JAKARTA (SUARABARU.ID) – Ekonom senior yang segera menapaki karier baru sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu menyatakan sangat percaya bahwa kekuatan baru Indonesia ada di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Saya percaya pariwisata dan ekonomi kreatif jadi kekuatan baru Indonesia,” kata Mari Elka Pangestu saat media visit ke Redaksi Kantor Berita Antara di Jakarta, Selasa.
Mari mengatakan ia pernah menjabat sebagai menteri pertama di Indonesia yang bertugas khusus mengelola ekonomi kreatif. Ia menemukan fakta bahwa sinergi antara ekonomi kreatif dengan pariwisata sangat erat. “Saling mendukung sehingga saya senang bahwa itu dikembalikan lagi jadi satu karena saling mengisi. Itu jadi kekuatan baru,” katanya.
Mari mengaku sebagai ekonom ia banyak belajar saat menjabat sebagai Menparekraf dan sebagai ekonomi ia melihat modal capital sebagai financial capital sehingga ia harus mencari cara mendapatkan dana untuk investasi.
Ia pun kemudian melihat dari potensi pertumbuhan dan faktor-faktor yang lain. “Ternyata waktu saya jadi Menparekraf, saya menyadari kita bukan hanya mencari apa kekuatan kita, bukan hanya mencari modal uang, modal finansial tapi modal budaya, modal sosial, dan juga modal alam dan itu semua punya nilai,” katanya.
Menurut dia, ekonomi kreatif itu merupakan sektor yang banyak bicara mengenai cara mengambil nilai dan mendapatkan nilai tambah dari modal yang ada. Ia mencontohkan misalnya tenun punya nilai tambah karena dijadikan sesuatu yang kontemporer, bukan semata digunakan sebagai sarung melainkan produk kreatif disainer.
“Jadi nilainya lebih tinggi daripada nilai tenunnya. Nilai tenunnya sendiri harus dinilai ini pekerjaan tangan dan menggunakan kreativitas dari pekerja kreatif. Ini nilai-nilai Indonesia sangat kaya dan itu jadi pembelajaran saya sebagai Menparekraf,” katanya.
Saat menjadi Menparekraf, ia banyak melakukan perjalanan keliling Indonesia dan membuktikan Indonesia yang sangat beragam budayanya bahkan dari satu kabupaten ke kabupaten lain yang bersebelahan pun makanannya bisa berbeda.
Tak hanya itu, kain hingga tariannya pun berbeda-beda termasuk musiknya. “Budaya kita masih sangat hidup harus dipertahankan tapi bukan ditaruh di museum melainkan dikembangkan. Dia bisa berkembang kalau ada nilai economic value. Di situlah kita sedikit berantem dengan seniman dipikir kita ingin menjual budaya,” katanya.
Padahal, kata Mari, justru sebaliknya ketika budaya bisa hidup maka harus punya nilai. “Seperti tenun, batik akhirnya kini yang penggunaannya jadi kontemporer. Itu menghidupkan perekonomian lebih banyak penenun dan pebatik, kalau nggak mereka bisa mati (usahanya),” kata Mari.
Ant-trs