Oleh Amir Machmud NS
INDUSTRI sepak bola bukan hanya sebuah ruang penuh keingarbingaran bintang berbaju selebritas, juga bukan cuma forum para pelatih hebat untuk unjuk ketokohan. Di tengah ingar bingar dan ketokohan itu tak jarang mencuat kepedihan, usungan nasib dalam jalan takdir yang getir. Di antara bandul grafik kemenangan dan kekalahan, tersaji realitas: hari ini dia ditokohkan, esok dia bisa dipojokkan. Hari ini dipuja-puji, hari nanti dicerca-dimaki.
Mauricio Pochettino melengkapi referensi kisah getir tentang pelatih yang semula identik dengan perjalanan kompetitif Tottenham Hotspur sejak 2014, membentuk The Lilywhite sebagai kekuatan impresif. Spurs, di tangan pelatih asal Argentina berusia 47 tahun itu menjadi tim dengan skema menyerang yang atraktif dan selalu mampu bersaing di papan atas klasemen Liga Primer. Pencapaian terbaik Pochettino tentulah runner up Liga Champions 2019, kalah 0-2 dari Liverpool di partai final. Orang muda itu pergi sebelum meraih puncak pembuktian…
Dalam atmosfer industri sepak bola profesional, inilah mungkin “dosa” Pochettino: Spurs mampu terus bersaing di level atas, berturut-turut mencapai zona Liga Champions, tetapi selalu gagal menjadi pemuncak liga, termasuk kekurangsuksesan di sejumlah turnamen. “Dosa terbesarnya”: musim ini Harry Kane dkk gagal mempertahankan konsistensi, bahkan terpuruk di urutan ke-14, posisi yang tentu “bukan habitat Spurs dan Poch”.
Dalam siaran persnya, manajemen Tottenham Hotspur menyatakan, mereka (sebenarnya) enggan untuk melakukan perubahan. Ini bukan keputusan mudah yang diambil manajemen
klub. Juga bukan (keputusan) tergesa-gesa. Hasil di liga domestik pada akhir musim lalu dan awal musim ini dinilai sangat mengecewakan.
Dan, takdir pula yang kemudian membuat seseorang yang semula bersikap tidak akan
“menyeberang” dari Chelsea ke Tottenham Hotspur akhirnya bersedia menggantikan posisi Pochettino. Ya, “The Special One” Jose Mourinho melawan ucapannya sendiri: berlabuh di sesama klub London itu, padahal dia pernah berikrar untuk tidak akan mau menangani The Spurs.
* * *
DATANG dan pergi, dinamika pergeseran sikap dan pilihan, juga aneka kejutan adalah warna-warni pelangi dalam industri sepak bola profesional. Parameter hasillah yang akan menentukan, terkadang juga sampai pada seperti apa bentuk permainan (atraktivitas) yang diidealkan oleh manajemen klub dan fans.
Liga-liga dunia telah menjadi mesin perputaran uang dengan investasi jor-joran. Pemain dan pelatih menjadi bagian dari indikator sukses klub sebagai produk daya saing yang ujung-ujungnya adalah money talks. Di antara mereka yang membangun kekuatan, ada yang hanya mengandalkan kekuatan uang untuk menumpuk pemain bintang. Itulah bagian dari realitas ruh kapitalisme.
Dari pemahaman itu, apakah kita akan serta merta melihat Mauricio Pochettino sebagai “korban” industri sepak bola?
Tentu tidak sesederhana itu, karena dia sadar masuk ke dalam sebuah dunia yang mempertaruhkan kompetensi dan daya saing, memutar kreativitas untuk menemukan faktor pembeda. Poch telah ditempa oleh perjalanan sejarahnya sendiri, dari sejak menjadi pemain yang memulai karier bersama Newell’s Old Boys, berpindah-pindah klub hingga ke Espanyol, memperkuat tim nasional Albiceleste, lalu berkarier pada usia muda sebagai taktikus yang melabuhkan dan mengangkat kepercayaan diri Tottenham Hotspur.
Dia sukses meracik Harry Kane, Son Heung-min, Delle Ali, Lucas Moura, Eric Drier, Jan Vertonghen, Moussa Sissoko, juga Christian Eriksen sebagai kekuatan hebat Liga Primer yang empat musim berurutan finis di empat besar. Poch termasuk pelatih yang tidak suka mengumbar nafsu belanja pemain bintang, dan lebih memilih memaksimalkan potensi yang tersedia, plus bakat-bakat Akademi Tottyenham Hotspur dalam membangun chemistry tim. Kapten tim Harry Kane memuji Poch sebagai manajer istimewa yang membanggakan dan membantunya mencapai level seperti sekarang.
Pochettino sempat diminati Manchester United. Sejumlah legenda MU mendesak manajemen Theater of Dream untuk merekrut Poch sepeninggal Jose Mourinho, tetapi akhirnya Ole Gunnar Solskjaer-lah yang dipilih. Kini malah terjadi kondisi sebaliknya. Poch keluar dari Tottenham, dan Mourinho yang menggantikannya. Begitulah lalu lintas dinamika “takdir” bergerak dalam industri kompetisi.
Real Madrid juga pernah berniat mendatangkan Pochettino ketika terjadi gonta-ganti manajer sebelum Zinedine Zidane bersedia kembali ke Santiago Bernabeu. Artinya, kualitas Poch tidak diragukan di deretan elite pelatih dunia. Pembuktian konsistensi bersama The Lilywhite meskipun belum pernah meraih trofi liga, menandai sang manajer memang punya keistimewaan.
Jose Mourinho disorot karena menelan ucapannya sendiri untuk tidak akan menyeberang dari Chelsea — klub yang dibesarkannya — ke Tottenham Hotspur. Tipe permainan yang disukai — lebih mengutamakan prodiuk ketimbang bentuk — juga tidak senada dengan filosofi atraktivitas Poch. Apakah pelatih yang telah melanglang klub dengan sederet trofi Eropa, liga, dan turnamen itu cocok menukangi Spurs, waktu juga yang akan menguji. Yang pasti, inilah perpaduan ambisius antara sosok yang sarat trofi dengan klub yang miskin gelar.
Pochettino boleh jadi pergi dengan getir, dan Mourinho datang dengan keyakinan seperti karakteristiknya selama ini. Itulah pernak-pernik alam profesional yang kadang seperti mengabaikan rasa dan hati. Nasib dan takdir bukan sesuatu yang bisa direnungkan berlama-lama, karena segera tiba tantangan baru, tempat baru, sikap baru, juga pasti bersiap mengarungi takdir baru…