WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Bersamaan dengan gencarnya upaya mencegah pandemi virus corona, belakangan ini masyarakat dihebohkan oleh kemunculan maklumat tentang perlunya membuat sayur lodeh tujuh warna. Ini disebutkan sebagai sarana tolak pagebluk (wabah) corona.
Sayur lodeh tujuh warna tersebut belakangan ini menjadi viral di media sosial (medsos), karena ramai diunggah di jejaring internet, dan disebarluaskan melalui group-group WA maupun facebook (FB). Ungahan materi maklumat itu didisain menarik, dilbuat poster yang memuat pula foto Raja Mataram Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, yang juga menjabat sebagai Gubernur DIY.
Dalam poster full colour yang beredar meluas di masyarakat tersebut, juga disertai tulisan titah Ngarso Dalem HB X. ”Pagebluk, wayahe rakyat Mataram nyayur lodeh 7 warna (kluwih, cang gleyor, terong, kulit mlinjo, waluh, godong so dan tempe).” Dilengkapi pula untaian doa: ”Mugi sedaya tansah widodo ning ing sambekala (semoga semua senantiasa selamat dari marabahaya).”
Berita Hoaks
Terkait hal tersebut, Kepala Bagian Humas Biro Umum Humas dan Protokol Setda DIY, Ditya Nanaryo Aji, memberikan penegasan bahwa poster yang beredar di medos itu hoax (hoaks), karena bukan buatan Humas Pemda DI Yogyakarta maupun Keraton Yogyakarta.
Tapi masyarakat Yogyakarta terlanjur menyakininya itu sebagai titah Ngarso Dalem. Warga Yogyakarta sebagai kawula Mataram, memahami itu layaknya sarana tolak bala sebagaimana pernah dilakukan pada Tahun 1992, ketika Gunung Merapi erupsi. Yakni tentang pembuatan lodeh disertai minum degan (kelapa muda) ijo yang diberikan biji jinten.
Tidak hanya masyarakat Yogyakarta saja yang heboh, tapi warga di Wonogiri, Jateng, juga banyak yang menyakini itu sebagai dhawuh Raja yang perlu dilaksanakan. ”Tapi untuk membeli bahannya di pasar ternyata kini sulit, khususnya kluwih dan waluh,” ujar Ny Arsi. Para bakul sayur di Pasar Wonogiri Kota, Minggu (22/3), menyatakan, pasokan komoditas kluwih dan waluh langsung ludes dibeli pengunjung pasar.
Makna Filosofis
”Katanya untuk membuat sayur lodeh tolak balak pagebluk,” jelas bakul sayur Ny Marni. Bakul sayur di lantai satu Pasar Wonogiri Kota ini, menyebutkan, harga jual kluwih melonjak dari semula Rp 5 ribu menjadi Rp 10 ribu, dan bahkan dijual Rp 15 ribu pun tetap laku.
Seniman dalang Ki Eko Sunarsono,SSn, menyatakan, ada makna filosofis yang terkandung dari tujuh bahan yang dibuat sayur lodeh tersebut. Kluwih, memiliki makna kluwargo luwihono anggone gulowentah digatekne (keluarga lebihkan dalam memberi nasehat dan perhatian). Kacang, cancangen awakmu aja lunga (ikatlah badanmu, jangan pergi-pergi).
Terong, terusna anggone olehe manembah Gusti ojo datnyeng, mung Yen iling tok. (Lanjutkan tingkatkan dalam beribadah, jangan hanya jika ingat saja). Kulit melinjo, ojo mung ngerti njobone, ning kudu reti njerone babakan pagebluk (Jangan hanya paham akibatnya saja, tapi harus paham secara mendalam penyebab wabah).
Pertolongan Tuhan
Waluh, uwalono ilangono ngeluh gersulo (Hilangkan keluhan dan rasa galau, harus tetap semangat). Godong so, golong gilig donga kumpul wong sholeh sugih kawruh babakan agomo lan pagebluk (Bersatu padu berdoa bersama orang yang saleh, pandai soal agama, juga wabah penyakit). Tempe, temenono olehe dhedhepe nyuwun pitulungane Gusti Allah (benar-benar fokus mohon pertolongan kepada Tuhan).
Budayawan Jawa peraih anuegrah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM, menyatakan, lodeh tujuh warna yang dipahami sebagai sarana tolak balak pagebluk tersebut, merupakan local wisdom (kearifan lokal). ”Yang di dalamnya terkandung pesan-pesan kebaikan, untuk senantiasa ingat, berserah diri dan memohon kepada Tuhan. Kita ambil sisi positifnya saja,” jelas Pranoto yang juga abdi dalem Keraton Surakarta ini.
Viralnya lodeh 7 warna itu, telah memberikan dampak pada perekonomian level bawah bergerak. Petani sayur mendapatkan pasar produknya, dan para bakul laris dagangannya. Di sisi lain, sayur lodeh 7 warna tersebut, dapat memberi asupan nutrisi yang berguna bagi tubuh, dalam menaikkan kebugaran.
Bambang Pur