Mulai hari ini, Minggu 20 Oktober 2019, setiap seminggu sekali suarabaru.id menyajikan kolom analisis sepak bola, “Bola-Bola Amir Machmud NS”. Kolom ini berisi ulasantentang dinamika sepak bola dunia dan nasional, yang ditulis oleh Amir Machmud NS. Kolumnis kelahiran Pati ini sudah meliput berbagai event sepak bola di tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional selama lebih dari 30 tahun. Amir telah membukukan sebagian karyanya dalam buku Potret Olahraga (1994), Sepak Bola Semarangan (1999), Sepak “Dolar” Bola (2017), dan Sepotong Mimpi dari Rusia (2018), di luar biku-buku tentang jurnalistik dan birografi tokoh.
Oleh AMIR MACHMUD NS
Abad sepak bola moderen pada awal milenial, ditandai perlombaan sengit rekor demi rekor oleh Cristiano Ronaldo dan Lionel Andres Messi. Pembandingan itu bagai tak berujung, mirip ketika Pele dan Diego Maradona — pada masanya — dipertarungkan lewat pertanyaan “siapa yang lebih baik” dari performa teknis, statistika, serta peran pada level klub dan negara.
Secara statistik, Pele yang bernama asli Edson Arantes do Nascimento dinilai lebih unggul. Capaian tiga trofi Piala Dunia (1958, 1962, 1970), pengaruh yang dia berikan kepada tim nasional Brazil, dan 1.000 gol yang dicetak sepanjang karier sepak bolanya, tidak tersamai oleh Maradona yang hanya sekali meraih Piala Dunia (1986), serta karier kinclong bersama Boca Juniors, Barcelona, dan Napoli. Namun, realitas Maradona yang berkarier di era industri kompetisi yang lebih ketat dibandingkan dengan era Pele, secara tidak langsung memosisikan “El Pibe de Oro” secara kualitatif lebih baik.
Kini rivalitas Ronaldo dengan Messi juga melahirkan pembandingan serupa itu. Satu hal yang membedakan, untuk mereduksi ketidakobjektifan dalam deskripsi kuantitatif, ada perbedaan substansial dari kedua megabintang dunia tersebut. Ronaldo merupakan pemain dengan kualitas mumpuni bahkan hingga usia 34, berkat kedisiplinan dalam spartanitas latihan teknik dan fisik. Dia hebat karena disiplin membentuk kemampuan. Sedangkan Messi, “dari sononya” memang sudah dilahirkan sebagai pemain dengan bakat teknis yang berkelas “alien”. Kecuali Maradona, sangat langka pemain dengan fenomena bakat sebesar “La Pulga”.
Walaupun pada orbit sebelum dan pada saat kemaharajaan Messi dan Ronaldo juga beredar bintang-bintang besar seperti Alfredo Di Stefano, Johan Cruyff, Michael Plaini, Zinedine Zidane, Eric Cantona, George Weah, Zlatan Ibrahimovic, Ronaldo Luis Nazario, atau Ronaldinho, namun dua “monster” itu memiliki posisi tersendiri dalam khazanah sejarah kebintangan dengan semua pengaruhnya. Ronaldinho, dengan daya magis bagai “sang penyihir”, memang punya tempat tersendiri dalam percaturan eksepsionalitas seorang mahabintang, namun dengan masa edar yang lebih pendek.
Sama-sama lima kali meraih Ballon d’Or selama 10 thun terakhir, persaingan seolah-olah memusat pada kedua bintang besar itu. Messi, yang terlihat lebih “sempurna” dalam penguasaan bola, melengkapi diri dengan kemampuan mencetak gol yang bersandar pada kekuatan kaki kiri, sama dengan keistimewaan Maradona pada masanya. Kaki kiri Messi, dalam menggocek bola melewati lawan, melepas umpan, dan menghunjamkan tendangan bebas, serta menendang penalti lewat “gaya Panenka”, seolah-olah punya mata dan kendali atas luncuran si kulit bundar.
Dengan kelebihan-kelebihan itulah Messi menjadi faktor pembeda bagi Barcelona. Sekaligus pada sisi lain, catatan rekor liga, Copa del Rey, dan Liga Champions itu juga menandai ketidakseimbangan Messi dengan capaian bersama timnas Argentina. Messi memang meraih medali emas Olimpiade 2008 bersama Argentina, tetapi di ajang mayor Piala Dunia dan Copa America dia selalu diselimuti kegagalan. Sekali lolos ke final di Brazil 2014 (kalah 0-1 dari Jerman), dan dua kali lolos ke final Copa 2015 dan 2016, dua-duanya dikalahkan Chile lewat adu penalti.
Kebelumberhasilan memberi trofi untuk Argentina inilah yang selalu dijadikan kesimpulan bahwa Maradona lebih baik dari Messi. Sedangkan sukses Ronaldo membawa Portugal juara Euro 2016 dan UEFA Nations League 2019 dijadikan justifikasi kuantitatif bahwa CR7 memang lebih baik.
Catatan 700 Gol
Rekor Josef Bican (Austria) yang membukukan 805 gol, Romario Faria (772 gol), dan Pele (767 gol), juga Gerd Mueller yang melewati angka 700, pastilah sulit disamai oleh pemain mana pun, namun tingkat kesuburan Ronaldo diperkirakan masih berpotensi untuk mengejar atau menjajari. Akumulasi gol itu dicetak untuk klub dan timnas.
Ronaldo dikenal sebagai pemain komplet. Dalam statistik, 444 gol dicetak dengan kaki kanan, kaki kiri 126 gol, dan sundulan kepala 128 gol. Gol ke-700 diciptakan melalui penalti dalam pertandingan melawan Ukraina, Selasa lalu. Di tingkat klub, untuk Sporting Lisbon dia mempersembahkan lima gol, untuk Manchester United 118 gol, Real Madrid 450 gol, dan Juventus 32 gol. Sedangkan untuk timnas Selecao das Quinas Ronaldo merupakan top scorer sepanjang sejarah dengan (sementara) 95 gol.
Ketika Ronaldo mencetak rekor baru, Messi juga mencatatkan keistimewaan lain. Kapten Argentina itu menambah koleksi Sepatu Emas sebagai pencetak gol tersubur Eropa. Kini telah enam kali Messi membendaharakan gelar tersebut, sementara Ronaldo empat kali, Musim lalu, dengan torehan 37 gol, Messi mengungguli Kylian Mbappe (Paris St Germain) dengan 33 gol, dan Fabio Quagliarella (Sampdoria) dengan 26 gol.
Musim terproduktif Messi dicatat pada 2011-2012 lewat 50 gol, lalu musim 2014-2015 dengan 40 gol, musim 2016-2017 37 gol, dan musim 2009-2010 dengan 34 gol.
Dunia menjadi saksi kehebatan dua pemain dengan kemampuan setara yang relatif sulit diperbandingkan. Kita mungkin tidak ragu menyatakan Ronaldo lebih baik dengan statistik penampilan dan trofi-trofi untuk timnas Portugal, juga lewat tantangan petualangan di liga-liga yang berbeda. Namun kenyataannya, Messi secara teknis memperlihatkan cara bermain yang berbeda, berada pada tingkat “alien”dengan gol-gol solo yang terkadang tak terhentikan, walaupun dia menolak disebut “dewa”, seperti orang Napoli pernah memperlakukan Maradona sebagai “manusia setengah dewa”.
Rivalitas kedua manusia istimewa ini berlangsung lebih dari 10 tahun, hanya terseling oleh Luka Modric sebagai penerima Ballon d’Or 2018, dan (mungkin) tahun ini masih dispekulasikan nama Virgil van Dijk sebagai kandidat pemenang trofi pemain terbaik sejagat itu.
Bagi kita, rasanya lebih bijak menerima anugerah kegembiraan bisa menjadi saksi era persaingan yang pasti bakal sulit terulang ini. Memang kini mengantre calon-calon bintang seperti Neymar Junior, Kylian Mbappe (Paris St Germain), Jadon Sancho (Borussia Dortmund), Phil Foden (Manchester City), Vinicius Junior (Real Madrid), Ansu Fati (Barcelona), dan Joao Felix (Atletico Madrid), yang disebut-sebut sebagai “The Next Messi” dan “New Ronaldo”, namun tingkat pertunjukan yang seeksepsional dua mahabintang itu rasanya bakal sulit berulang dalam sejarah.
Ronaldo telah mencatatkan “rekor gila” dengan 700 golnya. Kini mari kita nikmati rekor demi rekor yang akan terus dicetak oleh Ronaldo dan Messi. Keduanya mampu mempertahankan kebugaran dalam rambatan usia kepala tiga, dengan terus bersaing, berkreasi, dan menorehkan catatan yang bakal semakin menjauhkan maqam mereka dari manusia-manusia lumrah sepak bola.
Kehebatan Ronaldo dan Messi justru adalah ketidaklumrahannya…