JEPARA ( SUARABARU.ID) – Berdasarkan data yang yang ada di Kantor Pengadilan Agama Jepara, kasus perceraian yang terjadi di Jepara pada tahun 2019 sebanyak 2238 kasus.
Dengan demikian rata-rata setiap hari terjadi 6 kasus perceraian lebih di Jepara. Dari jumlah tersebut 1.746 kasus adalah cerai gugat yang diajukan oleh istri dan 492 kasus cerai talak yang diajukan oleh pihak suami.
Data angka perceraian tersebut diungkapkan oleh Plt Panitera Pengadilan Agama Jepara, Drs Sarwan, M.H kepada SuaraBaru.I, Drs Sarwan, M.H kepada SuaraBaru.I Selasa (11/2-2020) diruang kerjanya. Namun ia menepis anggapan yang menyatakan angka perceraian Jepara tertinggi di Jawa Tengah.
Diungkapkan pula, walaupun angka perceraian Jepara tergolong cukup tinggi, namun tidak tertinggi di Jawa Tengah. Sebab untuk Wilayah Eks Karesidenan Pati saja kita nomor dua setelah Pati.
“Kalau tingkat Jawa Tengah angka perceraian Jepara berada di tengah agak bawah. Namun demikian kita harus bersama berusaha menekan angka perceraian,”papar Sarwan.
Sedangkan tahun 2018 terdapat 2.348 kasus perceraian yang terdiri dari cerai gugat 1.635 kasus dan cerai talak 497 kasus perceraian. Dengan demikian jika dibandingkan pada tahun 2019 terdapat penurunan 110 kasus perceraian.
Sedangkan dispensasi kawin selama tahut 2019 tercatat 188 perkawinan. Dispensasi kawin adalah perkawinan calon mempelai laki-laki atau perempuan masih dibawah umur dan belum diperbolehkan untuk menikah sesuai dengan undang-undang. Sedangkan pada tahun 2018 dispensasi nikah tercatat 120 perkara.
Dengan demikian terdapat kenaikan sebesar 68 kasus. Peningkatan ini disebabkan penambahan usia perkawinan sesuai undang-undang menjadi 19 tahun untuk anak perempuan. “Sebagian besar alasan yang diajukan adalah pasangan perempuan telah hamil,” ujar Plt Panitera Pengadilan Agama Jepara, Drs Sarwan, M.H kepada SuaraBaru.I
Untuk kasus perceraian menurut Sarwan, alasan yang banyak diajukan adalah persoalan ekonomi, tanggung jawab suami hingga hadirnya fihak ketika dalam sebuah keluarga. Munculnya peluang kerja bagi perempuan hingga merasa mandiri juga menjadi penyebab yang lain disamping ketidak siapkan pasangan karena kawin muda.
“Karena itu dalam setiap perkara kami pasti melakukan mediasi agar para pihak rukun dan kembali membangun keluarga. Namun hasilnya kecil. Kami disini ibarat keranjang sampah yang menerima persoalan ketidak harmonisan sebuah keluarga ketika sudah diujung,”papar Sarwan.
Sementara Azizah Iis, aktivis perempuan yang aktif di devisi advokasi LPP Sekar Jepara mengajak semua elemen masyarakat dan pemerintah disemua tingkatan untuk bersama-sama menekan angka perceraian. “Sebab dalam kasus perceraian anak akan menjadi korban dan sangat terganggu perkembangannya,” ujarnya.
Oleh sebab itu Badan Penasehat Pe,mbinaan dan Pelestarian Perkawinan yang bernauang di Kantor Urusan Agama Kecamatan diharapkan dapat mengambil peran dalam upaya pendampingan keluarga ketika menghadapi persoalan perkawinan.
“Kehadiran lembaga ini harus disosialisasikan sampai bawah,” ujar Azizah Iis yang juga menjadi Sekretaris Cabang Koalisi Perempuan Indonesia Jepara.
Sedangkan terkait peningkatan angka dispensasi nikah, ia berharap agar pengajuan dispensasi nikah diajukan dengan memenuhi persyaratan. “Pemberi rekomendasi hendaknya lebih selektif dan pengadilan memberikan penatapan yang adil dan bijaksana, tuturnya.
Hadi Priyanto