KEBUMEN (SUARABARU.ID) – Desa kalipoh, Kecamatan Ayah, salah desa di kawasan pegunungan Kebumen selatan. Di tengah pandemi Covid-19, warga desa ini mengandalkan memproduksi gula merah dari nira kelapa sebagai tumpuan ekonomi sehari-hari.
Kalipoh menjadi desa pertama setelah berjalan menaiki bukit dari kawasan Pantai Logending, Ayah, menuju arah timur, yang sebelumnya dilalui adalah wilayah hutan jati milik Perhutani. Uniknya, mata pencaharian penduduk desa ini sebagian besar adalah bertani gula merah, karena sebagian besar wilayah tersebut ditanami pohon kelapa.
Selain sebagai petani gula merah, ada yang bercocok tanam di ladang lahan milik Perhutani. Warga menanam cabai, singkong, kacang dan lainnya. Mata pencaharian penduduk lainnya sebagai nelayan, pedagang, guru,PNS. Desa Kalipoh wilayah geografinya terdiri dari bukit-bukit kapur.
“Gula merah di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini memberikan peluang usaha sangat tepat, selain pembuatannya yang sangat mudah harganya stabil. Dimasa pendemi ini banyak warga yang merantau pulang kampung karena mereka terkena PHK dan kembali lagi bekerja sebagai penyadap nira kelapa (Penderes),”jelas perajin gula merah dan tokoh masyarakat Irham Suhadi Selasa ( 22/09).
Menurut penjelasan Irham, sejak situasi pandemi Covid-19, jumlah penyadap nira kelapa yang berada di Desa Kalipoh menjadi bertambah. Sebab banyak warga merantau ke luar daerah terpaksa harus pulang kampung dan memilih beraktivitas kembali dengan nira kelapa. Apalagi permintaan pasar terus mengalir dalam jumlah lumayan besar.
“Penghasilan gula merah memang cukup besar dan untuk setiap harinya bisa menghasilkan 5 kg hingga 10 kg dengan harga Rp 13.500 per kg,”jelas pria tersebut.
Alat Sederhana
Menurutnya Irham, yang menjadi hambatan saat ini adalah peralatan pengolahan yang masih menggunakan alat sederhana. Dia dan para perajin sebenarnya sangat berharap ke depan ada perhatian dari Pemerintah agar petani gula merah bisa mengolah dengan mudah.
“Kami berharap supaya petani gula merah dibentuk kelompok tujuannya itu supaya bisa mendongkrak harga jual dan jangan sampai para pengepul atau bandar memiliki keuntungan besar. Akan tetapi, petani sendiri tidak dapat untung dan tentu mereka yang paling utama memiliki keuntungan besar ya tengkulak,”tukas Irham.
Salah seorang petani penyadap nira kelapa Dukuh Bacok, Desa Kalipoh, Solihun (50) mengatakan, dirinya telah menekuni pembuatan gula merah sejak berusia 20 tahun dan turun dari para orang tua. Sebelum membuat gula merah, dia lebih dahulu mengambil nira dari pohon kelapa yang dilakukanya dua kali yakni pagi dan sore. Air nira yang dihasilkannya itu diproduksi menjadi gula merah dengan cara dimasak dengan tungku selama 9 jam.
”Kami terus bertahan karena memang itu sudah menjadi profesi turun temurun. Usaha yang dilakukannya selama ini untuk menopang kebutuhan sehari-hari,”jelas Solihun.
Sementara itu Ahmad Toefur Rahman, mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAINU Kebumen asal Desa Kalipoh yang sedang menjalankan KKN di desanya berharap keluhan dan aspirasi warga tersebut diperhatikaan oleh Pemerintah dan DPRD. Persoalan klasik yang dihadapi perajin dan petani gula merah yakni lemahnya posisi tawar karena selalu dikalahkan oleh para pengepul atau pemodal kuat.
”Kami berusaha mendampingi perajin maju dan mereka tetap butuh dorongan serta bantuan modal serta peralatan agar produksinya bisa meningkat,”jelas Ahmad Toefur.
Komper Wardopo