R. Widiyartono
Desau Angin Mendesis
Desau mesin mendesis
Di luar redup sinar
Hanya awan hanya mega
Tebal putih mengelabu
Badan besar ini pun terguncang
Isi perutnya bergetar-getar
Sayap lebar membelah awan
Moncongnya menyibak angin
Agar tetap laju tetap melaju
Awan yang mengelabu mulai tampak putih
Dari lubang-lubang mega putih
Menyeruak warna biru penuh pengharapan
Bakal segera munculnya daratan
Mesin mendesis kian halus
Guncangan sesekali terasa
Bagai interlude dalam tembang
Datang sekilas lalu menghilang
Mega-mega berbentuk domba
Adalah hiasan angkasa
Dalam guncangan melena mata
Dan laut mulai tampak alunnya
Daratan menghijau makin nyata
Badan bersayap lebar ini pun
Menginjak daratan dengan sempurna
Tanpa tepuk tangan tanpa pujian
Karena itu adalah keniscayaan
Udara Ambon, 280622
Aku Datang Bumi Amboina
Matahari siang menyinari bumi Amboina
Dan laut bagai tak bergelombang
Angin pun tiada gelora
Setelah guncangan demi guncangan
Setelah lewat mega putih kelabu
Lalu langit pun membiru
Daratan kian tampak nyata
Hijau pohonan dan kemerlap bangunan
Lalu roda pun menjejak bumi
Mendaratlah dengan sempurna
Di bumi Amboina
AMQ, 280622
Percakapan di Teluk Baguala
Perempuan berwajah manis berkulit gelap
Berbincang sambil makan siang
Tentang anak, suami, dan keluarga bahagianya
Tentang keindahan tanah kelahiran
Yang ditinggalkan ke metropolitan
Lalu muncul kerinduan buat pulang
Kau juga bertutur tentang
Legenda urban Teluk Baguala
Tentang kisah Buaya Tembaga
Buaya lembut dan baik hati
Yang beralih rupa jadi daratan
Bentuknya mirip tubuh buaya
Bila dipandang dari Pantai Natsepa
Siang yang terik di bawah cerah biru langit
Di sela debur ombak yang menerjang pantai
Dan anak-anak yang memancing ikan baubara
Kutatap wajahmu dan kau tersipu
“Aku sudah tua,” katanya
“Tapi kau bagai empat tiga,” godaku.
Dia pun tertawa
“Aha, anakku tiga. Yang besar sudah lulus SMA”
Kami berdua tertawa
Mari kita mengucap syukur
Karena telah diberi kesempatan
untuk menjadi tua
Dan tetap mengasihi dan dikasihi keluarga
Natsepa, 172022
Cinta di Pantai Natsepa
Di kios yang berjajar sepanjang jalan
Di tepian Pantai Natsepa yang bening airnya
Penjual rujak dengan cekatan
Mengulek bumbu dan mengiris buah
Menaburinya dengan goreng kacang
Sambil minum air kelapa langsung dari buahnya
Menikmati segarnya dalam buai angin laut
Dan ombak yang tak henti mengecup dinding
Sesekali dengan cipratan airnya ke tubuh
Dua anak manusia turun ke air
Membasuh tubuh dan menari
Dalam derai ombak mereka berbincang
Tentang mereka tentang cinta
Hanyut dalam percumbuan asmaradahana
Sesekali kecupan lelaki mendarat di pipi
Si perempuan membalas ciuman di leher
Mereka mandi mereka berenang
Mereka memadu kasih di antara derai angin
Dan deburan ombak Pantai Natsepa
Kucecap rujak manis Natsepa
Sambil turut berdendang cinta
Oooooo Amboina aku jatuh cinta
Sm. 9112024
Jembatan Merah Putih
Lampu kemerlap dalam temaram malam
Sebuah kapal feri melintas membawa beban
Dan ombak pun berpendar menatap tepian
Sebuah ponton menuju keramba
Mengangkat tiga ekor bubara
Dan kembali merambati tambang
Ikan bubara dibersihkan
Dibakar dan siap disajikan
Amboi … Amboina
Keramahanmu tak tebayangkan semula
Sesedap dan lembutnya daging ikan bubara
Selembut hatimu serenyah sapamu
Aku senantiasa merinduimu selalu
Natsepa, 172022
Diorama Hamparan Kapas Putih
Kapas-kapas putih bertebar
Di atas karpet luas biru
Bagai diorama
Hamparan kapas bercerita
Ada serupa beruang dengan mulut menganga
Lalu gajah yang pendek belalainya
Monyet yang seakan melompat
Dari satu cabang ke cabang lainnya
Sedangkan yang serupa orang
Seakan tegak dengan wajah garang
Ada yang kepalanya bagai bermahkota
Laiknya dewa di dalam cerita
Sedang memberi petuah pada manusia
Itu cerita awan yang bertebaran
Di sepanjang perjalanan
AMQ-CGK 172022
R. Widiyartono, penulis, wartawan, penyuka perjalanan