blank
Septina Nafiyanti saat dikukuhkan sebagai Ketua PWI Kabupaten Jepara (Foto: Dian Ardiansyah).

Oleh: Dr. Muh Khamdan

Terpilihnya Septina  Nafiyanti sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Jepara periode 2025-2028, bukan sekadar pergantian kepemimpinan dalam organisasi pers. Ini adalah momentum bersejarah bagi emansipasi perempuan di dunia jurnalistik Jepara, sebuah kota yang telah melahirkan tokoh-tokoh perempuan visioner seperti Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan RA. Kartini.

Berasal dari dunia pers kampus, Septi telah meniti jalan jurnalisnya sejak bergabung dengan LPM Paradigma IAIN Kudus dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Jawa Tengah. Perjalanannya berlanjut lebih dari 15 tahun sebagai wartawan di Suara Merdeka, salah satu media terkemuka di Jawa Tengah. Kini, sembari menempuh studi doktoral di Universitas Negeri Semarang, ia membawa visi besar, menjadikan jurnalisme sebagai alat perjuangan kesetaraan dan advokasi perempuan.

Jepara dan Tradisi Kepemimpinan Perempuan

Jepara bukan kota asing bagi pemimpin perempuan. Sejarah mencatat bagaimana Ratu Kalinyamat pada abad ke-16 dengan gagah berani melawan penjajah Portugis, menjadikan Jepara sebagai kekuatan maritim yang disegani. Jauh sebelumnya, Ratu Shima dikenal sebagai pemimpin yang tegas menegakkan keadilan pada abad ke-7. Dan tentu saja, RA. Kartini, yang pada awal abad ke-20 menggagas pemikiran revolusioner tentang pendidikan dan emansipasi perempuan.

Dalam jejak para pemimpin itu, Septi menapaki jalannya di ranah jurnalistik. Bukan sekadar pencatat peristiwa, melainkan sebagai penggerak perubahan. Kepemimpinannya di PWI Jepara akan menjadi panggung bagi isu-isu yang selama ini sering terpinggirkan, seperti ketimpangan gender, eksploitasi buruh perempuan, dan perlindungan perempuan dari kekerasan serta pelecehan seksual.

Meski Jepara dikenal sebagai kota yang memiliki sejarah panjang kepemimpinan perempuan, realitas sosialnya masih menyimpan berbagai tantangan. Dunia jurnalistik, baik secara nasional maupun di daerah, masih didominasi laki-laki, terutama dalam posisi kepemimpinan. Perempuan wartawan seringkali menghadapi hambatan struktural dan bias gender, baik dalam ruang redaksi maupun di lapangan. Septi, dengan posisinya kini, membawa harapan untuk menciptakan ekosistem media yang lebih inklusif bagi perempuan.

Jepara untuk terakhir ini mulai disorot tentang eksploitasi buruh perempuan dan hak-haknya. Jepara yang dulu dikenal sebagai pusat industri mebel dan kerajinan, kini telah tergantikan dengan pabrik garmen dan sepatu yang lebih banyak mempekerjakan tenaga buruh perempuan. Oleh karenanya, ada realitas buruh perempuan yang menghadapi eksploitasi, upah rendah, dan minimnya perlindungan sosial. Jurnalisme di bawah kepemimpinan Septi diharapkan mampu memberikan tekanan terhadap kebijakan yang lebih berpihak kepada buruh perempuan.

Septi yang dalam sejumlah advokasi jurnalistiknya fokus pada perlindungan perempuan dari kekerasan dan pelecehan seksual, diharapkan dapat mewarnai corak reportase jurnalis dalam naungan PWI. Pers harus menjadi garda terdepan dalam mengawal kebijakan perlindungan perempuan dan memastikan suara korban mendapat ruang. Jurnalisme yang sensitif gender bukan hanya soal pemberitaan, tetapi juga membangun sistem advokasi dan konsolidasi agar perempuan dapat berbicara tanpa takut akan stigma dan ancaman.

Membangun Jurnalisme Warga untuk Perempuan

Salah satu terobosan penting yang bisa dilakukan di era kepemimpinan Septi adalah membangun jurnalisme warga yang berbasis advokasi perempuan. Dengan kemajuan teknologi dan akses informasi yang semakin luas, perempuan di berbagai lapisan masyarakat bisa diajak untuk terlibat dalam produksi berita, baik melalui media arus utama maupun media alternatif.

Jurnalisme warga dapat menjadi wadah bagi perempuan di Jepara untuk menyuarakan isu-isu yang selama ini terabaikan, seperti hak-hak buruh perempuan, pendidikan anak perempuan, dan kesehatan reproduksi. Perempuan juga dapat menjadi watchdog terhadap kebijakan publik yang berdampak pada perempuan itu sendiri. Oleh karenanya, penting dilakukan peningkatan literasi media agar perempuan lebih memahami hak-haknya dalam menghadapi eksploitasi dan kekerasan.

Dengan segala tantangan yang ada, kepemimpinan Septi di PWI Jepara jelas membawa harapan besar. Ia bukan hanya simbol emansipasi perempuan di dunia pers, tetapi juga representasi dari semangat Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan RA. Kartini yang berani, tegas, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

Seperti halnya para perempuan pejuang di masa lalu, PWI tidak bisa berjalan sendiri. Dengan dukungan komunitas pers, aktivis, akademisi, dan masyarakat, jurnalisme Jepara bisa menjadi lebih inklusif, lebih berpihak pada keadilan, dan lebih berdaya untuk menciptakan perubahan nyata. Selamat untuk Septi, semoga menjadi inspirasi bagi perempuan meniti jalan juang sebagai insan pers.

Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta, serta mantan pemimpin redaksi dan pimpinan umum LPM Paradigma