KUDUS (SUARABARU.ID) – Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, sepanjang 2019 makin sering dilanda bencana alam, mulai dari tanah longsor, banjir, hingga angin kencang.
BPBD Kabupaten Kudus mencatat jumlah peristiwa bencana alam yang terjadi sepanjang tahun 2019 di kabupaten ini mencapai 367 kejadian atau lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2018) yang tercatat 216 kejadian.
“Bencana alam yang terjadi selama 2019, meliputi tanah longsor, kebakaran, kekeringan, banjir, dan angin kencang,” kata Kepala pelaksana harian BPBD Kabupaten Kudus Catur Sasi Penanggungan.
Dari lima bencana alam tersebut, kata dia, tercatat ada tiga jenis bencana alam yang sepanjang 2019 mengalami kenaikan jumlah kejadiannya dibandingkan sebelumnya.
Antara lain, kebakaran sepanjang 2019 tercatat mencapai 171 kejadian atau meningkat dibandingkan dengan tahun 2018 yang tercatat hanya 82 kejadian, kemudian kekeringan dari tahun 2018 tercatat hanya 30 kejadian, tahun 2019 meningkat menjadi 81 kejadian.
Bencana angin kencang sepanjang 2019 juga meningkat menjadi 78 kejadian dari tahun sebelumnya hanya 40 kejadian.
Kondisi berbeda terjadi pada bencana tanah longsor tahun 2019 hanya sembilan kasus atau menurun dibandingkan tahun 2018 yang tercatat mencapai 22 kejadian, kemudian bencana banjir juga turun dari semula 42 kejadian, tahun 2019 turun menjadi 28 kejadian.
Terkait dengan kebakaran, kata dia, sepanjang 2019 didominasi kebakaran lahan tanaman tebu yang lebih banyak karena faktor kelalaian manusia.
“Ada yang sengaja membakar lahan untuk membersihkan lahan sebelum ditanami kembali, serta ada pula yang memang terbakar akibat faktor cuaca panas dan mengancam pemukiman warga,” ujarnya.
Untuk meminimalkan dampaknya, maka perlu ada penyadaran pemilik lahan dalam membersihkan sisa-sisa daun tanaman tebu yang kering agar tidak menimbulkan kebakaran yang meluas dengan melibatkan Dinas Pertanian dan Pangan Kudus.
Tingginya peristiwa kebakaran, kata dia, juga didukung dengan kemudahan akses masyarakat terkait kedaruratan kepada Pemkab Kudus melalui akses sambungan telepon 112, dibandingkan sebelumnya belum tersedia.
“Segala permasalahan, bisa dilaporkan untuk mendapatkan penanganan segera,” ujarnya.
Meskipun demikian, kata dia, penyebab utama kebakaran tetap harus menjadi perhatian agar tidak terulang setiap tahunnya.
Terkait dengan dampak kekeringan, katanya, merupakan dampak dari laju pembangunan yang semakin meningkat, namun minim sumur resapan karena semua mengutamakan betonisasi, termasuk dalam pembuatan gorong-gorong tanpa ada resapannya.
Akibatnya, lanjut dia, air hujan hanya mengalir begitu saja hingga ke muara sungai dan sangat minim masuk ke perut bumi.
“Dampaknya dirasakan ketika musim kemarau banyak sumur warga yang mengering dan lebih mengandalkan musim hujan,” ujarnya.
Turunnya dampak banjir, dia menduga, karena faktor curah hujan dari kawasan atas yang intensitasnya normal, berbeda dengan tahun sebelumnya yang intensitasnya di atas normal sehingga banyak terjadi banjir maupun longsor.
Kalaupun masih terjadi banjir, kata dia, lebih dominan karena faktor penumpukan sampah karena kesadaran membuang sampah pada tempatnya masih perlu ditingkatkan.
Ia mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan, terutama di lingkungan tempat tinggalnya untuk melakukan langkah antisipasi dari segala ancaman bencana alam dengan memperkuat infrastruktur lingkungan setempat serta mengurangi kegiatan yang bisa menimbulkan dampak bencana alam.
Ant-Wahyu