blank
Genangan banjir yang terjadi di Jalan Raya Mayong-Kudus di Kecamatan Mayong, Jepara (Foto: Polres Jepara)

Oleh: Dr. Muh Khamdan

Bencana banjir yang melanda kawasan Jepara bagian selatan pada 6 Februari 2025 menjadi alarm keras bagi tata kelola lingkungan di daerah ini. Banjir yang merendam jalan raya Jepara-Kudus di Desa Sengon Bugel dan Pelang tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada faktor sistematis yang semakin memperparah kondisi lingkungan, salah satunya adalah perluasan kawasan industri di Kecamatan Mayong dan Kalinyamatan.

blank
Dr. Muh Khamdan.

Kecamatan Mayong, yang dulunya berfungsi sebagai kawasan resapan air, kini telah banyak berubah menjadi kawasan industri. Sejumlah pabrik besar, seperti PT Pakland World of Jepara, PT SAMI, PT Bomin Permata Abadi, PT Petrotlima Gresik, PT Inti Seni Dijaya, dan Mayong Square, telah berdiri dan terus berkembang. Perluasan kawasan industri ini tentu berdampak domino terhadap perubahan tata guna lahan. Tidak hanya pabrik, permukiman baru, pertokoan, serta fasilitas penunjang lainnya juga terus bertambah, semakin mempersempit ruang resapan air.

Tanah yang dulunya mampu menyerap air hujan kini tertutup oleh aspal, beton, dan bangunan. Akibatnya, ketika hujan deras turun, air yang seharusnya meresap ke dalam tanah menjadi limpasan permukaan yang cepat mengalir ke daerah yang lebih rendah, seperti Welahan, Mayong, dan Nalumsari. Sayangnya, sistem drainase di kawasan ini masih belum mampu mengimbangi peningkatan volume air yang ada.

BACA JUGA: Banjir Landa Jalur Jepara-Kudus, Polres Jepara Lakukan Rekayasa Lalu lintas

Dalam kondisi ideal, kawasan industri harus didukung dengan sistem drainase yang baik untuk mengelola limpahan air hujan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak kawasan industri yang berkembang pesat tanpa perencanaan drainase yang memadai. Akibatnya, air yang seharusnya dialirkan dengan baik malah menggenangi jalan, merendam pemukiman, dan bahkan memutus akses transportasi utama. Hal ini tampak jelas dalam peristiwa banjir di jalan raya Jepara-Kudus pada Februari ini.

Ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, air dengan cepat mengalir ke daerah yang lebih rendah tanpa pengaturan yang baik. Ditambah dengan sedimentasi sungai yang meningkat akibat erosi dari lahan yang terpapar pembangunan, aliran air menjadi semakin tidak terkendali. Hasilnya, wilayah seperti Mayong, Welahan, dan Nalumsari menjadi langganan banjir yang semakin parah dari tahun ke tahun.

Bencana tidak bisa menyalahkan alam, karena alam hanya berjalan sesuai kodratnya. Air harus meresap ke tanah atau mengalir dengan baik ke kawasan yang lebih rendah. Maka, solusinya bukanlah sekadar membangun tanggul atau meningkatkan kapasitas drainase semata, tetapi juga menata ulang kebijakan tata ruang yang lebih berorientasi pada keberlanjutan.

Pemerintah daerah dan pengembang kawasan industri harus dapat memastikan bahwa ekspansi yang dilakukan tidak mengorbankan keseimbangan lingkungan. Beberapa langkah yang perlu segera dilakukan meliputi memastikan penyediaan ruang terbuka hijau dan resapan air yang cepat. Kolam retensi dan sistem drainase berbasis alam untuk mengurangi limpasan air hujan mesti sudah ditetapkan untuk penanganan jangka panjang.

Restorasi kawasan resapan mesti ditetapkan bagi pengembang industri. Setiap pembangunan yang berpotensi menutup tanah sehingga mengurangi kapasitas serapan air, maka perlu kewajiban kompensasi ekologis, seperti penghijauan dan pembangunan sumur resapan. Hal demikian perlu diiringi adanya audit lingkungan. Evaluasi demikian sebagaimana auit menyeluruh terhadap dampak lingkungan dari pabrik-pabrik yang sudah berdiri, serta penegakan regulasi yang ketat terhadap pelanggaran tata ruang.

Tanpa langkah konkret dan kebijakan yang berpihak pada lingkungan, ancaman banjir di kawasan Jepara bagian selatan hanya akan semakin parah di masa mendatang. Pembangunan ekonomi memang penting, tetapi tanpa keseimbangan dengan aspek ekologis, kita hanya akan menuai bencana yang lebih besar. Pembangunan yang bijak bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan alam. Jika kita terus mengabaikan ruang resapan air demi industri, maka bukan hanya banjir yang akan datang, tetapi juga masa depan yang terancam. Saatnya membangun dengan hati, bukan hanya dengan beton.

(Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta; Pembina Paradigma Institute)