KEBUMEN (SUARABARU.ID) – Sebidang lahan seluas sekitar 1 hektare (ha)di Desa Grenggeng, Kecamatan Karanganyar, Kebumen, telah menyedot perhatian publik dalam beberapa hari terakhir. Bidang lahan yang merupakan lereng sebuah bukit berkedudukan di RT 05 RW 04 Dusun Pesimpar terdeteksi retak-retak dan mulai merosot pasca bencana hidrometeorologi di Kebumen minggu lalu.
Di titik teratas, pemerosotan membuat bagian ini ambles sekitar 3 meter dibanding kedudukan semula. Apa yang sedang terjadi? Menurut kajian kami di lapangan dari aspek geologis, peristiwa Grenggeng bukanlah likuefaksi sebagaimana dihebohkan sebagian masyarakat.
Tidak satu pun bukti-bukti lapangan menunjukkan telah terjadi likuefaksi. Misalnya, tak dijumpai titik-titik atau retakan-retakan dengan tumpukan butir-butir pasir dan lumpur yang mengitarinya. Pun tak dijumpai sumur dan mata air yang mendadak keruhm dan yang terpenting, tak satu pun warga setempat atau bahkan penduduk Kebumen yang merasakan getaran keras dari sebuah peristiwa gempa bumi tektonik menjelang terjadinya peristiwa Grenggeng. Padahal peristiwa likuefaksi harus menyertakan hal–hal tersebut.
Likuefaksi secara sederhana adalah proses pembuburan tanah dalam skala luas oleh tekanan eksternal sangat kuat. Tanah tersebut harus mengandung air dalam jumlah banyak hingga mencapai titik jenuh. Dalam skala kecil, kita bisa melihat kejadian mirip likuefaksi dalam fenomena pasir hisap (lemah lendut).
Jika kita berkunjung ke pantai dekat muara sungai, pilihlah lokasi berpasir halus yang selalu basah. Dengan cara melompat-lompat secara teratur (lebih baik jika berkelompok), maka kita bisa ‘menciptakan’ fenomena pasir hisap melalui mekanisme pembuburan tanah.
Di sini tekanan yang disebabkan hentakan bobot tubuh kita membuat butir–butir pasir dalam tanah jenuh air itu terdorong saling mendekat. Sehingga air yang ada di sela–selanya terperas keluar. Struktur tanah itu pun membubur, teknisnya berubah menjadi mendekati koloid khususnya gel. Akibatnya tanah kehilangan kemampuannya untuk menopang beban.
Likuefaksi terjadi melalui mekanisme serupa, namun dalam area lebih luas ketimbang hanya di satu titik yang kecil. Dalam area luas maka satu–satunya tekanan eksternal yang mampu memicunya hanyalah tekanan dari gelombang seismik gempa bumi tektonik. Butuh getaran gempa yang keras, lebih keras ketimbang getaran yang dirasakan penduduk Kab. Kebumen dalam kejadian Gempa Yogya 2006 silam. Syarat lainnya, likuefaksi hanya bisa terjadi pada tanah dengan kandungan air demikian banyak hingga mencapai titik jenuh. Dan tanah pada lokasi peristiwa Grenggeng tidak seperti itu.
Gerakan Tanah Rayapan
Jadi tidak ada likuefaksi di Grenggeng. Lalu peristiwa Grenggeng itu fenomena apa? Apa penyebabnya?
Tinjauan lapangan menunjukkan peristiwa Grenggeng mengandung banyak ciri khas gerakan tanah. Lokasi kejadian terletak di sebuah bukit dengan puncak berelevasi 140 mdpl (meter dari paras air laut). Tepatnya di lereng sebelah timur, yang memiliki kemiringan 10º hingga 20º atau 17 % hingga 35 % sehingga tergolong agak curam hingga curam menurut klasifikasi kemiringan lereng. Di kaki bukit, pada elevasi 100 mdpl, terdapat sebatang sungai kecil yang menghilir ke selatan.
Litologi lereng itu adalah batuan sedimen berupa lempung dan batu pasir tufan yang menjadi bagian Formasi Halang. Lempung dan batu pasir tufan itu berselang–seling dan sudah melapuk membentuk tanah kemerahan yang remah berpasir, berpori–pori, sangat tebal dan ditumbuhi aneka pepohonan yang rimbun. Lapisan–lapisan lempung dan batu pasir tufan itu membentuk kemiringan yang searah dengan kemiringan lereng.
Litologi demikian ditunjang dengan kemiringan lereng yang agak curam–curam menjadikannya memiliki potensi gerakan tanah yang tinggi meskipun ditumbuhi pepohonan yang rimbun. Dalam peta potensi gerakan tanah Kab. Kebumen yang dikeluarkan PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), bukit tersebut berada di zona potensi gerakan tanah yang tinggi.
Tinjauan lapangan juga menemukan jejak hidrologi yang mengarah pada bekas–bekas longsoran lama. Wawancara dengan penduduk dan aparat desa setempat menunjukkan bahwa pada awal 2019 lokasi tersebut memang telah mengalami gerakan tanah untuk kemudian berhenti begitu hujan usai.
Lereng yang mengalami gerakan tanah kali ini menunjukkan bentuk mirip teras–teras bertingkat. Sebuah ciri khas nendatan. Pada teras teratas, permukaannya merosot 3 meter dari level semula dan menjadi mahkota longsor. Dengan semua ciri–ciri tersebut maka peristiwa Grenggeng adalah peristiwa gerakan tanah yang berjenis rayapan (creeping) dan berkembang menjadi nendatan (slumping). Rayapan merupakan peristiwa longsor yang berjalan lambat jika dibandingkan jenis–jenis gerakan tanah lainnya.
Mitigasi Insani
Hujan lebat adalah pemicu gerakan tanah Grenggeng. Selama 3 hari berturut–turut dari Minggu hingga Selasa dinihari, 25–27 Oktober 2020 lalu jumlah hujan yang jatuh di stasiun pengukuran curah hujan Bandara Tunggul Wulung Cilacap mencapai 215 mm. Mengingat kedekatan lokasinya maka hujan dalam jumlah yang mirip juga terjadi di Kab. Kebumen.
Tanah lereng bukit Grenggeng menyerap air hujan dalam jumlah besar seiring sifat berpori–berporinya. Menyebabkan bobot lereng pun bertambah besar. Resapan air hujan juga melumasi lapisan lempung jauh di dalam tanah dan menjadikannya bidang gelincir. Dengan bobot bertambah berat dan dialasi lapisan yang licin, maka gerakan tanah Grenggeng yang sudah terjadi di awal 2019 pun aktif kembali. Tanah mulai merosot dan bergerak.
Peristiwa gerakan tanah Grenggeng bukanlah kejadian unik di Kabupaten Kebumen. Beberapa peristiwa sejenis pernah terjadi di waktu sebelumnya, seperti di DusunTinatah Wonokromo, Seling, Sampang Sempor dan sebagainya. Peta potensi gerakan tanah dari PVMBG menempatkan hampir separuh wilayah kabupaten ini sebagai zona potensi gerakan tanah yang tinggi. Kondisi ini menjadikan Kab. Kebumen sebagai wilayah administratif paling rawan gerakan tanah di tingkat Jawa Tengah.
Status tersebut adalah buah dari sejarah geologi kabupaten ini yang unik. Merentang masa hingga berpuluh juta tahun silam, tanah Kebumen dicabik–cabik tektonik demikian rupa dan direjam oleh rejim tekanan tinggi sebagai imbas langsung dorongan lempeng Australia yang bertumbukan dengan lempeng Eurasia. Akibatnya tanah pelapukan yang tebal dialasi lapisan–lapisan batuan dan bidang–bidang patahan yang potensial menjadi bidang gelincir terbentuk di sana–sini. Hal ini tentu harus dipahami semua insan Kebumen, sebagai salah satu upaya mitigasi insani dengan mengenali lingkungan kita sendiri.
Ir Chusni Anshori MT dan Ma’rufin Sudibyo, Komite Tanggap Bencana Kabupaten Kebumen.