JAKARTA, (SUARABARU.ID) – Pandemi COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda kapan akan berakhir. Semua negara berjibaku mengatasi dampak pandemi karena dengan daya rusaknya sangat tinggi, cepat atau lambat dapat melumpuhkan hampir semua sektor mulai dari kesehatan hingga ekonomi.
Delapan bulan sejak kasus virus corona pertama merebak di Wuhan, China pada akhir Desember 2019, atau sejak WHO menyatakan peristiwa ini sebagai pandemi global pada Maret 2020, akibat yang ditimbulkannya semakin meluas. Lebih dari 200 negara telah terinfeksi COVID-19.
Sejumlah negara memilih untuk langsung melakukan karantina wilayah (lockdown) baik sebagian atau serentak dalam waktu tertentu.
Opsi lockdown tidak selalu membuahkan hasil baik, karena hampir semua negara terjebak pada dua pilihan, antara prioritas menyelamatkan ekonomi atau kesehatan penduduk.
Konsekuensi memberlakukan lockdown membuat aktivitas ekonomi suatu negara terhenti, mesin produksi dan jasa mandek yang ujungnya membawa pertumbuhan ekonomi ke zona negatif dan ada yang sudah masuk ke jurang resesi.
Resesi adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP) sebuah negara menurun atau pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut atau lebih. Resesi dipicu kemerosotan ekonomi akibat turunnya aktivitas bisnis, menghilangnya lapangan kerja, menurunnya investasi, dan kerugian dunia usaha dan korporasi.
Tidak menunggu waktu lama, akibat pandemi ini sejumlah negara langsung mengkonfirmasi telah mengalami resesi ekonomi dengan tingkat kedalaman yang berbeda-beda. Tidak mengenal kasta negara, resesi ini juga menghantam negara-negara maju di Eropa, Amerika Serikat, kawasan Asia, Asia Tenggara, dan belahan bumi lainnya.
Berdasarkan data tradingeconomics.com, hingga 15 September 2020, lebih dari 75 negara sudah terjerembab ke jurang resesi. Spanyol yang mencatat pertumbuhan negatif kuartal II 2020 sebesar 22,1 persen, turun dari – 4,1 persen kuartal I 2020, kemudian Inggris -21,7 persen dari sebelumnya -1,7 persen, Austria -12,8 persen. Selanjutnya, Belgia -14,5 persen, Filandia -4,9 persen, Jerman -11,7 persen, Italia -17,3 persen, Prancis -18,9 persen, Kanada -13 persen.
Negara-negara dengan ekonomi besar lainnya juga mengalami kontraksi seperti Jepang sebesar 9,9 persen dari sebelumnya -1,8 persen, Mexico -18,9 persen, Finlandia -4,9 persen, Slowakia -12,1 persen. Sedangkan di Asia Tenggara, Singapura paling pertama mengumumkan masuk ke zona resesi, setelah pada kuartal II 2020 mencatat kontraksi ekonomi sebesar 13,2 persen dari kuartal I sebesar -0,3 persen, Filipina -16,5 persen dari sebelumnya -7,0 persen, Thailand -12,2 persen dari sebelumnya -2,0 persen.
Dana Moneter Internasional (IMF), lembaga yang bertugas mempererat kerja sama moneter global dan kestabilan keuangan dunia, bahkan memperkirakan resesi ekonomi global pada tahun 2020 terkontraksi hingga 4,9 persen, dan menjadi negatif 5,4 persen pada tahun 2021.
Kontraksi ekonomi yang lebih dalam terutama dialami negara-negara maju yang diperkirakan negatif 8 persen. Ekonomi negara-negara Eropa diperkirakan negatif hingga 10,2 persen dan Amerika Serikat minus hingga 8 persen. IMF menggambarkan bahwa resesi pada tahun 2020 merupakan yang paling akut, dan segera memasuki periode krisis keuangan terburuk sejak Depresi Besar sekitar tahun 1930.
“Untuk pertama kalinya sejak depresi hebat, negara berkembang maupun negara maju akan mengalami resesi di tahun 2020. Outlook pertumbuhan ekonomi dunia akan jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan prediksi sebelumnya,” kata Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath.
Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga memberikan sinyal bahwa ekonomi global akan terpuruk minus 6 persen atau lebih dahsyat dari perkiraan IMF yang terkontraksi sekitar 4,9 persen.
Kepala Ekonom OECD Laurence Boone menyebutkan dampak pandemi masih akan berlanjut pada tahun 2021, di mana berapa sektor industri akan tertekan karena berkurangnya aktivitas untuk jangka waktu yang lama, meskipun ada program stimulus besar yang dilakukan oleh masing-masing pemerintah dan bank sentral.
Indonesia vs resesi
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam hitungan hari menuju akhir September 2020 (kuartal III), menjadi waktu pembuktian apakah ekonomi Indonesia masuk dalam zona resesi atau tidak.
Pada kuartal II 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia telah terkontraksi 5,32 persen (year on year) yang dipicu penurunan konsumsi masyarakat, investasi terganggu, serta aktivitas ekspor dan impor menurun sangat tajam akibat pandemi COVID-19.
Jika kuartal III 2020 pertumbuhan ekonomi kembali negatif, maka Indonesia resmi mengalami resesi yang ikut menambah daftar panjang negara-negara yang masuk ke jurang resesi.
Optimisme bahwa Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan positif pada kuartal III semakin menipis. Pasalnya indikator-indikator ekonomi mulai menunjukkan tren melemah.
Sejumlah kalangan memperkirakan bahwa Indonesia sudah dan hampir pasti resesi, dengan pertumbuhan ekonomi pada kisaran minus 1,3 hingga minus 4 persen pada kuartal III 2020.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan terkontraksi 2 – 4 persen. Menurutnya, resesi tidak terelakkan karena dalam situasi pandemi ini sangat sulit untuk mendorong konsumsi dan investasi kembali ke arah normal. Saat ini yang penting bagaimana menanggulangi pandemi, menangani kesehatan masyarakat, ekonomi dan dunia usaha bisa bergerak meski terbatas.
Kepastian menuju resesi juga diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad dengan prediksi pertumbuhan ekonomi minus 1,3 hingga minus 1,7 persen.
Daya beli masyarakat harus ditingkatkan demikian juga konsumsi rumah tangga, dengan mempercepat penyaluran bantuan sosial bansos tunai ke masyarakat yang ujungnya bisa memberi kontribusi kepada perekonomian.
Pemerintah dalam waktu 6 bulan masa pandemi COVID-19 telah meluncurkan program bantuan sembako, bantuan sosial tunai, dan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa, yang merupakan pengalihan sebagian anggaran kepada keluarga penerima manfaat (KPM). Kemudian, terdapat juga bantuan diskon hingga penggratisan tarif listrik, subsidi melalui Kartu Prakerja, bantuan subsidi gaji kepada pekerja dengan gaji di bawah Rp5 juta, dan Bantuan Presiden (Banpres) Produktif kepada usaha mikro kecil sebesar Rp2,4 juta.
Tidak ingin berlama-lama, Presiden Joko Widodo meminta penyaluran seluruh bantuan langsung tunai kepada masyarakat dipercepat untuk meningkatkan daya beli pada kuartal III 2020.
Kepala negara mengatakan menjelang akhir September 2020 masih bisa dijadikan momentum pemulihan ekonomi, sehingga stimulus-stimulus untuk menggerakkan perekonomian masyarakat harus secepatnya disalurkan. Dalam waktu yang sangat sempit itu, Kepala Negara mendorong peningkatan daya ungkit ekonomi dengan mengeksekusi seluruh program insentif yang sifatnya cash transfer agar benar-benar diperhatikan dan dipercepat.
Namun, dampak pandemi sulit dihadang. Ekonomi Indonesia sedang menuju resesi, juga dibenarkan oleh Menteri Perkonomian Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2020 akan berada di antara minus 1 persen sampai dengan minus 3 persen.
Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, pemerintah sudah tidak memikirkan lagi apakah Indonesia mengalami resesi atau tidak. Sebab, di tengah kondisi ketidakpastian ini banyak negara-negara lain yang juga mengalami resesi ekonomi.
Jika kontraksi ekonomi kuartal III 2020 lebih baik dibanding kontraksi kuartal II 2020 sebesar 5,32 persen, maka ini pertanda bahwa ekonomi pada periode berikutnya (kuartal IV) akan lebih baik lagi bahkan bisa mengarah hanya minus 1 persen.
Karena, angka pertumbuhan negatif 5,32 persen pada kartal II 2020 menjadi titik terendah, dan trennya akan terus bergerak positif seiring dengan berlanjutnya dorongan program PEN, investasi, belanja pemerintah dan peningkatan konsumsi masyarakat.
Jurus hadapi COVID-19
Pemerintah Indonesia harus sekuat tenaga mendorong pertumbuhan ekonomi agar tidak terpuruk lebih jauh akibat pandemi COVID-19. Berbagai upaya dan jurus-jurus pun dilakukan.
Pemerintah bersama DPR menerbitkan UU 2/2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Kemudian menaikkan batas defisit anggaran hingga 6,34 persen atau Rp1.092 triliun pada APBN 2020, dan merevisi anggaran melalui Perpres 72/2020. Selain itu, membuat Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencakup bidang kesehatan, pemberian bansos, membantu UMKM, mendukung korporasi dan sektoral maupun perekonomian daerah.
Untuk penanganan COVID-19 maupun stimulus untuk mendukung program PEN, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp695,2 triliun. Rinciannya, Rp87,55 triliun untuk anggaran kesehatan, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha sebesar Rp120,61 triliun, menggerakkan sektor UMKM sebesar Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, dan dukungan sektoral kementerian/lembaga dan pemda sebesar Rp106,11 triliun.
Penyerapan anggaran awalnya tersendat, namun hingga 14 September 2020 realisasinya sudah mencapai 34,1 persen atau mencapai Rp236,76 triliun dari pagu sebesar Rp695,2 triliun.
Menteri Perkonomian Airlangga Hartarto merinci realisasi anggaran PEN untuk UMKM sudah mencapai 91,4 persen dari alokasi Rp123 triliun dan kesehatan mencapai 31,6 persen dari alokasi Rp 87,5 triliun. Sementara itu, pos untuk perlindungan sosial sudah terealisasi 62,8 persen dari pagu Rp 203 triliun, kemudian sektor kementerian dan pemda mencapai 27,8 persen dari pagu Rp 106 triliun. Sedangkan, sektor korporasi dan insentif usaha, pagu anggaran keduanya yakni masing-masing Rp 53,5 triliun dan Rp 120,61 triliun.
“Dengan total anggaran sebanyak Rp203,9 triliun untuk di tahun 2020 dan Rp110,2 triliun di 2021, program Perlindungan Sosial meliputi PKH, sembako, bansos, Kartu Prakerja, diskon listrik, dan BLT akan terus dioptimalkan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan sisi permintaan,” ujar Airlangga.
Pemerintah akan selalu menjaga keseimbangan antara aspek kesehatan dan ekonomi. Setiap program pemulihan ekonomi nasional, akan mengedepankan penerapan protokol kesehatan sebagai prasyarat utama dalam pelaksanaan program.
“Pemerintah terus memberikan dukungan terhadap sektor kesehatan tercermin dari alokasi anggaran untuk sektor kesehatan sebesar Rp87,5 triliun di 2020 dan Rp25,4 triliun di 2021,” ujar Airlangga.
Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menyebutkan bila penyerapan anggaran tidak terealisasi dikhawatirkan bisa membuat pelaku usaha kolaps, karena kelompok ini saat ini membutuhkan suntikan dana agar bisa bertahan di tengah pandemi.
Untuk itulah Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani mendorong pemerintah mempercepat penyerapan anggaran dengan melakukan penguatan sistem keuangan agar kontraksi ekonomi yang terjadi tidak semakin dalam dan tidak mahal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tiga pilar untuk mengupayakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terjaga. Pertama, akselerasi eksekusi program PEN, di mana pemerintah akan mempercepat penyaluran program eksisting dan menyelesaikan program-program baru. Memperkuat belanja pemerintah melalui realokasi belanja barang untuk mendukung digitalisasi birokrasi dan realokasi belanja modal untuk mendukung infrastruktur digitalisasi layanan publik, termasuk percepatan pencairan gaji ke-13.
Selanjutnya, menggenjot konsumsi atau daya beli masyarakat dengan akselerasi bantuan sosial dengan besaran yang dinaikkan dari sisi jumlah penerima dan waktu yang diperpanjang.
Ikhtiar pemerintah sudah dilakukan. Tingkat penyerapan dana program PEN juga terus dikebut. Kalau pun pada kuartal III terjadi kontraksi, diprediksi masih pada batas yang lebih rendah dibanding sebelumnya, dan diperkirakan memasuki kuartal IV perekonomian kembali membaik.
Terlebih jika vaksin COVID-19 sudah bisa digunakan dan beredar luas maka perekonomian perlahan mengarah ke zona positif hingga tahun 2021.
Pemerintah Indonesia memperkirakan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 berada di rentang minus 1,1 persen hingga 0,2 persen. Sedangkan pada tahun 2021 pada RAPBN 2021 diproyeksikan sebesar 4,5 persen sampai 5,5 persen. Bank Dunia memperkirakan tahun 2021 Indonesia tumbuh 6,1 persen, Asian Development Bank mematok 4,8 persen, dan OECD memperkirakan tumbuh 5,3 persen.
Ant-Wahyu