Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM
Politik yang berkeadaban selalu berjalan di atas titian hukum, lebih lagi negara yang mendaku demokrasi.
Selanjutnya hukum yang meyelamatkan kemanusiaan adalah hukum yang terkunci (Solus populis suprema lex). (QS.5: 32).
Kalaulah di negara yang demokratis seperti Indonesia misalnya masih juga memproduks hukum yang tidak atau kurang menjunjung selamatnya kemanusiaan (universal), pastilah ada sesuatu yang salah (something wrong).
Bisa jadi karena prosedur yang salah atau protokol demokrasi yang defisit ideologi plus moralitas. Karena membunuh seorang saja, seakan membunuh manusia semuanya.
Hukum bunuh hanya berlaku pada pembalasan membunuh kalau pihak keluarga tidak memberi maaf dengan melepaskan tuntutan (QS. 5: 45).
Sejatinya telah terbukti bahwa negara demokrasi membawa kesejahteraan dan meredam perang dibanding negara otoriter.
Negara demokrasi lebih sejahtera karena rakyat bebas menyampaikan aspirasinya dan anggaran negara dikontrol rakyat sehingga penguasa tidak bisa tutup mata dan telinga.
Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan perang karena pengambilan keputusan untuk berdamai atau berperang dilakukan secara berlapis oleh eksekutif dan legislatif.
Sedangkan di negara otoriter, damai dan perang hanya diputuskan oleh satu lapis kekuasaan seperti negara kerajaan tanpa parlemen atau penguasa diktator.
Negara Otoriter
Ada penelitian; Selama 40 tahun tahun terakhir statistik pertumbuhan ekonomi negara demokrasi adalah 25 persen lebih tinggi katimbang negara otoriter (Morton Halperin dalamThe Dempcracy Advantage: How Democracies Promote Prosperity and Peace).
Dikecualikan negara Singapura dan China yang meminjam istilah dari Fareed Zacharia disebut sebagai negara demokrasi iliberal. Dalam hal kesejahteraan ekonomi, China bahkan diprediksi akan segera menyalib AS di atas jalan tol.
Memang ada deviasi yang perlu diteliti, karena ada kaidah umum yang menyatakan bahwa negara otoriter selalu menampakkan fakta sebaliknya.
Dari awal uraian ini, tampak signifikansi hadits universal yang jauh menatap ke depan telah meneguhkan kecenderungan umat zaman now sebagaimana diksi dan sekaligus nubuat yang dengan gamblang disabdakan oleh Nabi saw: الامام خادم الامة۔
(HR. Bukhari dari Abdullah Bin Umar, RA)
Kecenderungan perpolitikan zaman ini, adalah siapa yang mampu melayani keperluan umat baik spiritual, keamanan, kesejahteraan maupun kemajuan, potensial menjadi pemimpin. Arti hadits, “Pemimpin adalah pelayan umat”.
Hadits ini juga bisa menjadi penjelasan ayat Al-Qur’an tentang kisah Nabi Ibrahim AS yang lulus uji kompetensi karena sukses melayani dengan menunaikan kewajiban syariat Islam (ikhlas, ibadah, khitan, dan sebagainya) dan muamalat (mendidik akidah umat untuk bertauhid kepada Allah semata, memobilisasi, mengkonsolidasi kekuatan spiritual dengan membangun Kabah, serta politik plus deplomasi yang canggih). (QS. 2:124; 2: 258).
Kapan pun, bila seorang muslim ingin terjun dalam politik dan menjadi pemimpin seperti doa mereka; واجعلنا للمتقین اماما (QS.25: 74), marilah kita mengaca diri, seberapa derajat kita telah melayani umat. Bukan seberapa kita melukai umat seperti keadaan zaman old yang dispotis kanibalis.
Hukum alam (law of natur-sunnatullah) telah Allah SWT gariskan, “Bahwa agama ini tak ada satu nuktahpun yang terlepas dari fitrah manusia”. Siapapun yang bisa hidup di jalan agama fitrah, doa tersebut akan menjadi kenyataan.
Wallaahu A’lam bis-Shawaab!
Dr KH Mukhotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo