Oleh Widiyartono R.
HARI Jumat, 18 September 2020, saya ditelepon Jeng Yani dari PWI Pusat. Dia menanyakan padaku, bersediakah untuk menguji dalam Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di Makassar, 26-27 September 2020. Kalau bersedia, diminta berangkat Jumat 25 September 2020.
Waktu itu, saya mengiyakan. Meski sadar benar, suasana belum benar-benar aman pada masa pandemi ini. Tetapi, saya merasa yakin sehat dan dengan kewaspadaan serta mematuhi protokol kesehatan, setidaknya saya aman. Maka saya pun mengiyakan.
Kebetulan, saya hari Jumat 18 September itu bertemu Bang Zulkifli Gani Ottoh, Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat yang sedang berada di Semarang. Kepada Bang Zul yang dari Makassar itu saya sampaikan, “Bang, Minggu depan saya ke Makassar. Ikut menguji dalam UKW di sana.”
Bang Zul yang ganteng itu pun mengiyakan, dan siap menerima kedatangan delapan penguji dari berbagai daerah, termasuk saya. Jumat, Sabtu, Minggu adalah hari-hari sibuk karena berlangsung Konferensi PWI Jateng. Kegiatan konferensi berakhir Sabtu siang, tetapi kesibukan masih saja ada. Dan, pada hari Minggu (20/9) saya harus mengantar kakak menengok keponakan di Purwodadi, pulang sudah sore bahkan menjelang malam.
Esok paginya, saya ke Gedung Pers di Jalan Trilomba Juang, untuk mengurus segala sesuatu yang belum tuntas terkait konferensi. Di sela waktu itu, akau menelepon sahabatku, Mbak Drg Sutanti, Kepala Puskesmas Poncol, Kota Semarang. Aku menanyakan, apakah di Puskesmas bisa dilakukan rapid test (tes cepat) untuk mendeteksi apakah seesorang reaktif atau nonrekatif Covid-19. Sebagai syarat untuk terbang adalah mengikuti rapid test, maka saya harus melakukannya.
Mbak Tanti pun menjawab, bahwa di Puskesmas bisa dilaksanakan rapid test. Tanpa berkabar dengannya, saya pun meluncur ke Puskesmas Poncol, dan mengatakan bahwa saya mau rapid test, dan sebelumnya sudah mengontak Drg. Sutanti (yang ternyata hari itu sedang sakit di rumah). Setelah petugas menelepon Mbak Tanti, saya pun kemudian diajak ke lab untuk diambil sampel darah.
Selama menunggu hasil tes cepat itu, Jeng Wina dari PWI Pusat mengabari, kalau penerbangan ke Makassar dari Semarang cukup ribet. Ada tetapi harus transit sampai sembilan jam. Kemudian, untuk pulangnya juga tidak bisa hari Minggu, jadi harus mundur sampai Senin (aku membayangkan, ini pasti merepotkan panitia, karena harus menambah satu malam untuk menginap dan kerepotan lain, karena masih ada penguji yang belum pulang).
Aku bilang sama Jeng Wina, untuk kali ini saya dibatalkan nggak apa. Masih ada waktu dan kesempatan lain untuk menguji. Dengan perasaan tidak enak pada saya, Jeng Wina pun mengiyakan. Saya yakinkan, bahwa tidak masalah, daripada merepotkan panitia.
Beberapa saat setelah telepon ditutup, saya dipanggil petugas lab. Tetapi petugas di lab Puskesmas tampak ragu, dan tidak menyerahkan hasilnya kepada saya. Sesekali dia berbincang dengan rekannya. Di antara yang kudengar, “Ini perlu dikonsultasikan atau tidak?” Temannya dengan agak ragu menjawab pula, “Tidak perlu.”
Saya sudah merasa, hasil itu tidak menggembirakan. Dengan tenang dan dengan nada guyon saya bertanya pada mbak petugas lab, “Reaktif ya Mbak?” Saya yakin, bahwa hasil tes reaktif. Tetapi saya tetap tenang, tidak panik.
Si Mbak lalu bilang, “Semoga tetap sehat ya Pak. Besok tes swab di Puskesmas Tlogosari, di dekat rumah Panjenengan.” Setelah mengucapkan terima kasih atas layanan yang amat baik, dan saya tanyakan biayanya, ternyata tidak disuruh membayar. Saya pun kembali ke PWI, beberapa teman sedang rapat rupanya. Saya tidak masuk ruang rapat, meski pintu dibuka. Saya diminta masuk, tetapi saya memilih menyeret kursi dan tetap di luar.
Di sela rapa, saya minta izin agar boleh berbincang empat mata dengan Mas Amir Machmud NS, Ketua PWI yang baru saya diteguhkan dalam konferensi. Lalu saya sampaikan, bahwa saya reaktif, dan saya pastikan untuk tidak berangkat ke Makassar. Pertama soal penerbangan yang “ribet” (ini bukan yang utama) tetapi lebih utama karena saya dinyatakan “reaktif rapid test”.
“Mas, Njenengan sebaiknya juga rapid test karena tadi sempat saya antar ke bengkel,” kata saya pada Mas Amir Machmud.
Saya tidak tahu mas Amir rapid test atau tidak. Tetapi dia selalu mengirim pesan lewat whatsapp, menanyakan keadaan saya. Dia selalu berpesan agar tetap bahagia…. Saya jawab, Saya bahagia… hahaha”.
Setelah berbincang dengan Mas Amir, saya pulang, tetap tanpa rasa gundah, tetap tenang, dan menyampaikan ke istri. “Bu, aku habis rapid test, hasilnya aku reaktif, dan nggak jadi ke Makassar.”
Aku sih tenang-tenang saja, tetapi istriku tampak agak cemas. “Wis, Bapak nggak usah ke mana-mana. Makan dulu, terus istirahat. Nanti sore beli wedang rempahnya Pak Djo.”
Dikira Marah
Setelah makan, saya berbaring sambil nonton televisi, dan terlelap tidur. Pulas sekali tidur siang itu, sampai ada dua panggilang telepon tidak terdengar. Sekitar pukul 16.00 bagun, dan memerikan ponsel. Ada dua panggilan, satu dari Jeng Yani yang satunya dari Jeng Wina.
Lalu Jeng Wina aku telepon, menanyakan kenapa telepon. Dia bilang, saya harus tetap berangkat ke Makassar, karena Bang Zulkifli Gani Ottoh meminta. “Kata Pak Zul Pak Widi kemarin sudah menyatakan siap, jadi tetap diminta berangkat,” kata Wina.
Aku jelaskan pada Wina, bahwa hasil rapid test-ku reaktif. Jadi tidak bisa berangkat. Esok paginya harus tes swab. “Hasil swab berapa hari, Pak. Ini Pak Zul minta Pak Widi tetap berangkat,” katanya.
Saya sampaikan, sebaiknya segera dicari pengganti saja, karena hasilnya kapan juga saya belum tahu, karena swab saja belum. Kalau ternyata hasil negatif, tetapi diberikan pada hari Jumat juga akan merepotkan. Saya katakan, bahwa saya yang akan bilang ke Bang Zul, kalau saya tidak bisa berangkat. Jeng Wina pun paham.
Sementara itu Yani, yang menelpon tetapi tidak kuangkat, juga aku telepon. Lucu sekali dia, karena bilang, “Bapak marah ya?” Lho marah kenapa, mungkin karena dia menelpon aku dan tidak kuangkat. Dia mengira, gara-gara keberangkatkanku ke Makassar dibatalkan karena penerbangan yang ribet, lalu aku marah. Ah, lucu sekali. Aku yakinkan, aku tetap tidak berangkat karena hasil rapd test reaktif, lalu aku kirim foto surat hasil pemeriksaan itu padanya. Dia pun kemudian menjawab lewat WA, “Semoga Bapak sehat ya, dijauhkan dari berbagai penyakit.”
Menjalani Tes Swab
Selasa pagi, 22 September, dengan langkah riang saya jalan kaki ke Puskesmas Tlogosari Kulon, yang memang dekat rumah. Saya bingung harus ke mana, karena lama tidak masuk Puskesmas itu, dan semuanya sudah berubah. Saya tanya ke tukang parkir, di mana tempat pendaftaran. Aku pun masuk ruang yang ditunjukkan tukkang parkir.
Seorang perempuan menerima saya. Kemudian saya mengulurkan kertas hasil rapid test. Dia tidak menerima langsung lewat tangannya. “Taruh di meja saja Pak,” katanya sambil meletakkan ponselnya di atas kertas itu, lalu membacanya.
Petugas ini tak mau menyentuh surat yang kuulurkan. Aku sadar, ini standar protokol kesehatan. Apalagi melihat hasil tes yang reaktif. Saya berusaha menarik kursi untuk bisa lebih mendekat. Ternyata kursi dilakban pada lantai, sehingga tidak bisa dipindah. Ini standar yang lain, untuk jaga jarak. Selanjutnya saya diminta menunjukkan KTP, dan tetap tidak disentuh, hanya dipotret dan dicatat, lalu saya juga diminta memberikan nomor ponsel.
Mbak petugas yang ramah ini kemudian menyilakan saya untuk menuju lab, di bagian belakang Puskesmas. Saya menunggu di dalam ruangan, sekitar 10 menit. Lalu mbak petugas yang menerima saya tadi datang, “Pak nunggunya di luar saja ya.”
Saya mengiyakan, di teritisan gedung sudah ada seorang perempuan muda dan suaminya. Saya menduga, perempuan ini mau tes kehamilan. Di samping gedung saya tengok, ada tumpukan face shield bekas pakai yang masih bagus bentuknya. Juga ada APD bekas pakai ditaruh di karung. Cukup lama saya menunggu, hampir satu jam. Lalu seorang perempuan berpakaian brukut dengan APD (alat pelindung diri) lengkap dating. Menyilakan siapa yang antreannya kebih dulu.
Ternyata perempuan muda yang tadi maju. Dia tidak sedang mau tes kehamilan, tetapi juga swab. Cepat sekali proses pengambilan sampel lender hidung dan lidah. Setelah wawancara secukupnya, dan Mbak petugas swab mencatat, lalu gantian saya.
Saya awali basa-basi, berapa banyak tiap hari yang swab di sini, bagaimana kesannya, dan sebagainya. Lalu saya berucap, “Mbak, Njenengan harus tetap sehat ya. Saya berdoa untuk Njenengan. Banyak sekali yang membutuhkan Panjenengan.”
Terus terang saya ngomong ini dengan tercekat, hampir nangis tapi kutahan. Aku terharu atas pengabdiannya. Lalu dia menjawab, “Matur nuwun Pak. Tolong tetap doakan saya agar selalu sehat.” Aku benar-benar terharu.
Di ruang dinding setengah terbuka yang semula kukira tempat tidur satpam itulah aku di-swab. Setelah diambil sampel lendir hidung dan lidah, lalu saya ditanya antara lain, apakah ada keluhan sakit, ada penyakit bawaan, apakah pergi ke luar kota dalam 14 hari terakhir, apakah ke pasar, ke mal. Semua saya jawab tidak. Ternyata saya lupa, sehari sebelumnya saya ke Purwodadi. Nomor teleponku kembali diminta, dan aku dikasih tahu, dua sampai tiga hari hasil tes sudah jadi. Pesan lucu yang lain, “Bapak jangan sekamar dulu dengan ibu.” Hahahahahaha.
Kemudian saya diberi tiga macam vitamin, dua jenis di antaranya berjumlah 14. Ya, angka 14 memang jadi mistis bagi terdua atau suspect covid-19. Isolasi mandiri!
Menunggu dan Tetap Bahagia
Istri saya mengabari anak sulung yang ada di Purwodadi. Aku terlambat berpesan, anak-anak tidak usah dikabari. Tetapi istri sudah kirim Wa ke si sulung. Anakku meyakinkan, bahwa rapid test tidak selalu berbuntut positif covid-19. Saran normatif anakku disampaikan ke istri, “Bapak itu kecapekan, keburu rapid test. Bapak harus makan yang bernutrisi, minum jahe rempah, dan sebagainya.” Ternyata dia juga memesankan obat herbal Cina yang katanya untuk meningkatkan imunitas, yang sehari kemudian datang. Nah, anak saya setidaknya ikut cemas juga kan? Padahal aku santuy aja
Ada teman yang sempat di-swab lalu stress, menunggu hasil selama empat hari. Dia dijauhi temannya. Dia benar-benar stress. Untuk tidak berlanjut depresi. Aku sama sekali tak merasakan itu. Di rumah tetap saja santai, riang, dengar lagu, nonton teve, bahkan sempat bongkar-bongkar mobil karena terasa ada yang kurang beres.
Dua hari setelah swab juga tidak segera menanyakan hasil. Tetap santai saja, dan riang gembira. Makan tetap enak, tetap kerja walau di rumah karena cukup pakai laptop. Juga mencuci pakaian, bahkan masak yang ringan-ringan.
Hari Kamis, 24 September 2020 mendengar kabar, Ibu Rudiastuti meninggal. Dia ibunda teman SMA saya, Marsma Purn Dr Sukmo Gunardi. Bu Rudiastuti ini istri Pak Sembada Idris, kepala sekolah semasa SMA, dan kebetulan pula satu gereja dengan saya di GKJ Semarang Barat, dan tinggal bersama putranya dr Hastanus, yang istrinya juga majelis bersama saya di GKJ Semarang Barat.
Status saya “isolasi mandiri”, artinya tidak boleh ketemu orang luar. Tetapi, saya tidak bisa untuk tidak datang menyampaikan empati saya pada keluarga yang berduka. Apalagi mereka ini orang-orang yang termasuk sangat dekat dengan saya.
Kamis malam saya datang ke rumah duka Tiong Hoa Ie Wan di kawasan Puri Anjasmoro Semarang untuk mengikuti doa penghiburan. Saya sadar status saya ”isolasi mandiri”, saya melanggar ketika harus keluar. Maka di Kebo Ijo, mobil tua saya, tak ketinggal ada hand sanitizer, masker scuba karakter bergambar wajah tidak kupakai, kuganti masker standar yang kainnya rangkap, saya juga pakai face shield, dan satu-satunya jemaat yang pakai face shield cuma saya.
Saya membayangkan, kalau ternyata benar saya terinfeksi covid-19, kemudian menulari semua jemaat yang hadir dalam doa penghiburan itu, aduuuuhhhh! Jadi klaster baru, ngeriiiiii. Maka saya menjaga diri, tidak banyak cakap.
Pada akhir kebaktian, ternyata teman-teman SMA 1 Wonosobo yang tinggal di Semarang datang. Maka kami pun berkumpul, berbincang dengan Sukmo yang tengah berduka. Sungguh ini tekanan sangat berat bagi saya. Semestinya, saya tidak boleh bersama mereka. Saya berstatus terduga, suspect covid-19 hasil rapid test. Tetapi apa daya.
Teman-temanku bertanya, apakah besok ikut ke Wonosobo, untuk acara pemakaman Ibu Rudiastuti. Saya jawab, belum tentu, karena keadaan sedang tidak memungkinkan. Saya tidak mungkin bilang terang-terangan, hasil rapid test “reaktif”. Mereka semua akan cemas. Bukan mencemaskan saya, tetapi mencemaskan dirinya sendiri.
Esok paginya, Jumat hari ini (25/9) kembali saya datang ke rumah duka untuk mengikuti kebaktian pemberangkatan jenazah. Kepada Sukmo saya sampaikan maaf, tidak bisa ikut ke Wonosobo, karena keadaan kurang memungkinkan. “Mas Wid sedang sakit?” tanyanya.
Disebut sakit sih tidak, kataku, tetapi kondisi badan yang tidak memungkinkan. Tentu saya tidak mengatakan bahwa sedang dalam status “isolasi mandiri”, nanti dia cemas. Juga kepada teman-teman SMA di Wonosobo saya sampaikan tidak bisa ikut melayat karena “sedang berhalangan”. Dan, mereka tertawa. Padahal aku merasa sangat sehat, meski pagi tadi agak pilek, dan mikirnya jadi “macem-macem”. Waduh, pilek, droplet, ingusku ada coronanya…. Yahhhhh.
Sekitar pukul 09.20 jenazah diberangkatkan ke Wonosobo. Gerobak Kebo Ijo saya sudah ada tulisan “LELAYU”, tetapi sekali lagi istri mengingatkan, “Bapak tidak usah berangkat ke Wonosobo. Hasil swab-nya belum jelas!”
Saya menurut, meski sebenarnya saya ingin ikut. Maka kami pun langsung pulang. Mendekati rumah aku sengaja lewat Puskesmas Tlogosari Kulon. Di depan Puskesmas, istriku kuminta turun untuk menanyakan hasil sembari kuulurkan KTP-ku. “Masih nunggu, Pak. Ditinggal saja nanti aku jalan,” pesan istriku lewat WA.
Tak lama kemudian istriku pulang sambil membawa selembar surat yang menyatakan status saya: “Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium sampel covid-19 yang kami terima dari Laboratorium RSUD KRMT Wongsonegoro Kota Semarang dengan No. B/10213/IX/2020 pada tanggal 23 September 2020 dengan keterangan NEGATIF.”
Saya tidak berjingkrak-jingkrak menerima hasil ini, juga tidak menjadi sangat bahagia, karena saya biasa merasa bahagia. Saya sudah menduga, bahwa saya sehat-sehat saja. Yang pasti, ssaya mengucap syukur pada Tuhan, karena saya memang tidak menjadi salah satu pasien pengidap covid-19.
Segera aku kabari Drg Tanti, sahabatku, tentang hasil ini. Dia menjawab, “Puji Tuhan. Jadi ke Makassar?” Lalu pesannya “Jangan kumpul-kumpul dulu, pilih acara yang penting-penting saja kalau mau diikuti”. Ya, dia seorang dokter, saya harus mengikutinya.
Kemudian Dokter Elang Sumambar, Ketua IDI Kota Semarang yang juga dokter keluarga saya di BPJS yang saya mintai advis setelah tes cepat. “Puji Tuhan, tetap waspada njih,” pesannya.
Inilah pengalaman saya dinyatakan reaktif rapid test. Tetapi tidak ada kecemasan, saya lalui dengan bahagia. Menunggu tiga hari hasil swab, tidak dengan cemas atau stres. Sekali lagi, tetap bahagia. Karena bahagia itu obat. Begitu pula pesan petugas Puskesmas lewat istriku, “Bu kalau baru rapid test memang belum pasti covid, jadi tidak perlu cemas.” Kata teman saya, badan yang kecapekan saat di-rapid test bisa jadi hasilnya reaktif.
Karena dinyatakan reaktif, ada banyak hal yang tidak bisa kulakukan. Aku tidak jadi terbang ke Makassar, aku tidak bisa ke kantor, menahan diri untuk tidak kumpul-kumpul dengan bapak-bapak tetangga rumah, tidak bisa ketemu teman-teman untuk bersama-sama menyampaikan rasa duka bagi teman yang ditinggal ibu yang dikasihinya.
Tetapi ada juga yang kulanggar, dua kali mengikuti kebaktian penghiburan dan pemberangkatan jenazah yang diikuti cukup banyak orang. Ini kesalahan besar, aku sagat sadari itu. Untunglah, hasil swab-ku negatif.
Tetapi, meski tak ketemu teman-teman, hatiku tetap merasa bahagia. Dan untunglah hasil swab memang negatif. Mari kita jaga kesehatan. Cuci tangan, Pakai Masker, Jaga Jarak Hindari Kerumunan. Jangan jadi bagian covid-19, tetapi menjadi pelawan musuh tanpa bentuk itu.
Widiyartono R, wartawan SUARABARU.ID, pernah dinyatakan “rapid tes reaktif covid-19”.