blank
Sembilan bahan pokok (ilustrasi-wied)

Oleh Widiyartono R.

blank

SEMUA orang di Indonesia umumnya, bahkan, pasti tahu apa yang disebut dengan sembako. Terlebih pada saat-saat sulit, biasa kemudian ada berbagai bantuan diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Misalnya pada saat terjadi bencana  seperti banjir, tanah longsor, angin ribut, dan sebagainya. Juga seperti yang terjadi saat ini, ketika wabah covid-19 memaksa orang untuk harus diam di rumah, tidak bisa bekerja, dan tidak beroleh penghasilan.

Maka, para pemerintah pun membuat kebijakan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan memberikan paket-paket bahan makanan, misalnya. Kemudian juga kini banyak sekali dermawan yang berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan itu, misalnya tukang becak, penyapu jalan, tukang ojek, para pekerja harian yang kehilangan pekerjaan, dan mereka yang sering kita sebut dhuafa.

Paket-paket bahan makanan itu secara umum disebut dengan istilah sembako. Begitu pentingnya sembako ini, sehingga untuk bisa mencapai popularitas Yadi, seorang pelawak menambah namanya menjadi Yadi Sembako. Kemudian Thomas Jorghi, artis peran yang pindah ke jalur musik dangdut menyanyikan lagi “Sembako Cinta”.

Apa sih sebenarnya sembako itu? Tentu kita semua tahu, sembako singkatan dari sembilan bahan pokok. Pada masa Orde Baru dulu memang tidak populer istilah “sembako” ini. Justru yang terkenal adalah kepanjangannya, yaitu “sembilan bahan pokok” yang memang benar-venar menjadi kebutuhan utama dalam hidup masyarakat pada waktu itu.

Sembako Dulu

Apa saja sembilan bahan poko pada masa Orde Baru dulu? Ada yang masih ingat? Ya, guru SD pada tahun 70-an mengajarkan adanya istilah sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat. Mungkin kita akan merasa aneh, ketika tahu apa sembilan bahan pokok pada waktu itu.

Sekali lagi, sembilan bahan pokok adalah kebutuhan penting sehari-hari yang itemnya berjumlah sembilan. Kesembilan bahan pokok itu adalah beras, gula pasir, garam, minyak goreng, ikan asin, tepung terigu, minyak tanah, sabun cuci, dan kain belacu. Mungkin, anda sekarang bisa tertawa, sembilan kebutuhan pokok kok sperti itu.

Ya, beras memang menjadi hal paling penting, karena itu menjadi makanan pokok. Bahkan pada masa Orde Baru “berasisasi” dilakukan, sehingga ketika orang tidak makan nasi yang terbuat dari beras disebut “Kemungkinan Kurang Makan/KKM”, sebuah eufemisme untuk kata lain “kelaparan”. Maka, di daerah Timur seperti Maluku dan Irian Barat (sekarang Papua) yang menjadikan tepung sagu sebagai bahan pangan pokok terjadi perubahan budaya makan, dari sagu menjadi beras. Dan, ketika beras sulit, maka pemerintah bilan “kemungkinan kurang makan”, padahal waktu itu mereka sudah kelaparan. Sementara sagu hanya sebagai bahan pangan tambahan.

Gula pasir menjadi penting sebagai pemanis, baik untuk minuman, makanan, bahkan untuk memasak pun dibutuhkan bahan ini. Kemudian garam. Ada ungkapan hidup tanpa cinta bagaikan sayur tanpa garam. Begitu esktremnya, ya karena meskipun sedikit garam akan menjadi penentu rasa masakan. Masak sayur jangan kebanyakan garam dong, nggak enak jadinya. Kasinen dikira pingin kawin.

Pada masa Orde Baru dulu, belum ada kewajiban garam yang digunakan untuk memasah harus garam yang beryodium. Maka, orang dulu membeli garam secara eceran berupa garam krosok, yang kristalnya besar-besar. Garam ini biasa digunakan orang untuk membuat ikan asin. Membuat sambal menggunakan garam krosok akan menjadikan cabai atau lombok menjadi lebih halus. Juga bumbu-bumbu untuk masakan seperti bawang merah, bawang putih, merica, ketumbar, dan lain-lain akan lebih gampang lembut bila diulek bersama garam krosok. Maka garam harus selalu ada.

Bahan pokok berikutnya minyak goreng. Bisa dibayangkan, apa jadinya kalau tidak ada minyak goreng. Kita tidak bisa makan mendoan, tahu petis, pisang goreng, dan gorengan-gorengan lainnya. Minyak goreng tidak hanya untuk menggoreng, tetapi juga memasak. Karena untuk sebelum sayur atau bahan lain dimasak, bumbu lebih dulu digangsa pakai minyak. Bahkan, minyak juga menjadi penting untuk treatmen kesehatan secara tradisional, yaitu kerikan.

Bahan kelima, ini yang sekarang bisa dianggap sangat aneh, ikan asin. Ikan asin atau gereh menjadi kebutuhan utama waktu itu, karena bahan sumber protein lain seperti daging atau telur dirasa sangat mahal. Maka, umumnya orang yang sekarang berumur 55-70-an tahun pasti punya cerita makan dengan lauk telur dadar yang dipotong-potong menjadi enam bagian, padahal itu satu butir telur. Satu orang cuma dapat satu potong. Atau bila telur itu direbus, biasanya dibelah dua dengan menggunakan benang. Anak-anak sekarang mana tahu cerita seperti ini. Betapa ikan asing begitu pentingnya, kala itu.

Lalu keenam tepung terigu. Ini yang aneh, Indonesia tidak bisa memproduksi gandum tetapi tepung terigu jadi kebutuhan pokok. Ya, karena kita itu sangat suka makan karbohidrat dengan lauk karbohidrat pula. Makan nasi lauk bakwan, tempe goreng tepung (mendoan), rempeyek, dan sebagainya. Maka terigu jadi penting, apalagi kalau mau Lebaran dulu orang umumnya membuat kue sendiri, sehingga membutuhkan bahan utama terigu.

Semua bahan pangan itu tidak bisa dimasak kalau tidak ada bahan bakar. Maka, minyak tanah menjadi kebutuhan yang ketujuh. Maka minyak tanah waktu itu harganya sangat murah. Selain untuk memasak juga untuk penerangan di desa-desa yang belum berlistrik. Kebuuhan kedelapan sabun cuci, karena orang tidak bisa cuma mengandalkan lerak buah yang biasa digunakan untuk mencuci, dan kini banyak digunakan untuk mencuci kain batik. Dan yang terakhir, ini paling aneh kain belacu. Jenis kain polos agak kasar warnanya putih, tetapi terkesan “putih tua”. Kain belacu harus ada karena waktu itu bahan sandang juga masih sulit dan mahal. Kain belacu adalah kain “termurah” waktu itu. Pada tahun 70-an, ketika perekonomian membaik, anak-anak muda nge-trend dengan celana berbahan belacu. Padahal kain macam itu, waktu itu untuk karung tepung terigu.

Sembako Sekarang

Pada tahun 1998, saat itu negara sedang krisis baik politik maupun ekonomi, turunlah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 115 Tahun 1998 yang menetapkan, “sembilan bahan pokok era baru”. Kesembilan bahan pokok yang dimaksud adalah beras, gula pasir, minyak goreng dan margarin/mentega, daging (sapi/ayam), telur ayam, susu, jagung, minyak tanah, garam beryodium.

Yang baru adalah muncul margarin sebagai pendamping minyak goreng, kemudian ikan asing menjadi daging sapi/ayam, bahkan ditambah satu poin lagi telur ayam. Susu menjadi kebutuhan penting untuk pertumbuhan bayi dan balita, maka dimasukkan juga. Kini jagung juga masuk, karena menjadi bahan penting untuk pakan ternak. Minyak tanah masih ada, dan pada masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diganti menjadi gas 3 kg. Sedangkan garam bukan lagi krosok tetapi beryodium untuk menekan stunting.

Jadi jelas bukan, Sembako itu Sembilan Bahan Pokok. Orang belanja ke pasar katanya beli sembako. Lha kok yang dibeli bumbu dapur, sayuran, cabe, tomat? Lalu mengapa sekarang untuk memberikan paket berisi beras, minyak goreng, gula pasir, dan mi instan disebut memberi sembako. Bahkan memberikan lima kilogram beras saja sudah dianggap membagikan sembako. Jangankan sembilan, lima saja kadang tidak sampai.

Mohon maaf, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan apa yang sudah dilakukan para dermawan. Sama sekali bukan. Ini cuma persoalan bahasa. Kong Hu Tzu pernah bilang, bila ingin memperbaiki suatu bangsa, perbaiki bahasanya dulu. Karena kalau bahasanya salah, kebijakan yang diambil juga salah

Nah, kalau memberikan bantuan sembilan bahan pokok ternyata yang diberikan cuma lima atau enam jenis, itu pun tidak cocok dengan istilah yang ada dalam sembilan bahan pokok, bukankah ini ngapusi, menipu, atau bahkan korupsi. Mengapa tidak disebut memberi bantuan bahan makanan saja.

Sekali lagi, ini hanya soal logika bahasa, tidak bermaksud memandang rendah para dermawan dan pemerintah. Mari kita gunakan bahasa yang benar agar kita menjadi baik.

Widiyartono R, pemerhati bahasa, wartawan tua, redaktur SUARABARU.ID.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini