blank
Warga mengambil nasi tumpeng dan aneka jajanan usai dikirabkan di Pasar Kalipung, hari ini. Eko Priyono

MAGELANG (SUARABARU.ID) – Lagi, sebuah atraksi wisata yang tidak biasa. Sebuah dusun di Desa Ngadirejo, Salaman, Kabupaten Magelang, menawarkan hal yang berbeda bagi wisatawan.

Kalipong, ya, kata ini merupakan kependekan dari kata Kali Pongangan. Pongangan adalah nama dusun di Desa Ngadirejo, Salaman, Kabupaten Magelang. Di dusun ini, setiap hari Minggu digelar pasar tradisional di bawah rumpun bambu yang berada di pinggir sungai. Suasana yang rimbun dilengkapi cukup banyak pedagang aneka makanan tradisional.

Pembelinya menggunakan Koin Pong yang merupakan singkatan Pongangan. Untuk mendapatkan koin harus terlebih dahulu menukarkan uang di panitia, setiap koin Rp 2 ribu. Cara seperti ini juga dilakukan di Pasar Papringan, Temanggung atau Karetan di Boja Kendal. Ternyata keberadaan pasar tradisional yang kemudian menjadi tujuan wisata ini sudah berjalan selama satu tahun.

Syarif Adi Nugroho, panitia penyelenggara kegiatan ini menuturkan, acara hari Minggu ini beda dari biasanya, karena memperingati satu tahun dibukanya pasar tersebut.

“Tadi malam dilakukan mujahadah di pinggir kKali Pongangan. Lalu hari ini ada kirab budaya dengan mengarak empat nasi tumpeng yang dilengkapi air dari tujuh mata air. Tujuh mata airnya dari wilayah Magelang dan sekitarnya, termasuk dari Wonosobo.

Air tersebut dipercikkan ke kios-kios pasar dibarengi azan oleh tujuh orang warga setempat.  Juga dilakukan doa yang dipimpin oleh sesepuh setempat,” tutur lelaki yang akrab dipanggil Aad, Minggu pagi (14/2/2021) tadi.

Setiap Minggu pasar tradisional itu buka pukul 06.00-13.00. Khusus Minggu hari ini sampai pukul tiga sore. Hiburan kesenian tradisional hari ini juga dobel, yakni Topeng Ireng klasik dari Jetis, Ngadirejo, Salaman, dan Ngapus, Kalisalak, Salaman, Kabupaten Magelang.

Kepala Dusun Pongangan, Ngadirejo, Imroni, menambahkan, pasar tersebut dibuka pertama pada 5 Januari 2020. Lantaran adanya Covid-19 pasar itu pernah tutup. Disebutkan, jumlah pedagang makanan tradisionl di pasar itu ada 17 kios.

Dari pantauan dia pengunjung tidak hanya warga sekitar. Pernah ada dari Yogyakarta, Solo dan Klaten. Panitianya dari warga setempat. Panitia inti 16 orang, totalnya 21 orang.

Hasil dari pasar tiban tersebut antara lain dari pungutan biaya parkir kendaraan bermotor. Selain itu dari penukaran koin. Pengunjung membeli koin Rp 2 ribu/biji. Pedagang mengembalikan kepada panitia Rp 500/koin.

Sementara itu untuk lahan pasar milik beberapa orang warga. Pemilik lahan mendapat fee Rp 50 ribu setiap pasaran. Dia berharap pasar tersebut dapat menyejahterakan warga setempat. Juga dapat menyediakan tempat refreshing bagi warga sekitar.

Eko Priyono-wied