Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Apa yang menggembirakan di hari Senin ini? Salah satu jawabannya ialah, tahapan krusial awal (pendaftaran calon peserta Pilkada 2020) sudah selesai.
PILKADA, pemilihan kepala daerah, – sebutlah sebagai contoh di Jawa Tengah dengan 21 kabupaten/kota yang akan melaksanakannya – , selalu menarik dan membuat dhag-dhig-dhug banyak pihak.
Tahapan yang penuh dinamika tarik-ulur dukungan dan pencalonan ialah tiga hari terakhir kemarin Jumat, Sabtu, dan Minggu. Inilah tahapan awal Pilkada sebenarnya, yakni pendaftaran calon pemimpin daerah, entah calon gubernur dan tandemnya calon wakil gubernur, atau calon bupati/wali kota dan tandemnya, yaitu calon wakilnya.
Mengapa di tahapan awal Pilkada ini penuh dinamika dan membuat sejumlah pihak dhag-dhig-dhug, kecewa berat, jengkel, atau pasti ada yang frustrasi?
Penyebab utamanya ialah karena ada pihak (partai pendukung?) yang silih cidra. Seperti diketahui, sepasang calon hanya mungkin dapat sah mendaftarkan ke KPU apabila memenuhi persyaratan.
Di antara persyaratan itu ialah dukungan partai politik (dan/atau gabungannya) yang memenuhi persyaratan undang-undang; ataupun seperti contoh di Surakarta (Kota Solo) ada pasangan calon yang mampu memenuhi syarat-syarat sebagai calon perseorangan.
Silih Cidra
Menyebut satu per satu contoh pasangan yang gagal mendaftarkan di KPU, rasanya akan tambah menyakitkan saja; maka sebaiknya kasusnya saja yang dibeberkan. Ada pasangan yang sudah dijanji-janji akan didukung oleh satu, dua, atau beberapa partai politik; namun salah satu partai tiba-tiba menarik diri dukungannya.
Ada juga pasangan calon yang sudah berada di KPU pada hari Jumat kemarin, ehh….ditunggu-tunggu pengurus salah satu partai politik pendukung tidak datang. Untung ketidakhadirannya itu tidak memengaruhi pemenuhan persyaratan, maka pendaftaran tetap bisa dilakukan.
Ada juga pasangan calon yang tiba-tiba “mengembalikan” rekomendasi yang katanya telah diterima dari salah satu parpol pendukung; maka berubahlah konstalasi perpolitikannya.
Contoh-contoh itu menggambarkan betapa silih cidra itu memang benar-benar ada dalam kehidupan ini. Maksudnya, dalam hidup ini, entah antar pribadi ataupun antar pribadi dengan kelompok dan sebaliknya bisa saja terjadi genti-genten ngapusi, genti-genten cidra.
Menariknya, justru di saat-saat sudah tidak ada waktu lagi untuk berpikir atau melangkah, genti – genten ngapusi itu dilakukan. Bagaimana mungkin masih bisa berpikir atau bertindak lain ketika sudah berada di KPU, jebulllll…….sing dienteni untuk membulatkan dukungannya tidak datang.
Mengapa genti ngapusi dilakukan pada saat segenting itu? Sangat boleh jadi, ia atau mereka yang saat ini ngapusi itu, kemarin-kemarin pernah merasa diapusi. Misalnya, ketika proses dukung-mendukung berlangsung, bakal calon (saat itu) menjanjikan segera akan memberikan sejumlah biaya operasional ngalor-ngidul.
Eh… ditunggu dan ditunggu biaya ngalor-ngidul tidak muncul-muncul, mau nagih janji suasananya tidak memungkinkan; atau bisa jadi dijawab: “Wis digawa bendaharane,” padahal yang mung apus-apus.. Rasa jengkel karena merasa diapusi, diluapkanlah pada saat paling kritis, misalnya ketika pendaftaran.
Genti-genten ngapusi rasanya memang lebih menyakitkan dibandingkan dengan diblenjani. Seperti telah disebutkan di atas, silih cidra umumnya dilakukan pada “detik-detik menentukan,” seperti perhelatan pernikahan sudah siap, eh….tiba-tiba calon pengantin laki-laki tidak muncul. Silih cidra sengaja dilakukan untuk gawe isin, atau bisa juga untuk gawe wirang lan wurung, yaitu upaya manjur untuk membuat malu dan biar batal bagi dia yang telah “ngapusi aku.”
Kok Bisa?
Silih cidra, yakni genti-genten ngapusi, seperti A menipu B karena si A membalas berhubung merasa pernah ditipu oleh B. Pertanyaannya, apakah si B merasa pernah menipu? Dalam konteks janji memberi uang operasional ngalor-ngidul tadi, mungkin saja B merasa tidak pernah menipu siapa pun.
“Lho….janji kan dudu ngapusi,” mungkin begitu kilahnya, sementara bagi A biaya operasional itu sudah ditunggu-tunggu betul oleh “pasukannya.” Bagi si A yang wis kadung jengkel, bergumamnya setiap kali ialah: “Entenana piwalesku,” dan duer….di saat paling menentukan itulah ia membalas menipu.
Silih cidra dapat mengakibatkan sesuatu rencana gagal total atau gagal sebagian, namun bagi si A tujuan utamanya hanyalah membalas atau sekedar mau unjuk kebolehan dirinya.
Baca Juga: Jaga Tangga: Jangan “Mbiyak Wangkong”
Kalau pengantin laki-laki mangkir padahal perhelatan sudah siap semuanya, sangat boleh jadi perhelatan itu terus dilangsungkan; nah…..bagaimana halnya dengan pendaftaran calon pilkada?
Tiga hari pendaftaran (Jumat, Sabtu, dan Minggu, kemarin) sudah berlalu, dan siapa yang resmi telah diterima oleh KPU sudah ada. Apakah itu berarti semuanya dianggap beres? Pihak KPU mungkin merasa beres, dan bahwa masih ada dampak dari silih cidra, itu pasti bukan urusan KPU.
Apakah kejadian satu silih cidra kelak akan mendorong silih cidra lainnya; itulah yang sering ditakutkan, mengingat perputaran roda politik itu kan tidak pernah “berhenti di sini saja.”, Jadi, Senin ini kita sementara boleh merasa lega dan senang.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)