SEMARANG (SUARABARU.ID) – Bagi mereka yang sekarang usianya di atas 45 tahun pasti sangat mengenal sosok ini. Sosok yang dikenal njengkelke, kemlinthi, umuk (menjengkelkan, sok, dan sombong) ketika tampil di televisi. Ya, tahun 80-an, sosok Susilo Nugroho memang rutin tampil di TVRI Yogya dalam berperan sebagai Den Baguse Ngarsa, priyayi yang sombong, dalam acara “Mbangun Desa” bersama Heru Kesawa Murti (Pak Bina), Sepnu Heriyanto sebagai Kuriman, Sudiharjo sebagai Kang Sronto; dan Muji Rahayu sebagai Yu Sronto.
BACA JUGA Den Baguse Ngarsa ‘Nggasaki’ Gubernur di Natalan Pemprov Jateng
Acara yang bertahan sampai dua dekade itu memang menjadi salah satu acara favorit TVRI Yogya waktu itu, bahkan disiarkan pula secara nasional. Dan, tokoh Den Baguse Ngarsa yang khas itu memang selalu diingat, bahkan sampai saat ini. Susilo Nugroho, yang setahun lalu pensiun dari pekerjaannya sebagai guru SMK (dulu SMEA) Negeri 1 Bantul, kini kembali total di dunia kesenian.
Dalam perbincangan khusus bersama Suarabaru.Id di Gedung Grhadhika Bhakti Praja sebelum mengisi acara perayaan Natal jajaran Pemprov Jateng, Susilo mengatakan, dia mestinya pensiun 1 Februari 2019. “Tetapi diminta untuk menyelesaikan sampai semester habis. Jadi saya ini pernah jadi guru honorer justru setelah pensiun,” katanya.
Lulusan SMA De Britto ini bekerja sebagai guru di almamaternya setelah lulus dari Universitas (IKIP) Sanata Dharma. Setelah mengajar di SMA Kolese De Britto beberapa waktu, kemudian diterima sebagai guru PNS di SMEA (sekarang SMK) Negeri 1 Bantul. “Saya menjalani pekerjaan sebagai PNS selama 34 tahun 10 bulan,” kata ayah dua anak ini.
Susilo Nugroho mengaku sewaktu SMA, sebenarnya saya pernah merasa minder karena tidak punya teman. “Saya mikir-mikir mau ikut latihan apa biar punya teman. Kalau musik atau olahraga rasanya saya tak punya bakat. Sepertinya kok cuma teater ya yang nggak butuh bakat. Ya sejak saat itu sampai sekarang saya di dunia seni peran. Di situ juga saya jadi punya banyak teman,” katanya dalam suatu wawancara.
Ditanya tentang kegiatan setelah pensiun, Susilo menyatakan, dia kembali ke dunianya, dunia kesenian. Desember 2019 lalu, dia pentas dengan grup teater yang kondang sejak tahun 80-an, Teater Gandrik. “Sekarang saya serius menangani ketoprak. Saya menangani ketoprak ringkes Cap Conthong,” katanya.
Di ketoprak ini, dia menulis naskah, sinopsis, sekaligus treatment.Sinopsis diperlukan untuk dibagikan kepada penonton saat pentas berlangsung. Kemudian treatment juga ditulis untuk memandu awak ketoprak seperti juru lampu, setting panggung, dan sebagainya. Dan naskah untuk para pemain. “Saya nulis naskah sekaligus menjadi sutradara bersama Mas Marwoto,” tuturnya.
Bukan Ketoprak Biasa
Disebutnya, ketoprak yang dia garap ini bukan ketoprak biasa. Dia menulis naskah tentang cerita-cerita yang belum pernah dipentaskan dan juga belum pernah ditulis. “Misalnya legenda, ya legenda yang belum pernah ditulis. Kalau pun pernah ditulis atau dipentaskan, saya mencari sesuatu yang lain yang tidak pernah diungkap sebelumnya,” kata Susilo.
Misalnya tentang Geger Pacinan yang dimulai dari Jakarta kemudian di Solo. “Di Semarang warga Tionghoa bersama rakyat pribumi juga berjuang melawan penjajah Belanda, dengan menjebol benteng Belanda yang ada di kawasan Kota Lama. Ini hal baru. Nah yang semacam ini yang saya angkat untuk ketoprak Cap Conthong itu,” ujarnya.
Contoh lainnya adalah tokoh perempuan yang sangat terkenal dan berpengaruh dari Jepara, yaitu Ratu Kalinyamat. Karena dikenal dengan mitos tapa wuda sinjang rambut (bertampa tanpa busana hanya berkain rambut yang terurai), kemudia dikesankan bahwa tokoh ini tidak baik.
“Padahal, itu hanya kiasan atau simbol saja. Sebuah gambaran Ratu Kalinyamat yang suaminya dibunuh oleh Arya Penangsang, kemudian dia bersumpah untuk bisa membunuh pembunuh suaminya itu,” katanya.
Tapa wuda sinjang rambut, itu gambaran bahwa Ratu Kalinyamat mundur dari jabatannya sebagai ratu dan menyerahkan kekuasaan kepada mertuanya. Dia mundur untuk bisa membalas dendam atas kematian suaminya.
Bahkan Susilo menemukan data, bahwa Ratu Kalinyamat itu seorang ustazah yang pintar dan hebat, bukan seperti gambara yang banyak dikenal dalam masyarakat selama ini. “Kalau naskah sudah pernah dipentaskan atau ditulis tentu kami cari hal baru untuk bisa kami garap. Yang lebih kami utamakan, memang cerita-cerita yang belum pernah ditulis atau dipentaskan,” ujar lelaki kelahiran 5 Januari 1959 ini.
Fenomena Masa Kini
Saat ditanya tentang fenomena masa kini, setidaknya masa milenial ini, Susilo memang mengagumi anak-anak muda sekarang. Dia menuturkan, dulu semasa dia muda, dalam berkesenian khususnya teater, tidak pernah berpikir kapan dan di mana akan pentas. “Sing penting latihan, terus latihan. Kalau ditanya kapan pentas, jawabnya embuh,” tuturnya.
Berbeda dengan anak-anak sekarang, semua yang dikerjakan jelas dengan target pasti. “Kalau misalnya latihan untuk pentas, ya jelas. Mereka memastikan kapan dan di mana pentasnya, dibutuhkan berapa lama untuk latihan. Semua serba pasti,” katanya.
Tetapi dia kemudian bertanya, apakah mereka juga merasa nikmat dengan hal semacam itu. Dan, itu terjadi hampir di semua bidang. Anak-anak muda melakukan sesuatu dengan tujuan yang jelas, waktu yang pasti, targetnya nyata. “Tetapi apakah mereka juga merasakan kenikmatan seperti yang kita alami dulu?” tanyanya.
Dia juga mencontohkan anaknya tidak suka dolan (bermain, jalan-jalan). Padahal, dolan itu juga suatu kenikmatan, sehingga dulu orang tua sering mencari anaknya yang tidak pulang-pulang karena dolan. “Lha kok anak sekarang dolan wae angel. Anak saya saya suruh dolan itu tidak mau. Dan suatu ketika dia pamit dolan bersama teman-temannya di mall. Dolan lagi ke mall lagi. Nikmatnya di mana coba?” ujarnya serius.
Dalam bidang kerajinan, dia juga mencontohkan, ada pengrajin yang tidak bisa menyelesaikan pesanan pada tenggat waktu yang ditentukan. Barangnya memang sudah jadi, tetapi belum sempurna. Bisa saja si pengrajin itu menyerahkan pesanan, walau keadaan belum sempurna, karen toh pemesannya tidak keberatan.
“Tetapi pengrajin itu bersikukuh, tidak mau menyerahkan, karena kualitas produknya belum sesuai, meskipun pemesannya tidak keberatan dan tetap mau membayar seuai harga yang disepakati. Lhi, ini kenikmatan bagi pengrajin itu, meskipun dia tidak segera menerima uang,” ujarnya.
Widiyartono R