blank
Warga Sirahan mengular bersalaman dalam tradisi “Wong Sak-Desa Salaman Kabeh”, Rabu 5 Juni 2019. Foto: Amir Machmud NS

ORANG sedesa “menggeruduk” sebuah lapangan. Mereka lalu berbaris antre, memanjang mengular di sebuah lapangan di depan kompleks Perguruan Darul Falah di Desa Sirahan, Cluwak, Pati. Sekitar tiga ribu orang bersalam-salaman di tengah diperdengarkannya tahlil yang dipimpin seorang ustadz.

Suasananya akrab penuh senyum dan tawa. Warga saling menyapa menanyakan keselamatan, mengingat-ingat nama dan kenangan, saling berbincang ringan di sela-sela waktu yang pendek ketika saling bersalaman. Sekitar dua jam mereka berjalan berputar dalam antrean salaman.

Tumplek bleg “wong sak-desa salaman kabeh” itu merupakan tradisi silaturahim dan halalbihalal seusai shalat id di Masjid Baiturrohim. Orang-orang dari sejumlah kampung di Sirahan yakni Kampung Kauman Krajan (Sirahan Tengah), Bakalan, Jambu Kidul, Kulonan, Nggili Lor dan Nggili Kidul menuju satu titik bagai disatukan oleh magnet, tersedot ke tempat acara tersebut.

blank
Suasana warga sedesa yang sedang bersalam-salaman. Foto: AM

Kebersamaan Romantik

Semua orang bergembira. Salah satunya Khoirul Anwar, yang selalu setia menanti momen tersebut. Dia, juga orang-orang Sirahan yang bekerja di luar daerah, menunggu acara silaturahim itu sebagai majelis kebersamaan yang romantik. “Acara ini betul-betul bisa dipertahankan otomatis secara turun temurun, dari sejak nenek moyang kami sampai generasi anak-anak muda yang sekarang. Kami secara lintas generasi selalu menunggunya,” tutur Khoirul yang bekerja sebagai dosen Fakultas Agama Islam di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang itu.

Sebelum dekade 1990-an, tradisi ini digelar di kompleks Masjid Baiturrohim di pusat desa, setelah rangkaian shalat id selesai. Kemudian disepakati pindah ke halaman kompleks Perguruan Darul Falah yang lebih luas, dan kebetulan berlokasi di sebelah kiri makam desa, sehingga memudahkan merangkaikannya dengan acara ziarah.

Warga yang lain, Masrurimencatat, ini adalah puncak acara Lebaran di desanya. Dalam pengamatannya, dari generasi ke generasi penduduk Sirahan, makin banyak yang mengikuti acara ini. “Memang tidak sedikit warga yang bermigrasi dan menetap di kota-kota, tetapi mereka pun pada tiap Lebaran mudik ke Sirahan antara lain untuk menikmati acara ini,” kata penulis buku masalah-masalah metafisika yang tenar sebagai ahli hipnoterapi ini.

Lihatlah pancaran kegembiraan warga di acara tersebut lewat aneka ekspresi warga. Setiap kali orang-orang tertentu bertemu kerabat, sahabat waktu sekolah, atau menyalami teman yang sudah lama tidak bertemu, acap terucap pertanyaan,“Hai apa kabar? Berapa lama ya kita tidak ketemu?”, “Siapa anak ini?”, “Siapa dia?”, “Kok sudah besar?”, “Si A sekarang di mana?”, dan sebagainya.

“Salaman massal wong sak-desa” itu menumbuhkan suasana keakraban, sampai acara kemudian ditutup dengan doa tahlil penziarahan untuk para ahlil-qubur dan tetua desa yang sudah tiada.

Makin Berkembang

Sarana peribadatan di Sirahan makin berkembang. Pada Idul Fitri tahun ini, untuk kali pertama jamaah Masjid Baiturrohim dipecah ke masjid baru yang berada di Kampung Bakalan di Sirahan Lor, yang terletak sekitar 500 meter dari masjid pusat. Sebelum ini juga telah didirikan masjid di Kampung Nggili Kidul dan Nggili Lor yang mendirikan shalat jamaah sendiri, sehingga terdapat empat masjid di desa yang berdekatan dengan perbatasan Kabupaten Jepara itu.

“Walaupun sekarang Sirahan punya empat masjid, jamaah Baiturrohim tidak berkurang. Warga yang datang ke silaturahim di halaman Darul Falah ini bisa jadi ukuran. Sepertinya terus bertambah. Anda bisa melihat sendiri tadi, generasi baru pun menyukai acara ini,” tutur Carik Desa, Muhammad Kusnin.

Desa ini dihuni sekitar 3.700 penduduk. Menurut Carik Kusnin, mereka rata-rata bekerja sebagai petani, pedagang, pegawai negeri, juga tak sedikit yang bermigrasi ke kota-kota dengan keahlian masing-masing, baik dalam kompetensi sebagai guru, ustadz, poengusaha, kontraktor, pedagang, paramedis, tukang kayu, tukang batu, hingga sopir. “Mereka, pada setiap Lebaran mudik ke Sirahan, dan tentu tidak melepaskan kesempatan menghadiri halalbihalal massal ini,” ucapnya.

Mahmud, warga yang lainmenilai, tradisiinioleh sebagian warga juga dijadikan kesempatan bertemu dengan saudara-saudara, teman lama, dan anak-anak generasi baru Sirahan yang belum dikenalnya. “Jadi kalau nanti tidak berkesempatan silaturahim ke rumah kerabat atau teman-teman, setidak-tidaknya sudah bisa berhalalbihalal. Maka acara ini bisa menjadi semacam ganti reuni,” kata karyawan swasta di Semarang itu.

Silaturahim ini diakui sangat eksotik, yang sepengetahuanseorang warga Achmad Munir, tidak didapati di desa-desa lain di wilayah Kecamatan Cluwak. “Bagusnya, tanpa upaya-upaya khusus untuk melestarikan, rasanya warga Sirahan akan tergerak untuk terus mempertahankan tradisi yang baik ini. Jadi, walaupun di mana-mana terjadi pergeseren budaya interaksi dalam kehidupan masyarakat kita, saya yakin acara ini akan tetap lestari di Sirahan,” katanya.

Masruri menambahkan, nilai terkuat yang melekat adalah kesadaran untuk merasa saling bergantung sebagai sesama warga desa, sehingga antargenerasi tetap harus saling mengenal sambung-menyambung.

suarabaru.id/Amir Machmud NS

 

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini