SEMARANG – Berdasarkan road map Kementerian BUMN untuk sektor energi, menyatakan bahwa perlu adanya konsolidasi bisnis gas BUMN dalam rangka peningkatan pemanfaatan gas bumi domestik.
Oleh karenanya, penggabungan bisnis PGN dan Pertamina pada RUPS Luar Biasa PGN tanggal 26 April 2018 terkait Perubahan Pemegang Saham dari Pemerintah beralih menjadi PT Pertamina.
Dampak dari kebijakan ini adalah kepemilikan saham Pertamina atas pengalihan bisnis gas existing, LNG existing, Jaringan gas, dan SPBG dari Pertamina ke PGN menyebabkan potensi kerugian negara karena kepemilikan saham publik (pengusaha swasta/lokal/asing) di PGN sebesar 43,04 %.
Dalam waktu dekat direncanakan bisnis LNG yang dikelola oleh Pertamina akan dialihkan kepada PGN. Sebagai dampaknya, negara akan mengalami potensi kerugian atas keuntungan dari pengelolaan LNG ini, dikarenakan kepemilikan saham publilk di PGN sebesar 43,04%.
Oleh karena itu pekerja Pertamina yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menyatakan bahwa bisnis LNG merupakan bisnis masa depan perusahaan yang harus dijaga eksistensinya sehingga negara akan mendapatkan 100 % keuntungan yang dapat digunakan sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia.
Presiden FSPPB, Arie Gumilar mengungkapkan bahwa Produksi LNG Indonesia saat ini mencapai 16 MT atau sekitar 7% LNG dunia dan cadangan gas nasional sebesar 135 TSCF. Selain itu, Indonesia jadi eksportir LNG terbesar kelima setelah Qatar, Malaysia, Australia dan Nigeria.
Kapasitas Kilang LNG Indonesia sebesar 28,7 MTPA artinya masih ada potensi untuk meningkatkan penjualan dari hasil produksi, baik untuk pasar domestik ataupun untuk pasar luar negeri.
Menurut Arie, pasokan LNG ke pasar dunia meningkat sekitar 12% per tahun. Sedangkan volume perdagangan LNG tahun 2017 meningkat menjadi 293,1 MT atau meningkat sebesar 35,2 MT dari tahun 2016.
“Pertumbunan pasokan LNG merupakan respon terhadap pertumbuhan pasar di Asia untuk memenuhi permintaan China dan Korea Selatan. Kedepan, kebutuhan gas akan semakin besar seiring kepedulian lingkungan dan perubahan pola pasar atau pemain LNG Dunia,” katanya.
Arie menambahkan, sejauh ini Pertamina diberikan wewenang terkait bisnis LNG adalah sebagai Penjual Bagian Negara (melalui Tim LNG Commercial) untuk WK (wilayah kerja) tertentu yang dilakukan melalui penjualan secara tender dan beauty contest (penjualan term dan penjualan spot/strip deal).
Sedangkan untuk Pengelola LNG Portofolio (Tim LNG Business Commercialization) yang dilakukan untuk pengelolaan LNG Domestik melalui pembelian LNG, dilakukan dengan cara Bilateral B2B- tender dan beauty contest serta penyediaan kebutuhan LNG Global melalui optimasi penjualan LNG dengan cara sesuai bisnis yang ada.
Ketua Umum Serikat Pekerja Persada (Pertamina Pemasaran Daerah) IV, Datuk Fachrul Razy menjelaskan bahwa pengalihan bisnis gas atau dalam hal ini bisnis LNG ke PGN dapat berdampak terhadap keuntungan yang diterima pemerintah dikarenakan sebesar 43,04% saham yang dimiliki PGN adalah milik publik atau dalam hal ini milik pengusaha swasta lokal atau asing.
Oleh karenanya, Fachrul menjelaskan bahwa FSPPB menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk wajib mempertahankan proses bisnis LNG pada Pertamina yang keuntungannya 100% untuk kemakmuran rakyat, dimana saham 100 % milik negara.
Selain itu, meminta Pemerintah Republik Indonesia (cq. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) untuk memastikan Pertamina dapat menyusun program kerja rencana Bisnis LNG yang mendukung Security of Supply Nasional baik jangka pendek ataupun jangka panjang karena proses bisnis LNG yang bersifat jangka panjang untuk tetap menjaga kedaulatan energi nasional.
FSPPB juga mendesak pemerintah untuk menghentikan segala upaya pengalihan proses bisnis LNG yang dilakukan Holding Migas ke PGN karena menyebabkan potensi kerugian negara karena kepemilikan saham publik (pengusaha swasta/lokal/asing) di PGN sebesar 43,04 % .
Fachrul menambahkan, pekerja Pertamina yang tergabung dalam FSPPB menolak terhadap pengalihan bisnis ini dikarenakan dampak-dampak yang akan dihadapi di masa mendatang.
“Bisnis LNG merupakan bisnis jangka panjang yang usia kontraknya bisa mencapai 20-30 tahun maka harus ada kejelasan kontrak jangka panjang antara seller – buyer. Sedangkan sejauh ini Pertamina sudah diakui komitmen dan penanganan bisnis LNG secara international dan dikenal sebagai world class energy company. Sehingga pengalihan bisnis ini bisa berdampak pada keberlangsungan bisnis yang sudah dan akan berjalan ke depan,” kata Fachrul. (suarabaru.id/hp)