SEMARANG (SUARABARU.ID) – Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jawa Tengah Dra Retno Sudewi, Apt, MSi, mengajak untuk turut serta menyosialisasikan program pencegahan perkawinan anak dari dengan Slogan ‘Jo Kawin Bocah’, berarti tidak (untuk) menikah di usia anak.
Belakangan pada masa pandemi ini makin marak pernikahan di bawah 19 tahun
Ajakan Kepala DP3AP2KB merupakan sambutan yang dibacakan Dra Dewi Indrayanti MM dalam rapat koordinasi pengarusutamaan gender (PUG), Selasa (26/1). Rakor virtual diikuti oleh organisasi perangkat daerah (OPD) se-Jateng dan lembaga terkait.
Program ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender dan ketahanan keluarga . Keberhasilan menekan dan menurunkan angka perkawinan anak sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan PUG.
Selain Jo Kawin Bocah, juga slogan Nikah Sehati , yang artinya untuk menikah diperlukan sehat, terencana, dan mandiri. “Sehat berarti mengacu kepada kesiapan biologis, reproduksi dan kematangan emosi. Terencana berarti mereka mampu merencanakan dengan baik persoalan rumah tangganya. MandirI secara finansial, pengasuhan anak, sosial dan spiritual,” kata Sri Sudewi.
Ditambahkan, meskipun Rakor PUG dilaksanakan secara virtual, tidak mengurangi substansi dan nilai-nilai idealismenya. Bahwa ada proses dialektik mengantarkan kita kepada tujuan pembangunan nasional yang inklusif dan responsif gender.
Indikator
Landasan yuridis pelaksanaan pelembagaan PUG telah ada sejak dua dekade silam melalui Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, sementara pedoman pelaksanaan di daerah baru muncul pada tahun 2008 melalui Permendagri No. 15 Tahun 2008, dan diamandemen pada tahun 2011. Artinya perjalanan sejarah pelaksanaan PUG tersebut bisa menjadikan tolok ukur, agar standar yang dirancang pada tahun ini dan tahu mendatang mengalami progres yang signifikan, demi terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender.
Salah satu indikator untuk melihat tingkat keberhasilan pencapaian pembangunan yang sudah mengakomodasi gender bisa dilihat melalui Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG). Pada tahun 2018, IDG Provinsi Jawa Tengah berada pada angka 74,03, lebih tinggi dari IDG Nasional dengan angka 72,10. Sedangkan pada tahun 2019 turun menjadi 72,18, dan berada di bawah IDG Nasional yang berada pada angka 75,24.
Kata Dewi Indrayanti, Kabid Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan (KHPP) DP3AP2KB Jateng, tiga komponen Indeks komposit yang mempengaruhi IDG adalah keterlibat perempuan di parlemen, perempuan sebagai tenaga professional dan sumbangan perempuan dalam pendapatan. Di antara ketiga komponen indeks tersebut angka prosentase keterlibatan perempuan di parlemen mengalami penurunan.
Untuk Indeks Pembangunan Gender (IPG) Provinsi Jawa Tengah yang pada tahun 2018 berada pada angka 91,95, mengalami penurunan menjadi 91,89 pada tahun 2019. Meskipun pada dua tahun itu angka IPG Provinsi Jawa Tengah lebih tinggi dari angka IPG Nasional, yang pada tahun 2018 berada pada angka 90,99 dan 91,07 pada tahun 2019.
Dalam cakupan lebih luas, perkawinan anak akan sangat berpengaruh terhadap beberapa aspek, antara lain kesehatan, meningkatkan risiko angka kematian ibu dan bayi. Perkawinan anak memaksa anak putus sekolah dan menjadi pengangguran, menghambat program wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah, dan akibatnya tingkat pendidikan dan SDM mereka rendah.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian meningkat yang semuanya bermuara menghambat agenda pembangunan pemerintah seperti program pendidikan Wajar (wajib belajar) 12 tahun, Keluarga Berencana (KB) dan program pengentasan kemiskinan
Strategi Pembangunan
Sementara itu DR Indra Kertati MSi, ketua Forum Kesetaraan Keadilan Gender (FKKG) Jawa Tengah mengatakan , PUG bukanlah program atau kegiatan melainkan strategi pembangunan untuk memastikan semua lapisan masyarakat terlibat dalam pembangunan, sehingga diharapkan dapat bermafaat bagi semua.
“Kesetaraan gender bertujuan untuk mengubah hubungan kekuasaan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki, yang menghambat secara struktural dan budaya,” tandas Indra Kertati.
Penelitian yang dilakukannya, 74% masyarakat Indonesia menyatakan belum tercapainya kesetaraan gender, namun kaum wanita sudah jauh lebih independen dibandingkan generasi sebelumnya. Sebanyak 23% wanita sudah sejajar dengan pria di berbagai bidang dan 3% masyarakat menyatakan tidak peduli. Mereka ini hanya fokus pada masa depan.
Narasumber lain pada Rakor PUG ini adalah Hendri Santosa SE,Ak, MSi Inspektur Prov Jateng dan Nanang Dwi Saputra SE dari Bappeda Jateng. Keduaya menyatakan upaya yang dilakukan sebagai OPD sesuai peraturan yang berlaku.
Humaini-wied