blank
Seluruh sudut tribun stadion sepak bola disemprot disinfektan guna mencegah penularan virus Corona.

Oleh Amir Machmud NS

blank
Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah.

SEMUA seakan-akan tidak ada yang benar. Mengucap apa pun, selogis dan serealistis apapun, salah. Kalimat yang mencoba menenangkan, salah. Narasi yang mengungkapkan empati, keliru. Pernyataan yang mencoba menukik ke aras spiritualitas, belum tentu diterima positif. Ucapan dengan bungkus humor, bisa dianggap tidak sensitif. Ungkapan yang mengetengahkan optimisme, salah. Apalagi yang bernuansa pesimisme.

Penyimpulan “serbasalah” itu dapat kita tangkap dalam narasi-narasi komunikasi para pemimpin kita di tengah pandemi virus Corona, selama hampir tiga bulan ini. “Bahasa” dengan pesan tertentu dipahami publik dengan daya tangkap yang tentu berbeda-beda, bisa bergantung pada konteks semiotika pemahaman dan kepentingannya.

Penunjukan Juru Bicara Nasional di lingkungan Kementerian Kesehatan pada satu sisi menunjukkan kepekaan respons Presiden Joko Widodo terhadap perasaan masyarakat, yang menghendaki informasi soal Corona bisa dipahami secara efektif, membumi, manusiawi, dan mengedukasi. Pada sisi lain, di balik itu terdapat realitas kondisi masyarakat yang awalnya merasa ada yang ditutup-tutupi, disampaikan secara tidak transparan oleh pemerintah di tengah lalu lintas informasi global Corona.

Suasana gamang dalam informasi perkembangan persebaran virus Covid-19 itu juga sempat menimbulkan turbulensi pemberitaan media. Berita yang justru menimbulkan efek kepanikan, paranoia, atau tidak memberi proteksi sosial kepada penderita, mewarnai hari-hari awal penyajian informasi di berbagai media. Dewan Pers pun sampai mengeluarkan surat edaran mengenai panduan pemberitaan yang kemudian dijadikan pegangan oleh organisasi-organisasi profesi kewartawanan.

Apa yang sejak Senin (16 Maret) disajikan sejumlah media tentang testimoni pasien nomor 01, 02, dan 03 yang sudah sembuh, menurut saya merupakan bentuk contoh pemberitaan inspirasional yang mengedukasi. Terdapat rangkuman kombinasi yang sehat antara aktualitas informasi, pengetahuan, edukasi, dan kontrol sosial. Muatan tanggung jawab sosial terasa dari pemberitaan tersebut.

Inspirasi semacam itulah yang kita harapkan bisa dijadikan model penyajian pemberitaan mengenai wacana perlu atau tidak  perlunya keputusan lockdown sebagai langkah lanjut pengendalian persebaran virus Corona.

Bahasa Kepemimpinan

Memang tidak mudah bagi para pemimpin untuk menyenangkan semua rakyatnya. Selalu ada celah persoalan berkonteks pemahaman dan kepentingan setiap kali terjadi peristiwa yang membutuhkan kemampuan berkomunikasi.

Kemampuan berkomunikasi terkait dengan kapasitas untuk bernarasi, memilih diksi, mengemas ke dalam substansi yang tepat, lalu membahasakannya dengan kekuatan gestural. Tentu bukan bagaimana seorang pemimpin mesti mampu “bersinetron” dengan ucapan, mimik, dan gestur yang menyesuaikan kondisi-kondisi tertentu, akan tetapi dengan aura ketulusan, pemimpin mengekspresikan “rasa intrinsik” sekaligus “rasa ekstrinsik” dalam komunikasinya. Selanjutnya adalah gaya, yang tentu melekat sebagai karakter, atau juga kemampuan alamiah orasi yang tentu berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.

Setidak-tidaknya, pilihan cara berkomunikasi para tokoh muda Ganjar Pranowo dari Jawa Tengah, Ridwan Kamil di Jawa Barat, atau Anis Baswedan di DKI Jakarta melalui platform-platform media sosial merupakan jalan tengah. Ketiganya tampil dengan gaya masing-masing di tengah kegalauan tentang kebutuhan informasi di seputar wabah Corona.

Di antara “syarat-syarat” tersebut, sikap dasar yang perlu dijadikan bekal pemahaman adalah kemauan untuk menghindari “kesenjangan rasa” antara pemimpin dengan rakyatnya. Jangan sampai membuka ruang berjarak “saya” dan “kalian”, atau “kami” dengan “mereka”.

Dalam momen peristiwa dengan tingkat sensitivitas tinggi seperti pandemi Corona, pemimpin dan rakyat ada dalam “ruang yang (seharusnya) sama”, “rasa yang (seharusnya) saling menguatkan”, dan “bahasa (yang seharusnya) juga senada”.

Pertarungan sikap media secara tidak langsung, termasuk media sosial yang terbelah oleh dikotomi antara “minna” dan “minkum”, pun seperti “membelah” bahwa ucapan atau ekspresi si A itu keliru, si B benar, dan seterusnya.

Jadi, siapa yang paling tepat dalam membahasakan komunikasi terkait perkembangan persebaran virus Corona? Apakah Presiden Jokowi? Apakah Menteri Terawan? Apakah Juru Bicara Achmad Yurianto? Atau malah Anies Baswedan? Narasi-narasi Ridwan Kamil? Atau Ganjar Pranowo? Atau FX Hadi Rudyatmo? Mungkin pula para tokoh yang biasa menyuarakan sikap oposan?

Ketika menyampaikan sebuah pesan, pastilah para pemimpin itu telah mengemasnya dengan konsiderans kuat, argumentasi yang tersiapkan, atau kesadaran menghadapi kepentingan besar “hati” masyarakat. Maka ketika di sesela itu — dan bukan hanya dari para tokoh yang saya sebutkan tadi –, muncul pernyataan-pernyataan “mengejutkan”, boleh jadi ada konsiderans, argumentasi, atau kesadaran yang luput dari bawah sadar kecermatan, yang kemudian melahirkan sejumlah poin catatan “kesenjangan”,

Misalnya, bagaimana kita harus mencerna “nuansa humor” dari statemen bahwa kita cukup berdaya tahan dari Corona karena terbiasa menyantap nasi kucing? Atau virus Corona bisa dilawan dengan susu kuda liar? Atau bangsa ini kebal Corona karena kekuatan anu, anu, atau anu.

Terdapat pula pemimpin yang punya agenda setting dalam momen-momen tertentu untuk melawan kemapanan dengan pernyataan-pernyataan yang boleh jadi kontroversial, namun terukur dan tentu saja tidak dalam konteks kondisi yang sangat sensitif.

Benarkah semua itu menjadi pernyataan yang menenteramkan, memperkuat rasa percaya diri, meminimalkan ketakutan, dan ikhtiar membuang kepanikan? Atau, karena disampaikan tanpa keterukuran, malah menimbulkan kegaduhan yang lain?

Pilihan diksi yang mengapungkan narasi akan membedakan, antara yang disampaikan oleh man on the street dalam obrolan ngalor-ngidul di warung kopi, dengan yang diucapkan oleh para pemimpin yang merepresentasikan formalitas lembaga negara. Pembedaan itu akan tampak dari tanggung jawab, efek, kepengikutan, dan sensitivitas sikap empati.

Bukankah Plato pernah mengatakan, “retorika adalah pencipta pengaruh atas nama kepercayaan, bukan instruksi atas yang salah dan yang benar”.

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini