Oleh Amir Machmud NS
LIONEL Messi dan FC Barcelona adalah prasasti sejarah tersendiri, monumen identik bagai jiwa yang tak terpisahkan sejak 2006 hingga 2020. Simaklah penyatuan ini: Messi ada untuk Barca, Barca ada untuk “La Pulga”…
Konsistensi kebersamaan peran selama dua dasawarsa itu nyaris sulit ditemukan dalam sejarah klub mana pun. Johan Cruyff, yang diakui membangun filosofi Akademi La Masia dan meramu permainan indah Azulgrana, pun tak seidentik itu. Terdapat beda catatan sejarah. Beda pula jalan mahabintang lain, Diego Maradona, Ronaldo Luis Nazario, hingga Luis Figo yang pernah menghirup segar udara Catalunya.
Messi menapak jalannya sendiri. Sejak usia 11 tahun, setelah dibina oleh Newell’s Old Boys, ia dibawa ke Barcelona. Pelatih Carles Rexach yang mengendus bakat luar biasa, merekomendasi proses penanganan hambatan hormon pertumbuhan. Dengan biaya penuh dari manajemen Barca, Messi bersama orang tuanya mengucap selamat tinggal bagi tawaran River Plate.
//… ia hadir dengan hati// dia ada dengan rasa// memprasasti dalam satu tali// Leo Messi lahir untuk Barca// Barcelona ada untuk La Pulga// rumah nyaman bak taman surga// taklah terpikir dia akan ke mana// dalam kebersamaan yang telah terkunci// oleh hati saling memberi// haruskah ada luka?// (Sajak “Leo La Pulga”, 2020)
Realitas jejak membuat Messi istikamah dengan “hati” dan “iman” kepada klub yang telah merawat dan membebaskannya untuk tumbuh normal. Sedangkan Cruyff, walaupun bertambat di Barca selama 1973-1978, sempat mengarungi Ajax Amsterdam, LA Azteca, Washington Diplomat, Levante, dan Feyenoord sebagai aneka “rumah” yang disinggahi. Sama dengan Maradona yang hanya sesaat menggegerkan La Liga pada 1982-1984. “El Pide de Oro” lebih dikenang sebagai “manusia setengah dewa” di Napoli dengan deret klub lain Argentinos Juniors, Boca Juniors, Sevilla, dan Newell’s Old Boys.
Akan halnya Figo, penyeberangan ke Real Madrid pada 2000 memberi cap sebagai pengkhianat yang tak termaafkan oleh fans Barca. Identifikasi pemain Portugal itu dengan Messi jelas tak bisa terbandingkan. Sama dengan sejarah Ronaldo Nazario, yang walaupun lebih dahulu “singgah” di Inter Milan sebelum berlabuh ke Santiago Bernabeu, tetap ditandai sebagai “musuh” Barca.
Orang hanya membayangkan, dalam keniscayaan industri sepak bola yang kapitalistis, segala kemungkinan tentu bisa terjadi. Bukankah banyak fakta, betapa profesionalisme terkadang dinihilkan oleh kesetiaan? Sangat langka pemain yang mematok kepastian berkarier abadi di satu klub.
Loyalitas kuat Messi kepada klub bisa saja tergoyahkan, karena tergoda hijrah ke klub lain dengan berbagai pertimbangan. Namun faktanya, hingga masuk usia 33, dia hanya mengenal Barca sebagai rumah satu-satunya. Lebih banyak yang berpikir dia akan menghabiskan karier di Nou Camp.
Riak Relasi Keluarga
Kekecewaan demi kekecewaan, seperti dalam pasang-surut relasi sebuah keluarga, terkadang tak terhindarkan. Ada-ada saja riak yang timbul. Namun kebergantungan Barca kepada peran “sang dewa” sejauh ini tak banyak menciptakan kontraksi hubungan yang selama hampir 19 tahun saling terjaga.
Maka betapa mengagetkan ketika tiba-tiba menyembul luka, terungkap kecewa, lalu terapungkan opini: Leo Messi merasa muak atas berbagai perkembangan klub, dan dia membuka kemungkinan menuju ambang kepergian dari Camp Nou, untuk selamanya…
Tak ada tanda-tanda pembicaraan perpanjangan kontrak yang akan habis setahun mendatang. Yang muncul malah aneka spekulasi dan isyarat, terutama terkait perkembangan sikapnya akhir-akhir ini. Messi mudah marah, “baper”, “sensi”, dan temperamental.
Saya lebih memilih narasi dugaan tentang “kesepian akut” di balik kemurungan suasana hati Lionel Messi. Ada resah yang menggelayut, ada emosi yang lalu menyambut, dan ujungnya adalah kabut buram: ke mana dia bakal melabuhkan diri?
Kini banyak disebut nama klub yang paling mungkin mendatangkannya. Juventuskah, untuk sebuah proyek menduetkannya dengan Cristiano Ronaldo? Ke Internazionale Milan, untuk bertandem dengan kompatriotnya yang sedang mekar: Lautaro Martinez? Ke Manchester City, karena ada eks pelatih yang suduh sehati: Pep Guardiola? Ke Paris St Germain, bergabung dengan Neymar Junior, kawan yang dirinduinya? Ke Liverpool yang kini menjadi magnet baru berkat sentuhan Juergen Klopp? Atau mudik ke sekolah sepak bola masa kecilnya, Newell’s Old Boys?
Adakah Peluang Bertahan?
Bayangan “Barcelona tanpa Messi”, secara alamiah sebenarnya pasti terjadi, namun tidak dengan cara saling memunggungi. Seperti apa kira-kira Barcelona tanpa Leo Messi? Bisakah kebergantungan itu terurai? Bagaimana pula Messi bermain di klub lain, mampukah dengan segala eksepsionalitasnya beradaptasi untuk sebuah sistem permainan yang “tak sepenuhnya untuk dia” dan yang “tak seutuhnya bergantung padanya”?
Realitas kebergantungan satu sama lain itu sering menciptakan kondisi tidak nyaman. Ketika Blaugrana kalah, seolah-olah tertimpakan kepada Messi. Pertanyaan pun segera mengapung: ada apa dengan performa Messi? Seolah-olah itu beban tanggung jawab dia sepenuhnya. Pelatih pun acap berada dalam situasi sulit. Mengapa Messi tampil biasa-biasa saja, apakah karena taktik yang keliru?
Messi belum pernah mencoba tantangan baru seperti Ronaldo yang telah teruji di banyak liga dengan performa setara. Hanya, kecemasan kini membayang dari para tokoh La Liga. Bahkan pelatih Real Madrid Zinedine Zidane yang notabene musuh bebuyutan Barcelona, khawatir kepergian Messi meredupkan pamor dan daya tarik Liga Spanyol. Tentulah ini faktor marketing kompetisi yang tanpa protagonis utama.
Pertanyaan lain yang juga mengusik, adakah peluang agar Messi tetap bertahan di La Liga?
Ada tiga faktor utama. Pertama, Barca harus mampu meraih trofi Liga Champions musim ini sebagai kebanggaan yang tersisa andai mereka benar-benar tercecer di klasemen liga domestik. Kedua, manajemen Barcelona bisa mendatangkan Xavi Hernandez sebagai pengganti pelatih Quique Setien. Xavi adalah legenda dirigen permainan Barca yang berpengaruh kepada Messi, dan kini melatih di Liga Qatar.
Ketiga, Barca harus sukses dalam operasi transfer. Kegagalan memaksimalkan penampilan Ousmane Dembele, Philippe Coutinho, dan Antoine Griezmann merupakan salah satu faktor yang memengaruhi psikologi Messi. Apalagi ketiga pemain tersebut merupakan semacam “kompensasi” ketidakberhasilan mendatangkan kembali Neymar dari PSG yang terang-terangan pernah diminta oleh Messi.
Mungkinkah tiga faktor itu dipenuhi untuk mengangkat kembali hasrat dan kegembiraan Leo Messi? Manajemen Barca diyakini takkan ikhlas melepas La Pulga, dengan kata lain harus bersiap-siap memecat Quique Setien.
Jadi, untuk sementara, harus ke manakah Leo Messi membuang sepi?
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng