KLATEN (SUARABARU.ID) – Ada yang khas pada warung sate kambing Tali Roso yang terletak di selatan Pasar Wedi, Kabupaten Klaten, Jateng. Dalam membakar sate, tidak menggunakan tusuk sate dari bambu sebagaimana lazimnya pada tukang sate. Tapi memakai tusuk besi sepanjang sekitar 0,7 Meter.
Pemakaian tusuk sate menggunakan besi seperti ini, mengingatkan tukang sate yang pernah saya jumpai di Beijing, Tiongkok. Bedanya, sate di Negeri Tirai Bambu tersebut, umumnya memakai bahan daging babi. Hanya di perkampungan muslim saja, sate yang dijajakan berbahan daging kambing atau domba dan dijamin halal. Kesempatan nyate di Beijing, China, itu saya dapatkan bersamaan ketika tugas liputan Asean Games.
Terlepas dari kenangan tersebut, warung sate kambing Tali Roso milik Tri Sumarno (50), berada di tepi jalan alternatif Sukoharjo-Klaten, di ruas Jalan Raya Bendogantungan – Bayat, tepatnya di Desa Gadungan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten. Tidak sulit untuk menemukan warung sate Tali Roso Pak Tri, karena selalu ramai dikunjungi pembeli. Asap bakaran satenya, menyebarkan aroma khas menggugah rasa lapar.
Sate Legendaris
”Saya sudah membuka warung sate ini sejak Tahun 1991,” ujar Tri Sumarno. Itu artinya, sampai saat ini telah berjalan selama hampir tiga dasa warsa. Rentang waktu 29 tahun tidaklah pendek, dan ini telah melambungkan popularitas Tali Roso sebagai warung sate yang legendaris. Banyak disukai pembeli karena rasanya yang nikmat, dan daging olahannya empuk. Sehari-hari dibantu istrinya, Ny Partiyem (48) dan enam orang asisten koki.
Kata Tri, dulu sehari rata-rata hanya sembelih dua ekor kambing. Tapi belakangan ini, sejak viral di media sosial (medsos), sehari menyembelih 4 sampai 5 ekor. Itu karena banyak masyarakat pengguna jejaring internet tertarik datang. ”Untuk kambing, tidak harus memilih yang umur muda, yang penting besar,” tuturnya.
Mengapa dapat empuk meski kambingnya tidak muda ? ”Setiap akan menyembelih, disamping membaca basmallah, saya berdoa empuk, empuk, empuk,” tutur Tri Sumarno. Pemakaian alat tusuk besi, ikut menyempurnakan pembakaran sate menjadi empuk dan matang di bagian dalamnya. Karena sifat besi menjadi penghantar panas api.
Foto Gubernur
Penyembelihan kambing, dilakukan waktu dinihari. Tujuannya, agar dagingnya tetap fresh ketika mulai berjualan pada pukul 09.00. Biasanya tidak sampai petang, sudah habis. Daging kambing, sebagian digantung pada sisi kiri angkring, yang memudahkan ketika sewaktu-waktu diiris-iris untuk ditancapkan pada tusuk besi, sebelum dilakukan proses pembakaran di tungku.
Di warung sate Tali Roso, tersedia tiga meja yang diletakkan di sisi utara, tengah dan selatan. Masing-masing dilengkapi 12 kursi, yang itu berarti total kapasitasnya sebanyak 3 x 12 = 36 orang. Di dinding tembok sisi selatan ruang pembeli, terpajang foto Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang dicetak dalam ukuran besar berpigura. ”Itu foto Pak Ganjar ketika tiga tahun lalu datang nyate ke sini,” tutur Tri Sumarno.
Praktik pembakaran sate Tali Roso, diletakkan di bagian depan menggunakan tungku plat besi dengan bahan bakar arang, yang dilengkapi mesin hembus (blowing engine) sebagai pengganti kipas sebagaimana banyak dipakai oleh tukang sate pada umumnya. Ikut dipajang pula angkring sate dilengkapi pikulan bambu melengkung. Meski tidak dilakukan penjualan keliling, tapi keberadaan angkring tradisional ini, sengaja dijadikan kelengkapan trade mark.
Tarip seporsi sate lengkap dengan sepiring nasi dan segelas minuman (teh dan jeruk), dipasang harga Rp 40 ribu. Tapi pembeli masih suka menambah gulai untuk pelengkap makan. ”Sate delapan gulai lima,” ujar pengunjung yang datang berombongan ketika menyampaikan order ke Ny Partiyem. Di saat makan, mereka masih pesan tambah dua piring nasi dan sepiring gulai. Gulai Tali Roso, merupakan olahan jerohan kambing dan balungan (tulang yang masih ada tempelan dagingnya), yang mantap rasa lezatnya.
Bambang Pur