blank

blankJC Tukiman Tarunasayoga

INI kisah anak seorang Camat, bukan anak Pak Lurah. Sudah memasuki semester ke sepuluh, Barep tidak kunjung memberi tanda-tanda bahwa kuliahnya akan segera selesai dan lulus. Sesekali ibunya bertanya: “Kapan ada ujian, Bar?” Dia pun marah-marah kepada ibunya sepanjang hari itu. Pagi marah, siang marah, sore marah lagi; namun tidak berani memarahi ibunya lagi manakala Pak Camat sudah berada di rumah.

Entah mengapa, Barep bertumbuh menjadi pemuda yang angkuh. Contoh marah kepada ibunya menjelaskan sikap angkuhnya itu: “Ibu tidak pernah kuliah sih; tidak usah mencampuri urusanku.”  Di kesempatan lain, manakala permintaan uang tidak terpenuhi, Barep komentar nylekit perihal status bapaknya sebagai Camat: “Menyesal saya sebagai anak Camat. Membiayai anaknya beli moge saja ngos-ngosan.”

Dalam kondisi galau lungkrah judheg, Pak Camat ketrucut, keceplosan berkisah tentang anaknya itu ketika ada tamu dosen dari  sebuah universitas. Omong punya omong, istri dosen itu ternyata  seorang dosen juga di universitas tempat Barep kuliah. Kebetulan juga, sang istri itu Kaprodi di program studinya Barep.

Berkat Tuhan “terbuka” mulai dari pertemuan itu. Pada kesempatan yang disepakati, Pak Camat dan istrinya  diperkenalkan dengan Bu Kaprodi, dan saat itu baru tahu duduk perkaranya, mengapa Barep tidak kunjung selesai kuliahnya.

Bu Kaprodi bersama dosen pembimbing berkisah di depan Pak dan Bu Camat: “Barep punika ladak kecengklak, Bapak-Ibu.” Pak Camat mak peng………….. bagaikan tertampar sandal jepit nan pedas-keras mendengar “polah” Barep yang ternyata bergaya sombong dalam setiap kali bimbingan kepada dosen.

Ladak

Seseorang disebut ladak, –contohnya Barep tadi- , apabila ia hampir selalu menampilkan dirinya congkak, sombong, songong, umuk . Dalam ungkapan Jawa sikap seperti itu disebut juga pambekan, bergaya ambek yaitu umuk,  merasa lebih tinggi dari siapa pun.

Maka ia tampil tidak ramah, orang lain harus menyapa duluan karena ia tidak akan mau menyapa siapa pun. Mendekat ke orang lain pun gengsi, karena sikap ambek-nya itu membisikkan kata-kata dalam hatinya: Ah, orang lain pasti akan mendekat kepada saya. Aku je!

Dalam konteks Barep, ia selalu umuk bahkan di hadapan dosennya, apalagi terhadap teman-teman. Selalu menjawab: “Minggu depan, Pak,” setiap kali bertemu dosen pembimbing; namun bila minggu depannya bertemu, Barep cerita baru saja dari Medan dua minggu mengurus bisnisnya bika Ambon. Lain kali cerita baru saja seminggu di Makassar belajar bisnis konro dan palubasa.

Nah ……itulah ladak kecengklak sebagaimana Bu Kaprodi dan dosen pembimbing tadi berkisah tentang Barep kepada bapak Camat dan istrinya. Arti ladak kecengklak ialah wong umuk, angkuh, nemahi kacilakan amarga kelakuane dhewe. Barep selalu tampil sombong bahkan menyombongkan diri di hadapan siapa pun (kecuali di hadapan bapak ibunya). Padahal senyatanya ia tidak melakukan apa-apa semisal bisnis bika ambon atau belajar membuat konro tadi. Di hadapan dosen pembimbing pun Barep juga bergaya “beres, Pak, minggu depan.”

Peternak yutun

Seorang peternak belasan sapi, selalu tampil bersahaja, yutun; dan sangat rajin setiap pagi-pagi beribadah di rumah ibadah. Suatu pagi, hujan sangat deras sudah sejak semalam; namun petani yutun itu tetap pergi ke rumah ibadah. Ia hadir satu-satunya karena tidak ada orang lain yang datang, padahal biasanya puluhan orang hadir.

Setelah menunggu sepuluh menit, pimpinan ibadah mendekati pak yutun sambal berucap: “Bagaimana  Pak, tidak ada yang akan datang lagi, kita tetap beribadah?” Peternak yutun itu menjawab: “Saya tidak tahu, saya hanyalah peternak, Tuan. Yang akan saya lalukan, apa pun yang terjadi, hujan prahara sekali pun, pada saatnya harus memberi makan, saya pasti memberi sapi-sapi itu makan.”

Mendengar jawaban itu, pemimpin ibadat itu ketus menjawab: “Tunggu,” seraya menuju ke ruang persiapan memimpin ibadat dengan dongkol hati.

Ibadat dilaksanakan amat berkepanjangan meski mereka hanya berdua. Segera setelah selesai ibadat, pimpinan ibadat itu mendatangi peternak yutun dan agak congkak bertanya: “Bagaimana, puas kan ibadat kita pagi ini?”

Peternak yutun itu menunduk menjawab: “Saya tidak tahu tuan, saya peternak biasa. Kalau saya harus memberi makan seekor sapi saja, pasti rumput segerobak tidak akan saya berikan semuanya. Permisi, tuan, berkat Tuhan.”

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University