Oleh Samsul Munir Amin
Dikisahkan dalam satu riwayat bahwa terdapat seorang pemuda yang kelakuannya telah melampaui batas dalam melakukan segala kedurhakaan dan kemaksiatan.
Pemuda itu dikenal sebagai Fajir. Seluruh penduduk desa sudah tidak mampu lagi menghentikan perbuatan durjananya. Begitu dilarang, dia semakin menambah kejahatan dengan yang baru lagi.
Sehingga mereka sepakat untuk mengusir Fajir dari perkampungan. Namun kesepakatan mereka itu lagi-lagi menjadi sia-sia belaka. Maka sampailah pada puncaknya dimana mereka harus segera menyampaikan kejahatan pemuda itu kepada Nabi Musa.
Salah seorang dari pimpinan masyarakat akhirnya menemui Nabi Musa. “Wahai Nabi Musa, kami merupakan penduduk suatu desa, di mana beribadah sudah menjadi tradisi kami. Majelis-majelis ta’lim selalu penuh dikunjungi mereka, baik yang tua ataupun yang muda.
Sementara itu anak-anak mereka selalu dididik dengan penuh kearifan, terutama mengenai hukum-hukum Taurat, dikenalkan akhlakul karimah dengan nilai agama. Namun ada seorang pemuda yang menjadi penghalang dalam kehidupan kami.
Perbuatannya tampaknya sudah tidak bisa dicegah lagi. Dia selalu melanggar peraturan agama maupun adat budi pakerti. Dalam hal ini seluruh penduduk telah sepakat untuk mengusirnya, namun wahai Nabi Musa, kami ternyata tidak mampu menghentikan kefasikanya.
Dari masalah itu kami mengadu kepada engkau, apa tindakan yang perlu dilakukan agar kedurhakaannya tidak mengotori lingkungan kami?” Begitu salah seorang dari masyarakat desa mengadu kepada Nabi Musa.
“Tunggulah beberapa saat lagi, aku akan bermunajat dan mohon petunjuk kepada Allah lebih dahulu untuk menindak lanjuti ulah pemuda yang kau ajukan itu,” jawab Nabi Musa.
Setelah Nabi Musa selesai bermunajat, beliau mendapat petunjuk bahwa pemuda itu memang harus diusir dari perkampungan tersebut dengan alasan jangan sampai ada api yang akan turun dari langit membakar suatu desa yang penduduknya berlaku mungkar atau membiarkan perilaku mungkar berlangsung tanpa ada yang berani menghentikan.
Dengan dibantu oleh seluruh penduduk desa, akhirnya Nabi Musa berhasil mengusir pemuda itu. Selanjutnya pemuda Fajir itu kini harus hidup merana dan berkelana dari satu desa ke desa yang lain, dimana pada setiap desa yang disinggahi, segera saja penduduknya mengusir dengan paksa. Fajir kini tersia-sia hidupnya.
Setelah beberapa saat lamanya Fajir berjalan, akhirnya dia memasuki padang sahara yang betul-betul tandus, tiada burung ataupun hewan lain bahkan hewan liar pun enggan melintasi tempat itu.
Jatuh Sakit
Berhari-hari perutnya sudah kosong dari makanan hingga dia lemas dan terjatuh di padang pasir. Tubuhnya dipanggang terik matahari, akhirnya diapun jatuh sakit, sendirian.
Dalam keadaan seperti ini hatinya mulai mencair dan mendapat petunjuk dari Allah. Dengan lemah lunglai dia merasakan penderitaan hidupnya seraya merintih.
“Wahai Tuhan yang Maha Pengasih, jika saja ibuku berada di dekatku, tentulah dia akan mengasihani penderitaanku dan kehinaanku ini.
Dan jika saja aku mati di kampungku sendiri, tentulah bapakku akan memandikan dan merwat jenazahku. Begitu pula jika saja istriku mengetahui keberadaanku, tentulah dia akan menangisi perpisahan ini.
Kemudian jika saja anak –anakku berada di sisiku, tentulah mereka akan menangisi kepergianku serta akan mendo’akanku selaku ayahnya sebagimana lazimnya do’a seorang anak kepada bapknya ketika meninggal dunia.
Ya Allah, ampunilah aku yang mengembara ini, sebagai seorang yang dha’if dan pelaku maksiat yang terbuang dari satu desa ke desa yang lain dan dari suatu daerah ke daerah yang lain sampai ke padang tandus ini.
Seorang yang akan keluar dari dunia menuju akhirat dalam keadaan terputus dari segalanya terkecuali dari rahmat-Mu. Ya Allah, kini aku telah terputus hubungan dengan orang tuaku dan anak istriku, namun aku mohon Engkau jangan memutusku dari rahmat-Mu.
Dan jika Engkau telah membakar hati ini dengan perasaan sedih karena berpisah dengan mereka, maka janganlah Engkau bakar diri ini dengan neraka-Mu karena buah kemaksiatanku. Engkau lah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang!”
Demi melihat doa pemuda Fajir yang tulus ini, maka saat itulah Allah mencurahkan pertolongan-Nya. Maka diutuslah seorang bidadari surga yang menyerupai ibunya, diturunkan pula seorang malaikat yang menyerupai ayahnya, sementara bidadari yang lain diperintah menyerupai istrinya.
Kemudian anak-anak surga diserupakan dengan anak-anaknya. Mereka mengelilingi pemuda Fajir itu dengan mengiba dan menangisi kepergiannya seakan keluarga sendiri. Hingga dalam keadaan mendekati ajal ini, hatinya begitu teduh.
Pada akhirnya dia pun meninggal dunia dengan mendapat ampunan dan maghfirrah dari Allah.
Maka berangkat Nabi Musa bersama kaumnya ke tempat yang ditunjukkan itu. Namun betapa heran, ternyata yang mati disana dialah pemuda Fajir yang beberapa waktu yang lalu telah diusir dan dienyahkan dari suatu desa atas perintah Allah sendiri.
Hikmah Kisah
Dilihatnya pula di sekeliling pemuda itu berjajar beberapa bidadarri yang sedang menangisi kepergian pemuda itu.
Dengan sedih akhirnya Nabi Musa memberanikan diri bertanya kepada Allah.
“Bukankah mayat itu pemuda yang telah kami usir beramai-ramai beberapa waktu yang lalu sesuai dengan perintah-Mu itu ya Allah?” “Betul wahai Musa,” jawab Allah.
“Namun dia telah Aku ampuni dosa-dosanya berkat rintihannya yang menyentuh kalbu setiap orang yang mendengar, apalagi dia telah berpisah dari orangtua dan anak isterinya.
Telah Aku turunkan pula bidadari dan malaikat yang menyerupai orangtuanya dan anak-anaknya, tiada lain karena Aku merasa kasihan atas kehinaan dirinya dalam pengembaraan yang memperihatinkan itu.
Padahal jikalau seseorang itu meninggal dunia ketika sedang mengembara, maka seluruh penduduk langit dan bumi akan menangisi kepergiannya karena melihat penderitaan lahir dan batin yang dialami.
Apalagi Aku sebagai Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang.”
Setelah mendengar penjelasan ini, Nabi Musa beserta kaumnya pun segera merawat jenazah pemuda itu dengan sebaik-baiknya.
Hikmah Dari Kisah ini. Kisah ini mengajarkan kepada kita semua tentang betapa Maha Besar dan Maha luas kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.
Termasuk kepada hamba yang datang dengan kemaksiatan, tetapi kemudian mengakui segala kesalahan dan kemaksiatan untuk bertaubat kepada-Nya.
Allah adalah Dzat pengasih dan penyayang.
Kasih sayang-Nya tiada terbatas, ampunan-Nya tiada terbatas, sehingga hamba yang bergelimang dengan kemaksiatan pun, jika dia datang meminta ampunan atas segala dosa Allah akan mengampuni. Asal bertaubat dengan kesungguhan.
Walau demikian maha luas ampunan Allah, bukan berarti manusia boleh melakukan kemaksiatan sedemikian rupa kemudian bertaubat. Bukan itu pesan yang ingin disampaikan dalam kisah diatas.
Jadilah orang baik yang tekun beribadah, dan jika salah memohon ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Allah akan mengampuni kesalahan orang yang bertaubat.
(Kisah ini bersumber dari buku “Maha Luas Kasih Sayang Allah” karya Samsul Munir Amin).
Drs H Samsul Munir Amin MA, adalah Wakil Rektor III Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo dan Ketua Komisi Dakwah MUI Wonosobo