Oleh Idham Cholid
Aneh. Kenapa penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS) dikaitkan dengan Ahok? Sedemikian saktikah Ahok sehingga HRS mendapat karmanya? Dan sederet pertanyaan pun bisa disampaikan.
Terus terang, saya termasuk yang tak setuju pandangan seperti itu. Tidak saja sangat dangkal tapi juga membahayakan untuk kepentingan membangun harmoni kehidupan bangsa ke depan.
Liat saja, kita akan terus melanggengkan isu rasial China dan Arab. Sampai-sampai, sekadar untuk kepentingan itu ada yang menulis surat panjang lebar mengatasnamakan Gus Mus (KH. Mustofa Bisri), membandingkan peran dan konstribusi orang Arab dan China segala! Bukankah ini bisa membuat luka?
Sama juga mereka yang berpandangan “over dosis” secara yuridis. Bahwa penahanan HRS tidak adil, telah terjadi kriminalisasi ulama dlsb, menurut saya juga kurang tepat.
Menurut saya, sederhana saja memahaminya.
Hukum sebab akibat (causalitas) itu pasti adanya. Bahwa siapa menabur akan menuai, siapa yang menanam akan memanen. Sing salah mesti seleh, demikian istilah Jawanya.
Berarti, apa yang dialami HRS akibat sikap dia sendiri kepada Ahok dulu? Pandangan yang berpegang pada hukum causalitas akan sangat mudah menyimpulkan seperti itu. Dan tak terasa kita sudah disuguhi itu selama ini.
Hukum causalitas dalam beberapa hal boleh saja digunakan, selama tidak dengan sengaja mengubur keyakinan mendalam kita.
Sebagai orang NU, tentu saya tak bisa lepas dari paham yang saya yakini. Bahwa peristiwa apa saja dan kejadian apapun yang menimpa pasti atas seijin-Nya.
Jadi, apapun masalahnya, seberat apapun persoalannya, disinilah takdir yang telah menjadi ketetapan-Nya berlaku. Tidak pandang bulu!
Causa Prima
Khairihi wa syarrihi minalLahi Ta’ala;
takdir baik dan buruk semua (bersumber) dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Segalanya! Bahwa memang ada causalitas tapi sejatinya Tuhan itulah causa prima.
Burukkah apa yang menimpa HRS, lalu para pendukung dan yang pro dengannya harus bersedih dan melampiaskan kemarahan?
Haruskah kita menganggap baik kemudian bersorak sorai dengan penuh kegembiraan karena hal itu akan bisa menghentikan premanisme keagamaan?
Dari mana dulu kita harus menilainya.
Sejatinya, takdir baik dan buruk dari Tuhan itu hanyalah penyederhanaan, sebatas kemampuan manusia menilai setiap kejadian dan keadaan.
“Semua peristiwa sejatinya akan menjadi baik jika dinisbahkan kepada Allah Swt,” demikian Syekh Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi yang populer dengan Imam Nawawi. Menurutnya, orang menilai buruk kejadian dan keadaan karena belum mengetahui hikmahnya saja.
Biasanya, baik dan buruk memang hanya dinilai atas dasar “selera” dan kepentingan belaka. Yang menyenangkan dan menguntungkan akan selalu dianggap baik dan itulah karunia Tuhan. Begitupun sebaliknya, yang menyusahkan dan merugikan akan selalu dianggap bencana dan “adzab” dari-Nya.
Padahal sangat jelas patokannya, “boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs.2:216).
Jadi, kesanalah seharusnya kita menilai setiap peristiwa, tanpa kecuali dalam soal ini. Disinilah takdir Tuhan berlaku tidak hanya untuk HRS tapi untuk kita semua, masyarakat dan bangsa Indonesia.
Saya yakin, sebagai penganut Sunni, terutama HRS sangat memahami itu.
Kalisuren, 17 Desember 2020
Idham Cholid
Ketua Umum Jama’ah Yasin Nusantara (Jayanusa)