blank
Ulil Abshar Abdalla. foto: Siberindo.co

JAKARTA (SUARABARU.ID)– Cendekiawan Islam, Ulil Abshar Abdalla menyatakan, radikalisme dan konservatisme adalah dua ancaman serius bagi Indonesia.

“Kelompok ini beroperasi secara leluasa bertahun-tahun, dan tak ada yang menghadapinya,” ujar Ulil melalui akun twitter @ulil, Rabu (23/12/20).

Anehnya, kata dia, pengaruh konservatisme dan radikalisme keagamaan, itu justru kuat di kampus-kampus non-agama seperti IAIN/UIN.

“Pengaruh ide ini juga meluas hingga ke kantor-kantor pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta,” tuturnya.

“Cukup mencemaskan,” ujar Ulil, karena bertentangan dengan semangat kebhinnekaan yang digelorakan terus-menerus sebagai unsur penting dasar negara kita.

Ia menambahkan, Ormas Islam yg mendukung penuh politik kebhinnekaan Jokowi selama ini adalah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Terutama dalam “perjuangan” melawan kelompok-kelompok yang membawa paham radikal dan konservatif itu.

Selama ini, tutur Ulil, ada yg beranggapan bahwa dukungan NU atas politik kebhinnekaan Jokowi adalah untuk pamrih politik. Ada peneliti Australia yg berpandangan seperti ini. “Ini jelas keliru,” tegasnya.

Wawasan kebhinnekaan sudah dikembangkan di NU di era Gus Dur, jauh sebelum era Jokowi sekarang, lanjut Ulil.

“Kesadaran tentang membela kaum minoritas sudah dikembangkan sejak berpuluh tahun di NU, minimal sejak Gus Dur menjadi Ketum PBNU pertama kali pada 1984,” jelasnya., seperti dilansir dari Siberindo.co grup suarabaru.id.

Jadi, kata dia, jangan melihat “politik NU” hanya dari frame waktu yg pendek, yaitu Pilpres 2019 lalu.

Semoga Kemenag di bawah Gus Tutut –sapaan akrab Yaqut Holil Quomas– bisa lebih “nendang” lagi dalam menerjemahkan politik kebhinnekaan Jokowi, tutur Ulil.

Claudia SB