CIREBON – Keraton Kasepuhan Cirebon, dikenal sebagai salah satu peninggalan sejarah di Nusantara, dan menjadi keraton Islam pertama di Tanah Jawa. Bangunan keraton yang berdiri atas lahan 25 Hektare (Ha) tersebut, didirikan pada Tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati), yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506 dan bersemayam di ndalem (istana) Agung Pakungwati Cirebon. Bangunan bersejarah cagar budaya di Tanah Air ini, banyak mengandung filosofi dan misteri.
Bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon, memakai bahan bata merah dengan perekat putih telor, dan memiliki misteri karena konon dicipta dalam waktu semalam. Keberadaannya, jauh lebih dulu berdiri dibandingkan dengan Keraton Surakarta Hadingrat yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwana II pada Tahun 1744, sebagai pengganti istana keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan Tahun 1743. Juga lebih dulu ada dibandingkan dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta, yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I pasca-Perjanjian Giyanti Tahun 1755.
Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana, yang menikah dengan Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah). Beliau wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa pada usia yang sangat tua.
Meski Keraton Kasepuhan telah didirikan di abad 16, tapi sebagai cagar budaya Nusantara, keberadaannya tetap terjaga dengan baik. Bahkan Presiden RI Joko Widodo pada Tanggal 18 September 2017 lalu, meresmikan Museum Pusaka yang dibangun di Keraton Kasepuhan. Di gedung museum yang dibangun oleh Sultan Sepuh XIV PRA Arief Nata Diningrat SE ini, disimpan aneka benda bersejarah. Yakni aneka ragam senjata tombak, keris, kujang, badik, panah, pedang dan rompi baja hasil rampasan dari tentara Portugis, sampai sejumlah benda berharga milik Kasultanan Cirebon.
”Di ruangan khusus ini, yang dibuka hanya setiap hari Minggu, tersimpan beragam pusaka milik Sultan Cirebon bersama peninggalan busana dan barang-barang antik lainnya,” jelas Raden Mungal Kartadingrat. Pemandu wisata Keraton Cirebon berusia 67 tahun yang merupakan bapak 4 anak dan kakek dari 6 cucu ini, membenarkan kalau ruangan khusus penyimpan pusaka Sultan Cirebon tersebut memiliki pancaran aura yang kuat dibandingkan dengan ruangan lainnya.
Demikian halnya pada bangunan Langgar Alit yang terletak di sisi dalam bagian barat, yang memiliki tiang tunggal dilengkapi empat cabang penyangga. ”Secara folosofis, ini melambangkan ajaran papat lima pancer tentang jati diri manusia,” jelas Mungal Kartadiningrat yang setia telah 15 tahun menjadi abdi dalem Keraton Kasepuhan Cirebon.
”Kalau ini kereta kencana pusaka keraton, dulu dipakai khusus hanya untuk raja saja, ditarik memakai empat kerbau,” ujar Mungal. Pembuatannya dilakukan pada Tahun 1549 oleh Panembahan Losari sebagai titian (kendaraan) raja ketika melakukan kirab setiap 1 Muharam, dan digunakan pula pada setiap pelantikan sultan. Arsitektur pembuatannya memadukan tiga unsur budaya yang melambangkan tri-persahabatan Kasulatanan Cirebon. Yakni dengan India (Hindu) yang dilambangkan belalai gajah, Wajah cantaka (kepala)-nya mirip naga sebagai simbol persahatan dengan China (Tiongkok) yang berkebudayaan dan beragama Budha, Dilengkapi sayap Buroq sebagai simbol persahabatan dengan Mesir yang beragam Islam. Pada belalainya menggegam pusaka trisula, melambangkan ketajaman dalam mengolah pikiran melalui cipta, rasa dan karsa.
Di salah satu sisi dinding museum, terpajang lukisan tiga dimensi Prabu Siliwangi, karya seniman lukis Tatang Ridho dari Sanggar Sancang, Garut, Jabar. Lukisan Prabu Siliwangi dalam posisi berdiri berukuran 1,5 Meter x 1 Meter ini, memiliki keistimewaan karena pancaran mata dan jari kaki kirinya, selalu mengikuti arah pengunjung yang mengamatinya.
Di bagian dalam Keraton merupakan bangunan dan ruangan tempat tinggal Sultan dan keluarganya. Terdiri atas bangunan utama yang berwarna putih, yang didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja. Para pengunjung tidak diperolehkan masuk ke dalam, dan hanya diizinkan mengintip dari kaca jendela atau dari celah jeruji jendela.
Di depan keraton menghampar Alun-alun Sangkala Buana. Dulu dijadikan tempat latihan keprajuritan yang diadakan setiap Hari Sabtu atau istilahnya disebut sebagai Saptonan. ”Raja menyaksikannya dari siti hinggil,” ujar Mungal. Di alun-alun tersebut, dulu juga dipakai untuk tempat mengekskusi rakyat yang melanggar peraturan, untuk menerima hukuman cambuk. Di sebelah barat Keraton kasepuhan, berdiri masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali, yang dinamakan sebagai Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Di sebelah timur alun-alun, dulu dipakai sebagai tempat perekonomian berupa pasar, yang sampai sekarang dikenal sebagai Pasar Kesepuhan. Model bentuk keraton yang menghadap utara, dengan bangunan masjid agung di sebelah barat, pasar di sebelah timur, serta tengah depan hamparan alun-alun, ini merupakan prototipe bangunan keraton pada di masa lalu.
Saat ini, di depan Siti Hinggil dan seputar alun-laun, dipenuhi oleh para pedagang yang menjajakan beragam komoditas. Mulai dari kedai minum, angkringan dawet dan tahu gejrot, dagangan buah iris yang siap santap, dorong bakso, warung makan, kios penjualan kuliner khas Cirebon, sampai lapak kaki lima yang menjajakan aneka macam souvenir (cenderamata).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an, yang dilengkapi sepasang gapura motif bentar bergaya arsitektur Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi, di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng, terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng, artinya angka penunjuk tahun 1451 Saka yang merupakan tahun pembuatan keraton. Tahun1451 Saka adalah Tahun 1529 Masehi.
Di kompleks Siti Hinggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi yang berlainan. Bangunan utama yang terletak di tengah, bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah, ini melambangkan rukun iman. Keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah, melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT.
Bangunan di sebelah kiri bernama Pendawa Lima, dengan 5 tiang penyangga, sebagai lambang rukun Islam. Bangunan ini, dulu sebagai tempat para pengawal pribadi Sultan.
Bangunan di sebelah kanan, bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan dua kalimat Syahadat. Bangunan ini, dulu sebagai tempat penasehat Sultan atau Penghulu. Di sisi belakangnya, dinamakan bangunan Mande Pangiring, yang merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah Mande Pangiring adalah Mande Karasemen, yakni sebagai tempat pengrawit pengiring Sultan menyajikan tetabuhan musik gamelan.
Di bangunan inilah, sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun, yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding tersebut, terdapat juga tugu batu yang bernama Lingga Yoni, yang merupakan lambang kesuburan. Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya Hindu. Kemudian di atas tembok sekeliling kompleks Siti Hinggil, terdapat Candi Laras berfungsi sebagai penyelaras.
suarabaru.id/Bambang Pur