SEMARANG – Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Semarang, Minggu (18/8/2019) malam, menggelar aksi spontanitas atas peristiwa pemukulan terhadap Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) di Malang.
Mereka juga melancarkan protes keras terhadap pengepungan yang disertai pemukulan dan penahanan puluhan mahasiswa Papua di Surabaya serta pemasangan spanduk dan represifitas ormas reaksioner di Semarang.
Aksinya sendiri dimulai pukul 18.00 WIB di depan Kantor Polda Jawa Tengah. Dalam orasinya, mereka mengutuk stigmanisasi, diskriminasi, pengepungan dan lain-lain yang belakangan ini berkembang terhadap mahasiswa Papua di berbagai tempat.
“Hal ini terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap orang Papua sejak terjadi proses aneksasi wilayah Papua kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata salah satu anggota AMP Semarang, Ney Sobolim, seperti dalam press rilis resminya.
Adapun sikap yang dikeluarkan oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) atas kejadian-kejadian represif tersebut, mereka menyuarakan sejumlah tuntutan sikap. Di antaranya mengutuk pelaku pengepungan asrama Papua Surabaya, dan penyerangan aksi damai di Malang, serta pemukulan yang berujung pada penangkapan di Ternate dan Ambon.
Menuntut penangkapan serta mengadili aktor dan intelektual pelaku dalam pengepungan asrama Papua Surabaya dan penyerangan aksi mahasiswa Papua di Malang pada 15 Agustus 2019. Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya, Kodim Surabaya dan Pemerintah Daerah Surabaya bertanggung jawab atas pembiaran terhadap TNI, Satpol PP dan Ormas yang dengan semena-mena mengepung dan merusak Asrama Papua.
“Pecat anggota-anggota TNI dan Satpol PP yang memulai provokasi penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Hentikan rasisme! Manusia Papua bukan Monyet!,” kata Ney Sobolim saat menyatakan tuntutan AMP.
Selain itu, AMP menuntut penangkapan serta mengadili pelaku pemberangusan ruang demokrasi di Surabaya yang mengakibatkan 5 orang terluka berat dan belasan lainnya luka-luka ringan.
Mengganti segala kerusakan materiil dan immateriil akibat dari penyerangan Asrama Kamasan Surabaya, serta menghormati dan melindungi hak kebebasan berkumpul serta mengemukakan pendapat sebagaimana yang di maksud dalam konstitusi.
Dalam tuntutannya dijelaskan, AMP mengimbau kepada rakyat Bangsa West Papua bahwa rasisme penyebutan “monyet Papua” datang dari kelompok reaksioner berwatak kolonial. Kolonialisme di Papua sudah berlangsung sejak 1962 pasca Negara Imperialis Amerika Serikat terlibat dalam perjanjian New York yang melahirkan penjajahan baru di Bumi West Papua setelah Belanda.
Rasisme, sikap dan tindakan merendahkan martabat harga diri Rakyat Papua telah lama dilakukan lewat operasi-operasi militer yang mengakibatkan lebih dari 500 ribu juta jiwa meninggal dalam pembantaian.
“Mereka menguasai sumber produksi hingga di pelosok, mengambil semua kekayaan alam Papua untuk tuannya Imperialis Amerika. Mereka mengisolir rakyat Papua seakan bangsa yang tak bisa berbuat apa-apa selain bergantung kepada kolonial,” katanya.
Maka, dengan peristiwa pengepungan, penangkapan, dan penyebutan “monyet Papua” yang berulang terjadi, AMP mengimbau untuk tidak terprovokasi dengan propaganda-propaganda yang memicu saling menyerang antar kelompok etnis atau beragama di Papua.
Sebab propaganda semacam itu menghendaki tuntutan politik Papua merdeka yang sedang diperjuangkan oleh rakyat mau digiring ke dalam isu rasial, saling serang antara kelompok.
“Musuh kita jelas. Militerisme dan kolonialisme beserta tuannya, imperialisme,” pungkasnya. (suarabaru.id)