blank

Oleh: Gebi Septemberi Putri Shinta

KEBEBASAN pers di Indonesia selalu menghadapi pasang surut dari tahun ke tahun, termasuk sejak reformasi bergulir. Bahkan, pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang ini, cenderung mengalami kesurutan.

Menurut Hantoro (2019), terdapat tiga indikator dalam mengukur kebebasan pers, di antaranya indikator hukum mengenai kebijakan pemerintah terhadap kebijakan pers, indikator ekonomi mengenai pemerataan dan kesetaraan, serta indikator politik yang tidak campur tangan dan bersih.

Ketiga indikator tersebut tampaknya belum dapat dipenuhi oleh pemerintah. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ikut memperkeruh keadaan. UU yang paradoks dengan Undang-Undang Pers itu menjadi faktor serius.

UU yang awalnya untuk melindungi konsumen dalam melakukan transaksi elektronik di tengah kemarakan penggunaan internet dalam perekonomian nasional, justru bergerak untuk membungkam para pengkritik pemerintah.

UU ITE mematahkan UUD 1945 Pasal 28-F yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia. Dengan kata lain, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM) yang diamanatkan oleh konstitusi malah tertindih oleh pemberlakuan UU ITE.

Sudah berpuluh-puluh kasus dugaan “menghina” Presiden berujung dengan pemidanaan pihak yang bersangkutan. Lalu bagaimana dengan pernyataan Presiden Jokowi dalam pidato
Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari lalu yang berharap masyarakat mengkritik pemerintah?

Faktanya, masyarakat lebih takut untuk berpendapat, karena ancaman terjerat UU ITE. Inikah yang dinamakan dengan kebebasan pers? Betulkah selama ini terjadi kebebasan yang
“kebablasan”?

Terperangkap

Pemerintahan Jokowi dapat membawa pers ke dalam perangkap dan terbatas seperti era sebelum reformasi, yakni oleh adanya kebijakan-kebijakan yang berpotensi mengkriminalisasi. Misalnya dengan rencana menghidupkan kembali pasal penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP Pasal 224, yang sebelumnya telah dihapuskan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi.

Jika dihidupkan kembali, maka sasaran pertama adalah pers, karena pasal penghinaan bersifat lentur dan multitafsir. Jika terdapat narasumber dan media massa yang kritis terhadap kepala negara, mereka akan dengan mudah dibungkam. Selain itu, pemerintah tidak berupaya menghilangkan ancaman kebebasan pers di internet (Himawan, 2015).

Pers mengalami banyak sekali manipulasi dan kooptasi. Pemuatan berita yang tidak disukai oleh pemerintah dapat dengan mudah mendapatkan blackout atau framing, karena pemilik media sebagian besar merupakan bagian dari kekuasaan.

Contohnya, berita-berita unjuk rasa Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia dan unjuk rasa ribuan guru honorer ke Istana dalam
sekejap menghilang dari sebagian besar media mainstream. Sejumlah stasiun televisi juga kerap mendapat tekanan untuk tidak menyiarkan berita maupun konten acara yang kritis.

Kasus-kasus ini dirasa sangat memiriskan, mengingat Jokowi mendapat medali Kebebasan Pers pada peringatan HPN 2019 di Surabaya. Jokowi dianggap tidak pernah mencederai kemerdekaan pers. Namun bagaimana kenyataannya?

Lance Morcan, penulis asal Selandia Baru mengatakan, adanya manipulasi media sama saja dengan meracuni persediaan air di sebuah negara. Kerusakan yang timbul bersifat menyeluruh di semua sektor kehidupan dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Jika kebebasan pers terus-menerus terhambat, kondisi ini tentu mengerikan, dengan melihat pengalaman pada orde-orde sebelumnya. Sangat diharapkan pada era reformasi ini segala
bentuk kriminalisasi terhadap pers dapat dihilangkan.

Revisi UU ITE

Sebetulnya, hal yang dapat menyelamatkan kebebasan pers di masa pemerintahan Presiden Jokowi hingga masa mendatang adalah dengan menghapuskan pasal-pasal dari UU ITE yang
rentan disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat.

Gagasan ini, tampaknya mulai disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD. Perlu diberlakukan dan diwujudkan kerja sama antara pemerintah dan pers, yaitu pemerintah yang bersifat terbuka menerima kritikan dan masukan, serta pers yang bersifat bebas tetapi bertanggung jawab. Kita perlu belajar dari masa sebelum reformasi, agar tragedi-tragedi pers di masa kelam tidak terjadi lagi.

Gabi Septemberi Putri Shinta, mahasiswa Fiskom, UKSW, Salatiga.