Oleh: Amir Machmud NS
// keadilan, kau temukan di mana// dalam lipatan industri sepak bola?// keadilan, kau maknai seperti apa// dalam relung tradisi dan budaya// : di mana wajah akal sehat// yang menyeruak ke singgasana kuasa uang// untuk memberi warna// tentang manusia dan kemanusiaannya?// (Sajak “Keadilan dalam Sepak Bola”, 2021)
KAU temukankah keadilan dalam sepak bola?
Tak sedikit “manusia sejarah” dalam olahraga ini yang bisa menjawab dengan merasakannya.
Sepak bola adalah bagian dari budaya pop, atau refleksi kejam kehidupan manusia pada umumnya. Ketika seseorang memuncaki pendakian performa, dia dipuja-puja. Ketika mengalami penurunan, dia cepat dipertanyakan. Ketika kekalahan demi kekalahan menimpa, hanya dosa yang terlihat di mata.
Kesenjangan antara kesuksesan dan kegagalan memberi ruang untuk menyelinapkan gugatan tentang keadilan. Seolah-olah begitu mudah kontribusinya dilupakan, seakan-akan begitu sulit kegagalannya dimaafkan.
Tidak adakah ruang waktu yang disediakan untuk memberi permakluman, lalu kesempatan pemulihan?
Posisi Juergen Klopp sedang dalam kondisi yang demikian. Mohamed Salah juga mengalami ketidaknyamanan serupa. Liverpool terancam kehilangan gelar Liga Primer yang diraih pada musim 2019-2020 di tengah laju kencang duo Manchester: City dan United. Bahkan tergopoh-gopoh menghadapi cecaran Leicester City.
Sentuhan kearsitekan Klopp belum mampu memulihkan soliditas permainan The Reds yang dalam dua musim terakhir berkibar dengan gegenpressing dinamis. Perjalanan pada musim 2020-2021 ini ditandai dengan penampilan yang seolah-olah kelelahan, penurunan performa sejumlah pemain pilar, kehilangan passion, kurang terlihat lapar kemenangan, dan kisah cedera sejumlah pilar.
Para pandit sepak bola juga mulai mencecar Mohamed Salah, striker andalan The Anfield Gang dengan aneka analisis. Seperti begitu saja melupakan jasa pemain asal Mesir ini dalam kisah kebangkitan Liverpool lewat konsistensi akumulasi golnya selama tiga musim. Analis seperti Gary Neville misalnya, menyoal Mo Salah dengan tudingan egoistis, mudah kehilangan bola, dan pecah fokus ke klub lain.
* * *
SEJATINYA, penghakiman bukanlah jalan keluar dalam membangun tim sepak bola. Apalagi pikiran instan untuk meraih hasil secara cepat dengan sekadar mengganti orang. Menilai dari hanya satu-dua laga tentu tidak adil. Pelatih membutuhkan waktu dan mengarungi dinamika.
Ketika rentetan kesuksesan diraih lalu mengalami kecenderungan penurunan performa, jawabannya bukan penghakiman dengan hukuman pemecetan. Bukankah kehidupan manusia merefleksikan naik-turun bioritme dan siklus?
Klopp pasti sadar berada di pusaran sepak bola sebagai industri. Akan tetapi, realitasnya sejak membangun kebersamaan dengan Liverpool pada 2015, dia telah memberikan banyak hal. Si Merah sukses meraih trofi liga setelah 30 tahun menanti. Gelar Liga Champions, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Antarklub sudah dia simpan di ruang dokumentasi Stadion Anfield.
Dalam payung budaya pop, industri sepak bola takkan mengenal sentuhan rasa keadilan. Kapan saja dan terhadap siapa saja, uanglah yang berbicara dan menentukan. Seseorang yang “tidak bisa disebut gagal pun” setiap saat bisa terbuang ketika kuasa uang menitahkan.
Dalam ruang kebebasan berbicara yang liberal, seorang pandit — seperti Gary Neville atau Roy Maurice Keane — juga bisa semaunya memberi pandangan dan menghakimi. Padahal menilai Mo Salah tak lagi berguna pasti akan membuat akal sehat segera menyergah dengan “hahahaha…”
Pun, tanpa rasa menuding seorang yang jelas berkontribusi dengan menyebutnya sebagai titik lemah, bakal mudah direaksi dengan pertanyaan, “Apa yang telah kalian persembahkan ketika menjadi pelatih?”
Proporsionalitas agaknya tak dikenal dalam kamus penghakiman. Keadilan menjadi kabur apabila menuntut pelatih atau pemain hanya memberi kemenangan, gol, dan kejayaan. Ketidakadilan menguar ketika capaian-capaian membanggakan pada hari-hari kemarin begitu saja dilupakan hanya oleh satu-dua kekalahan.
Mengusik posisi pelatih dan pemain dalam drama naik-turun performa sebuah klub tampak menjadi warna mediatika dalam tradisi (bahkan syarat) budaya pop. Ada viral letupan perasaan, kontroversi pernyataan, dan emosi dengan segala perniknya. Media sengaja membangun kondisi-kondisi demikian atas nama “pelangi” dalam dinamika kehidupan orang-orang profesional.
Dan, jangan-jangan itulah magnet busaya popnya!
Saya pikir, takkan segegabah itu manajemen Liverpool menimbang masa depan Juergen Klopp hanya karena posisi Jordan Henderson dkk yang sedang tercecer dalam klasemen sementara liga.
Saya pikir pula, takkan membawa banyak keuntungan apabila klub menjual Mo Salah yang masih punya sisa kontrak hingga 2023. Ikon keganasan lini serang Liverpool sejak 2017 ini masih akan menjadi elemen terpenting bagi kerja membangkitkan penampilan klub nantinya.
Keadilan dalam sepak bola, kiranya ada di lipatan akal sehat, di tengah hiruk-pikuk industri kompetisi yang berwajah kapitalistis ini…
Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jateng