Oleh: Lulu Mutiara
KOTA LAMA, adalah sebuah ikon wisata di Semarang. Bolehlah disebut sebagai kon baru, karena sekitar 10 tahun lalu kawasan peninggalan zaman kolonial Belanda ini masih belum seindah dan seramai sekarang. Bangunan tuanya masih terkesan kotor, kumuh, dan muram.
Tetapi semenjak ada penanganan yang sangat serius, maka Kota Lama pun berubah seperti sekarang. Nyaris tiap hari, terlebih sebelum masa pandemi, kawasan itu ramia dikunjungi wisatawan. Kalau semula warga kota Semarang sendiri enggan secara sengaja berkunjung ke sana, berbeda sekarang. Wisatawan dari berbagai kota datang ke tempat ini.
Tak pelak, ketika banyak orang datang, maka di situ pasti terjadi pergerakan ekonomi. Keberadaan Kota Lama Semarang selain memunculkan kafe dan resto, juga memberikan manfaat bagi orang kecil. Ada yang menyewakan sepeda untuk gowes di kawasan dengan bangunan yang usianya ratusan tahun itu. Ada yang menyediakan sepeda atau becak buat berfoto.
Pada saat sebelum pandemi, bahkan, nyaris tiap malam ada pengamen baik yang berupa grup band kecil, atau yang secara solo main biola.
Nah, salah satu yang menari juga di Kota Lama adalah keberadaan manusia patung. Di kawasan Sungai Wang, Kuala Lumpur Malaysia juga ada manusia patung. Berdandan ala Michael Jackson, dengan pakaian gemerlap, dan tubuhnya dilumuri cat berikut pakaiannya.
Pemandangan serupa itu juga ada di Kota Tua, Jakarta. Tampaknya, ada juga warga kota Semarang yang terinspirasi itu, kemudian berperan sebagai “manusia patung” di Kota Lama.
Meski tidak memberikan banyak penghasilan, tetapi setidaknya dengan berperan sebagai manusia patung, kemudian ada yang memintanya berfoto bersama, ada sedikit rupiah yang jatuh ke tangannya.
Cobalah tengok di sekitar Gereja Blenduk yang menjadi ikon utama Kota Lama. Tampaklah seorang lelaki tua perawakan tinggi, berbadan kurus. Dia berdiri mematung, dengan pakaian dan tubuhnya dilumuri pewarna.
Dialah Ali, yang mencoba mencari peruntungan menjadi patung di Kota Lama. Sudah sejak setahun lalu kegiatan ini dilakukannya. “Saya yang pertama punya ide untuk menjadi manusia patung di sini,” kata Ali.
Dia tak ragu menceritakan bagaimana dapat bekerja menjadi patung yang berdiri diam selama berjam-jam di bawah teriknya matahari dengan umur yang sudah lewat dari setengah abad. “Saya mensyukuri apa yang saya dapatkan, karena tidak sembarang orang boleh melakukan pekerjaan seperti ini,” katanya.
Dia berterima kasih pada pemerintah yang tidak mengusirnya saat dia berperan sebagai manusia patung di Kota Lama. “Saya tentunya berterima kasih kepada pemerintah Mbak, dengan pekerjaan ini saya jadi tidak bergantung pada anak saya, dulu itu saya juga cuman kuli bangunan. Tapi karena umur saya sudah tua, saya tidak bekerja lagi,” tuturnya saat ditanya kenapa memilih jadi manusia patung.
Menggerakkan Perekonomian
Harus diakui, keberadaan Kota Lama saat ini mampu menggerakkan perekonomian warga. Bukan hanya Pak Ali yang mencari rezeki di sini. Banyak penduduk lokal yang berjualan barang antik, menarik becak, dan juga menjadi juru parkir.
“Kota Lama saat ini memang menjadi berkah bagi kami. Keberadaannya membantu kehidupan dan perekonomian kai, dengan makin banyaknya wisatawan yang datang,” kata Ali.
Kota Lama yang juga disebut dengan Nederland Mini, memang mendapatkan perhatian pemerintah. Pembangunannya sampai sekarang terus berjalan.
Warga lokal juga berharap akan mendapatkan kesejahteraan dengan adanya Kota Lama ini. “Ini adalah peninggalan bersejarah yang kita punya. Kami sebagai warga lokal atau pun wisatawan yang hadir harus ikut melestarikannya, jadi alangkah baiknya jika semuanya bekerja sama untuk menjaga peninggalan ini,” ujar Ali sambil menggoyang-goyangkan tongkatnya yang menjadi properti bagi penampilannya.
Ayo silakan berunjung ke Kota Lama. Tetapi ingat, karena masih masa pandemi, tetap jaga protokol kesehatan. Pakai masker, cui tangan pakai sabun, dan jangan berkerumun di tempat wisata.
Lulu Afidatul Mutiara Asri, mahasiswa praktik Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UKSW