntun, hingga proses pembangunan rumah berlangsung cepat.
Setelah terbit buku ketujuh, ada penerbit lain menggoda dengan tawaran yang lebih tinggi plus bonus. Yaitu, setiap saya memberi info judul buku yang akan datang, penerbit transfer fee setara harga naskah penerbit pertama. Harga naskahnya tentu lebih besar, dan pembangunan rumah pun berlangsung lancar.
Tanpa Keringat
Satu tahun kemudian, saat ingin memperluas bangunan, saya mengamalkan wirid yang dulu saya amalkan. Keajaiban pun terulang yang menyebabkan perluasan bangunan itu bisa dibilang “tidak berkeringat”.
Yaitu, ada pembaca buku dari negeri tetangga mengaku uangnya dikuasai seseorang dan dia minta saya untuk mengurusnya. Karena saya kenal, saya cukup kontak via telepon. Uang itu langsung dikirim. Setelah sudah ditangan, saya menghubungi pemiliknya, dan jawabnya? “Saya ikhlas uang itu buat bapak, daripada dimakan jin.”
Begitu juga saat perluasan rumah sisi timur, polanya sama, “tidak berkeringat”. Saya diundang ke luar Jawa oleh pembaca buku yang akan ikut Pilkada. Selain urusan metafisika, mereka perlu desain spanduk, benner, baliho, Dsb.
Untuk jasa itu saya dibayar di depan, termasuk DP cetaknya. Namun proyek itu gagal, karena dia lebih tertarik menerima tawaran organisasi internasional untuk memegang wilayah Indonesia Timur. Dan anggaran itu diminta ganti lukisan, dan sisanya diikhlaskan.
Tiga hal terjadi dengan pola mirip, mudah dan tanpa mikir! Keajaiban keempat berkaitan dengan rumah pun menyusul. Ada pembaca buku yang teman Facebook ke rumah. Melihat ada rumah kosong di sebelah rumah, dia berminat membelinya.
Rumah kosong itu milik almarhum janda tua yang terusir dari rumahnya karena digugat saudaranya. Karena iba, Ayah-Ibu mempersilakan dia membangun rumah di sisi timur rumah saya. Soal harga tanah, boleh dibeli semampunya.
Karena merasa ditolong, dia ikrar akan merawat Ibu saya sampai akhir hayat. Niat baik itu tidak kesampaian karena Ibu itu meninggal dulu. Mungkin karena tidak bisa menepati janji, rumah dan tanahnya “dikembalikan” kepada anaknya melalui mekanisme alam yang unik.
Bahan Tulisan
Ketika kejadian itu saya tulis dalam buku “Doa Pengundang Sukses”, banyak pembaca mengamalkannya, namun infonya kurang mengalami sensasi spiritual seperti yang saya alami.
Kenapa? Proses metafisis itu layaknya hipnoterapi. Untuk hasil maksimal melalui tahapan-tahapan : Pra induksi, induksi, deepening, depth level test, sugesti, dan seterusnya. Orang mendapat ilmu melalui proses jalan jauh, tentu beda dengan yang dapat dari copy paste di google.
Karena Tuhan juga menilai tingkat kesungguhan dan keringat hamba-Nya. Selain itu, termasuk doa yang diprioritaskan Tuhan adalah doa para musafir. Ingin ampuh? Jalan yang jauh!
Masruri, konsultan dan praktisi metafisikan tinggal di Sirahan Cluwak, Pati