Oleh Idham Cholid
Ada yang bertanya, perlukah kita memperingati Valentine Day? Yang lebih penting sebenarnya, pernahkah kita ajukan pertanyaan, sejak kapan peringatan Valentine Day diselenggarakan?
Mungkin tak sempat lagi kita menelusuri kesejarahannya. Selama ini kita sudah terbawa euforia, mengikuti trend ramainya suasana. Apalagi pengaruh “kampanye” media sosial yang sedemikian rupa, siapa yang paling diuntungkan dari “industri” kasih sayang itu sebenarnya?
Sekilas Saja
Di Barat, Valentine Day diistimewakan sebagai hari terbesar dalam soal percintaan. Kebesarannya, ranking kedua setelah perayaan Natal. Di AS, diasosiasikan dengan ucapan umum “cinta platonik” Happy Valentine’s. Biasa diucapkan oleh pasangan pria dan wanita, atau pasangan wanita dengan wanita, atau pria dengan pria.
Menjadikan pertengahan Februari dengan asosiasi cinta, sudah ada sejak dulu kala, sejak zaman Athena kuno, persembahan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera.
Adalah Paus Gelasius I pada 496 M yang kemudian menetapkan 14 Februari sebagai hari raya peringatan Santo Valentinus.
Menurut Ensiklopedi Katolik (1908), dalam tradisi Kristiani, nama Valentinus setidaknya merujuk pada tiga “martir” atau “santo” (orang suci) yang berbeda. Yaitu, pastor di Roma, Uskup Interamna, dan Martir di Provinsi Romawi Africa.
Meskipun koneksi ketiganya dengan hari raya cinta romantis itu juga tak jelas sebenarnya. Paus Gelasius I yang menetapkan itu juga tak tau pasti. Namun pesta Santo Valentinus secara resmi dirayakan oleh Gereja Katolik Roma pada 14 Februari itu, sampai tahun 1969.
Valentinus tak lain adalah guru ilmu “Gnostisisme” berpengaruh, calon uskup Roma pada 143 M. Ajarannya, tempat tidur pelaminan memiliki tempat yang utama dalam versi Cinta Kasih Kristiani-Nya.
Kasih Sayang
Bagaimana seharusnya memaknai kasih sayang? Yang jelas, ini bukan kebetulan. Berdasarkan kalender Masehi, 14 Februari (1871) adalah tanggal kelahiran Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy’ari.
Jika kasih sayang dibangun atas dasar kokohnya ikatan batin, saling membantu, inilah sejatinya yang menjadi penyebab kebahagiaan. Ajaran ini secara tegas disampaikan Maha Gurunya para Kiai itu, sebagaimana termaktub dalam Qanun Asasi NU:
فالاتحاد وارتباط القلوب ببعضهاوتضافرهاعلى امر واحد واجتماعهاعلى كلمة واحدة من اهم اسباب السعادة واقوى دواعى المحبة والمودة
“…karena itu, persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani satu perkara dan seiya sekata adalah merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan menjadi faktor paling kuat untuk menciptakan persaudaraan dan kasih sayang.”
Hadlratus-Syaikh ajarkan itu tak hanya untuk Jam’iyah Nahdlatul Oelama yang didirikannya pada 1926. Sang Maha Guru tegaskan itu juga sebagai fondasi Indonesia. Bukankah “Ketuhanan Yang Maha Esa” ditetapkan setelah membuang tujuh kata, juga atas “petunjuk” Hadlratus-Syaikh, itu hanya demi persatuan Indonesia?
Waktu itu, di tengah kebuntuan BPUPKI (resmi didirikan pada 29 April 1945, bertepatan dengan Ultah Kaisar Hirohito), yang kemudian mulai 1 Juni 1945 berganti dengan PPKI. Kebuntuan merumuskan dasar negara, karena tarik-menarik “kepentingan” antar golongan.
Hadlratus-Syaikh memberikan solusi itu bukan atas kepentingan golongan apalagi pribadi. Istikharah khususnya menemukan jawaban, cinta dan kasih sayangnya yang mendalam untuk Indonesia.
“Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah manifestasi spiritualitas untuk keutuhan Indonesia. Resolusi Jihad-nya juga sama, untuk mempertahankan keutuhan Indonesia.
Singkat kata, Hadlratus-Syaikh adalah Bapak Bangsa, peletak dasar kemerdekaan Indonesia. Maha Guru yang layak diperingati hari kelahirannya.
Sekali lagi, perlukah memperingati Valentine Day tiap 14 Februari? Tergantung bagaimana kita akan memaknai. Bukankah setiap amal sangat tergantung pada niatnya?
Pasar Wisata, 14 Februari 2021
Idham Cholid,
Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (Jayanusa); Pembina Gerakan Towel Indonesia