blank
Seniman dari Komunitas Lima Gunung saat pentas “ Ngudarasa” di tengah lahan persawahan, wujud kegelisahan para seniman petani dari lima gunung di masa pandemic Covid-19 ini. Foto: Suarabaru.Id/ Yon

Aja turu soré kaki,
Dna déwa nganglang jagad,
Nyangking bokor kencanané,
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bagéyanipun
Wong melek sabar narima

TEMBANG Asmarandana ini bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, adalah Jangan tidur terlalu awal, ada dewa yang mengelilingi alam raya, menenteng bokor emasnya, yang berisi doa penolak bala,sandang dan pangan,yaitu bagian untuk orang yang suka tirakat malam, sabar dan menerima.

Satu gatra (bait) tembang Jawa “Asmarandana” ini, mungkin sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Jawa saat ini di tengah pandemi covid-19. Yakni, banyak orang yang berjaga-jaga baik untuk menjaga lingkungannya masing-masing atau berjaga-jaga agar tidak banyak orang berlalu-lalang masuk ke desa mengurangi penyebaran virus corona.

blank
Sih Agung Prasetyo, dalang kontemporer asal Desa Sudimoro, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Foto: Suarabaru.id/ Yon.

“Saat ini banyak orang ronda malam baik menjaga keamanan kampung dan  membuat portal gang, dalam rangka berjaga-jaga  mengurangi penyebaran covid-19,” kata salah satu seniman dari Komunitas Lima Gunung, Sih Agung Prasetyo saat acara “Ngudarasa seniman Lima Gunung”, Kamis (21/5).

Pentas “Ngudarasa” ini digelar di atas sepetak lahan persawahan yang habis dipanen milik Sujono, seorang seniman petani  di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.

Pentas tersebut tidak seperti pentas-pentas biasanya, melainkan hanya diikuti empat orang aktivis dari Komunitas Lima Gunung. Yakni, Sujono, dari Sanggar Seni Saujana, Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Sih Agung Prasetyo (dalang kontemporer dari Desa Sudimoro, Kecamatan Grabag),  Irul Motaqien (penari dan pembuat topeng kayu asal Kecamatan Bandongan) dan tidak ketinggalan sang “Presiden Lima Gunung” Sutanto Mendut.

Tanggapan Dibatalkan

Dan sesuai dengan judulnya “Ngudarasa”, acara tersebut dikemas dalam bentuk dialog tentang kegelisahan seniman desa  di tengah wabah covid-19. Sih Agung mengatakan,  makna kedua dari tembang tersebut yakni, masyarakat ( khususnya)  kalangan seniman untuk diminta sabar , karena secara otomatis banyak tanggapan (pentas) yang dibatalkan.

blank
Sujono, pimpinan Sanggar Seni “Saujana” Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Foto: Suarabaru.id/ Yon

Senada dengan Sih Agung Prasetyo, Sujono, pimpinan Sanggar Seni Saujana, Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang mengaku, hampir dua bulan terakhir, kehidupan berkeseniannya  terhenti karena pandemi ini.

Ia menambahkan, banyak beberapa agenda seni yang seharusnya digelar di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Denpasar, Jakarta ,Yogyakarta dan lainnya  terpaksa harus dibatalkan.

“Bahkan, seharusnya pada  medio  April kemarin, saya dan Pak Sih Agung Prasetyo ( dalang kontemporer asal Desa Sudimoro, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang ), seharusnya pentas Wayang Serangga di Paris, Perancis. Dan, karena adanya covid-19 ini, semuanya dibatalkan,” ujarnya.

Sujono yang terkenal dengan sebagai pencipta Wayang Serangga ini menegaskan, para seniman merupakan kalangan masyarakat yang terdampak paling lama.  Karena, para seniman tersebut terpuruk lebih dulu dan bisa pulih paling akhir.

“Biasanya para seniman bisa mendapatkan job pentas lagi meskipun pandemi ini usai, tetapi banyak jadwal pentas masih menunggu lebih lama, menunggu kehidupan nyata lebih nyaman kembali,” ujarnya.

Namun, di tengah pandemi ini, dirinya  masih bisa mencukupi kebutuhan keluarganya dengan jalan untuk sementara alih profesi menjadi seorang petani. Diakuinya, dirinya menjadi petani  tersebut memang lebih dulu dibandingkan dengan kehidupan sebagai seorang seniman. Sehingga, profesinya sebagai petani tersebut bisa menopang kehidupannya lebih lanjut.

Puluhan Ular

Berbeda dengan Sujono dan Sih Agung Prasetyo, sang “ Presiden Lima Gunung”, Sutanto Mendut mengatakan, selama pandemi covid- 19 ini  mempunyai nilai positifnya, yakni banyak kehidupan satwa binatang yang jarang  ditemui, kini mulai bermunculan kembali.

blank
Presiden Lima Gunung,Sutanto Mendut. Foto: Suarabaru.id/ Yon

Bahkan, di Studio Mendut yang ada di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang yang sekaligus rumah tinggalnya tersebut,  dalam beberapa waktu terakhir ini banyak hewan-hewan yang  sudah jarang muncul , kini berkeliaran di halaman belakang rumahnya yang rimbun dengan pepohonan.

“Dulu sebelum adanya pandemic covid- 19 ini, jarang terdengar ocehan burung liar yang hinggap di pepohonan yang ada di belakang rumah. Namun, saat ini burung-burung  tersebut rajin ngoceh sambil berterbangan di ranting-ranting pohon,” ujar  pria yang akrab disapa Tanto Mendut ini.

Suami dari Mami Kato ini menambahkan, selain burung-burung  langka yang kembali berkeliaran, juga ada sejenis serangga tonggeret yang bersuara nyaring  pepohonan saat menjelang sore tiba. Anehnya, suara tonggeret tersebut berlangsung  lebih lama dari biasanya. Dan juga,  serangga jenis garengpung juga bersuara lebih lama di pagi menjelang siang.

Menurutnya, selain jenis serangga dan burung liar yang kembali meramaikan suasana Studio Mendut, selama pandemic covid -19 ini, rumahnya tersebut juga didatangi  puluhan ekor binatang melata, yakni ular.

“Selain sekitar 20 ekor ular gadung (ular warna hijau), juga ada ular phython sepanjang kurang lebih  3 meter, masuk ke pekarangan rumah dan tidak tahu ular-ular tersebut masuk lewat mana,” ujarnya.

Meskipun , ular yang masuk ke rumahnya mencapai puluhan dalam berbagai macam ukuran, dirinya meminta asistennya untuk tidak membunuhnya. Tetapi, membuang dan mengembalikan ke luar pekarangan rumahnya.

“Munculnya hewan-hewan tersebut menandakan  di saat orang-orang “Stay At Home’ karena penyebaran Virus Corona, mereka ( binatang-binatang tersebut, red) seakan-akan menikmati kembali dunia yang sunyi dan bebas dari kebisingan dunia,” katanya.

Yon-trs