SEMARANG (SUARABARU.ID)– Pandemi covid-19 telah melahirkan banyak perbincangan melalui webinar berbagai seminar, dialog, dan diskusi. Lalu para dosen
perempuan dari 15 Perguruan Tinggi, kemudian membahas pandemi dari sisi yang berbeda. Yaitu menuangkan dalam bentuk puisi, dan diterbitkan menjadi Antologi Corpus Puisi Pandemi: Merajut Kata, Ilmu, dan Hati.
”Gagasan ini tidak terlepas dari peran media sosial. Lalu kita rayakan sosial media dengan sesuatu yang positif. Saat itu saya membaca potongan puisi Frida Kusumastuti di laman sosial medianya. Lalu terbetik untuk melakukan kolaborasi bersama teman-teman di Japelidi, tempat kami bertemu pada awalnya,” tutur Lestari Nurhajati, dari London School of Public Relations University (LSPR) sebagai penggagas antologi, dalam keterangannya.
Sebanyak 18 penulis yang berlatar belakang Akademisi Ilmu Komunikasi ini, telah mengumpulkan sebanyak 142 judul puisi. Puisi-puisi itu ditulis dalam kurun waktu Juni-Juli 2020. Melalui proses kurasi oleh Kurniawan Junaedi dari Kurator Indonesia, kumpulan puisi itu kemudian diluncurkan secara daring melalui Zoom Meeting, Sabtu (26/9/2020).
BACA JUGA : Bikin Rekor Luar Biasa, UIN Walisongo Raih Penghargaan Muri
Peluncuran yang dikemas menarik ini, juga menghadirkan dua sastrawan besar Jose Rizal Manua dan Yvonne de Fretes, dalam diskusi yang diikuti sekitar 100 orang itu.
Jose Rizal Manua yang pernah menerima berbagai penghargaan di tingkat Asia-Pasific maupun dunia, sebagai baik sebagai sutradara maupun sebagai penampil (Theater Best Perfomance), juga memberikan apresiasinya.
”Puisi-puisinya luar biasa, karena ditulis dari sumber yang dihadapi ibu-ibu. Saya memberi penghargaan yang tinggi kepada 18 penulis wanita ini. Pada hakekatnya, semua orang pernah menulis puisi, terutama saat jatuh cinta. Puisi sebenarnya dekat dengan keseharian kita. Tetapi puisi-puisi dalam Corpus tetap ada sentuhan seni,” puji Jose Riza
Dalam sesi diskusi, Eka Budianta menyetujui pernyataan Jose Rizal. Budianta menambahkan, ada tiga kepekaan, yaitu kepekaan pada tempat, waktu, dan pada peristiwa.
”Kepekaan waktu memberi puisi sebagai keabadian. Dan saat ini waktu yang penting adalah pandemi,” tutur Budianta.
Begitu pula dengan Yvonne de Fretes, mantan wartawan, seorang penulis aktif di majalah Horizon, serta pernah aktif dalam berbagai komunitas literasi dan sastra menyatakan, dunia sastra jarang dilirik orang.
Literasi Digital
”Tentu para penulis perempuan ini bisa melakukannya melalui proses kreatif yang luar biasa. Bisa dimana saja, di tengah kesibukan sehari-hari,” sanjung Yvonne.
Selain diskusi, peluncuran antologi puisi ini juga menampilkan cerita dari Novi Kurnia dari UGM, selaku Koordinator Japelidi, juga penampilan live baca puisi oleh Liliek Budiastuti Wiratmo (Undip), Fitria W Roosinda (Ubhara Surabaya).
Kegiatan ini semakin menarik, dengan parade pembacaan puisi secara daring oleh Lintang Ratri dari Undip, Roro Retno Wulan (Telkom University Bandung), dan Gilang Desti Parahita (UGM).
Acara dengan moderator Monika Sri Yuliarti dari UNS dan MC Made Dwi Adnjani (Unissula Semarang) terasa istimewa, karena dalam kegiatan itu, seluruh pelaksanaan IT dilakukan sendiri oleh para penulis. Sebagai koordinator IT adalah Yenni Siswantini dari Binus Jakarta dan Soraya Fadhal (Universitas Al Azhar Indonesia).
Dalam Antologi Corpus Puisi Pandemi: Merajut Kata, Ilmu, dan Hati itu, berisi beberapa karya dari 18 akademisi perempuan dari 15 PT. Mereka mewakili Universitas Padjajaran, Universitas Muhammadiyah Malang, Ubhara Surabaya, UNS, Undip, Unissula Semarang, UGM, Atmajaya Yogyakarta, Universitas Langlang Buana, Telkom University, Unisba, Binus Jakarta, UNTA Jakarta, Universitas Al Azhar Indonesia, dan LSPR Jakarta.
”Kami ingin sejenak terlepas dari rutinitas sebagai Dosen Ilmu Komunikasi, namun tetap memasukkan nuansa ilmu komunikasi dalam puisi-puisi kami. Terutama sebagai upaya mengisi konten positif di ruang-ruang digital,” terang Frida Kusumastuti, salah satu penggagas dari UMM, yang menyebutkan, kegiatan ini sebagai bagian dari kampanye literasi digital.
Riyan