blank
Kus Haryadi

JEPARA – Kendati telah memiliki Perda No 1 tahun 2011 yang disempurnakan dengan Perda No 1 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan yang juga mengatur seni ukir sebagai muatan lokal, namun tidak banyak sekolah yang melakukannya.

Beban belajar di kurikulum 2013 yang sudah padat menyulitkan sekolah dan para guru untuk mengajarkan seni ukir,  melalui mapel yg relevan antara lain prakarya maupun seni budaya. Persoalan lain,  banyak sekolah yang tidak memiliki guru yg memiliki ketrampilan dan pengetahuan tentang seni.

Menurut Kus Haryadi,  Ketua MGMP Seni Budaya SMP Kabupaten Jepara, ada yang mengatakan bahwa kearifan lokal, khususnya seni ukir, bisa dimasukkan ke mapel prakarya, namun kenyataannya sangat sulit dan sangat tidak memadai.

“Peluang bisa  masuk di mapel prakarya maupun seni budaya hanya ada pada kompetensi dasar (KD) tertentu yang relevan, sehingga materi dan waktunya sangat kurang memadai karena ada materi-materi keterampilan lainnya yang sudah jelas KD-nya ditentukan dari pusat dan guru tidak berwenang untuk merubahnya.’’

‘’Sebagai contoh dalam mapel seni budaya, kami hanya bisa menyisipkan materi seni ukir hanya di satu KD dari empat KD yang harus diajarkan dalam satu semester,” ujar Kus Haryadi.

‘’Intinya sangat sulit untuk memasukkan seni ukir pada mata pelajaran yang ada di kurikulum 13, sebab setiap mapel sudah ditentukan  kompetensi inti dan kompetensi dasarnya dari pusat,’’ ungkapnya. Karenanya persoalan tersebut perlu diusulkan ke pusat atau pihak yang berwenang menentukan kebijakan.

blank
Leo Ramli

Lampu Merah 

Sementara itu,  salah satu pelaku dan pegiat seni ukir, Leo Ramli menilai,  kelesarian seni ukir saat ini telah sampai tahapan yang berbahaya dan kritis, ibarat lampu merah.

Menurut Leo Ramli,  tiga pilar yang harusnya bertanggung jawab justru abai. Tiga pilar itu adalah lembaga pendidikan, pemerintah, dan dunia usaha. ‘’Ironis sebagai pusat ukir dunia, Jepara tidak memiliki sekolah yang mengajarkan seni ukir.  Padahal ukir adalah potensi lokal terbesar. Gaji yang rendah juga menjadi persoalan hingga banyak tukang ukir yang memilih beralih bekerja di bidang lain,’’ katanya.

Kondisi ini mengakibatkan anak muda enggan mewarisi budaya leluhurnya.  Apalagi pemerintah justru membuka investasi untuk bidang lain yang dapat menyerap puluhan ribu tenaga kerja.

Karena itu para pemangku kepentingan, harusnya terpanggil untuk membicarakan persoalan terasebut secara menyeluruh.  Namun yang penting rekomendasi yang dihasilkan, jangan hanya disimpan di laci kantor.  (SuaraBaru. Id/HD)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini