JEPARA(SUARABARU.ID) – Meski sudah tidak bekerja di perusahaan media massa, saya tetap menulis dan melakukan digital activism dengan cara menulis. Saya memiliki website pribadi www.korespondensi.id.
Ini untuk mewadahi tulisan-tulisan saya. Ada kategori tema di web saya, di antaranya tentang media sosial, story, juga konsultasi menulis. Saya tetap menjaga pentingnya literasi bagi publik, literasi digital, informasi, internet, juga literasi menulis.
Hal tersebut diungkapkan Muhammadun, mantan Wartawan Harian Suara Merdeka yang kini aktif di Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kabupaten Jepara dalam Obrolan Seputar Situasi Jepara di Radio R-Lisa FM, Rabu (2/9-2020).
Dalam dialog dengan tema “ Tak Berhenti Menulis dan Menebar Inspirasi” yang dipandu oleh Dinda Kirana tersebut juga dihadirkan Budi Santoso Ketua PWI Jepara dan Hadi Priyanto, penulis, budayawan dan jurnalis senior Jepara.
Menurut Muhamadun, dalam posisinya di KPU, juga ada peran-peran bagaimana penyelenggara pemilu terlibat aktif dalam pendidikan pemilih. Ini juga bisa dilakukan di ruang yang konvergen, di dunia digital yang dihantarkan internet.
“Kita mengenal demokrasi prosedural yaitu bagaimana pemilu dan pilkada secara prosedural dijalankan sesuai konsititusi dan regulasi. Ini bisa melaui program sosialisasi, termasuk melalui internet dengan tulisan-tulisan,” ujarnya.
Di luar itu menurut Muhamadun, ada demokrasi substansial, dimana KPU, tentu bersama-sama dengan elemen masyarakat lain, termasuk media, menyuguhkan ruang interaksi di internet yang sehat; tidak berkonten hoaks, fitnah, berbumbu SARA, dan tidak memainkan politik identitas. “Sehingga partisipasi di ruang demokrasi digital benar-benar bisa produktif,” ajak mantan wartawan senior ini.
Sementara, Ketua PWI Jepara Budi Santoso menyatakan agar tetap eksis, seorang jurnalis ataupun penulis harus selalu memperbaiki kemampuan, mampu beradaptasi atas perubahan dan selalu belajar. Apalagi perkembangan teknologi yang demikian pesat menuntut seorang jurnalis menguasai berbagai informasi, data dan bahkan kebijakan dan program pemerintah.
Menurut Budi Santoso walaupun media sosial berkembang luar biasa, tulisan berita seorang jurnalis yang dimuat dimedia masa pers tetaplah akan menjadi rujukan bagi masyarakat menghadapi kesimpang siuran informasi yang berkeliaran di masyarakat melalui dunia digital. “Posisi ini akan menjadi kunci bagi keberadaan pers atau jurnalisme itu sendiri,” ujar Budi Santoso yang juga akrab dipanggil Er Je.
Praktik sesat jurnalitik
Terkait dengan Pers, menurut Budi Santoso di Indonesia sudah jelas keberadaannya dengan adanya UU Pers No.40 Tahun 1999. Sedangkan untuk media digital ada UU ITE No 11 Tahun 2008. “Dengan dua UU tersebut seharusnya keberadaan jurnalis cukup terayomi jika benar-benar ditegakan dan dipahami oleh pemerintah dan masyarakat,” ujarnya.
Namun menurut Budi Santoso, praktiknya masih ada yang perlu diluruskan.”Sebab sekarang ini banyak pihak yang dengan mudahnya menyatakan berprofesi sebagai jurnalis atau wartawan dengan hanya memiliki web-blog atau akun FB. Ironisnya para pejabat sepertinya pura-pura tidak tau,” ungkap Budi Santoso.
Hingga akhirnya timbul praktik-praktik sesat jurnalisme yang menimbulkan masalah, dan imbasnya mencoreng profesi jurnalis pada umumnya.
“Untuk menjadi seorang jurnalis sesuai dengan UU Pers ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mulai badan hukum media, kode etik yang harus dipedomani, organisasi yang harus menaungi serta kemampuan yang harus dimiliki,” paparnya.
Tidak boleh seseorang dengan dalih kebebasan menyatakan pendapat terus melakukan tugas jurnalistik yang secara khusus diatur dalam UU tentang Pers.
Sementara Hadi Priyanto jurnalis senior, budayawan yang juga telah menghasilkan karya 14 buku menganggap menulis sebagai pilihan hidup.
“Tulisan dapat menjadi sumber informasi dan juga inspirasi bagi siapapun. Bahkan kritik yang konstruktif terhadap satu kebijakan,” ujar Hadi Priyanto. Jika ingin menjadi inspirasi bagi sesama, jadilah seorang penulis. Syaratnya harus mau terus belajar, membaca dan tidak berhenti berlatih.
Persoalannya sekarang, melalui media sosial banyak orang yang tidak mau membaca dan belajar hingga tidak mengerti, tetapi menulis hingga justru membuat orang tidak tercerahkan. “Seperti orang sedang tersesat tetapi menunjukkan jalan bagi orang buta,” ujarnya
Rds – ua