blank
Ilustrasi. Foto: wied

Oleh Marjonoblank

 DI berbagai media belakangan ramai menurunkan tulisan, informasi, opini bahkan karikatur menyoal study tour dengan olus minusnya. Sebuah kegiatan komplementer, seperti halnya study tour bukanlah kewajiban, tapi ia lebih menjadi semacam tawaran dan kerelaan.

Jika study tour tour dirasa memberatkan, ya tak perlu dipaksakan untuk digelar apalagi menyangkut pungutan dari masyarakat. Sebaliknya, jika semua pihak sepakat dan tidak bermasalah, study tour tetap jalan, kenapa tidak.

Pasca kecelakaan bus wisata yang dengan penumpang siswa dan guru dari berbagai sekolah seperti SMK Lingga Kencana Depok, SMPN 3 Sleman, MIN 1 Pesisir Barat Lampung, kemudian SMP PGRI 1 Wonosari Malang, tak sedikit pihak yang menyayangkan, melarang study tour tapi juga banyak elemen yang mendukung dihelatnya agenda study tour.

Beberapa pihak menuding, study tour lebih pada otak bisnis para guru, study tour hanya menghabiskan uang bahkan juga menyerang sekolah terlampau teledor dalam memfasilitasinya karena menyangkut soal nyawa atau jiwa banyak orang. Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengatakan, dirinya setuju jika study tour dihilangkan. Menurutnya, jika study tour dilakukan ke tempat wisata, maka itu dinamakan healing, bukan study tour (Kompas, 16/5).

Pihak lain yang menguatkan juga beragumen selain ranah akademik, siswa juga butuh pemenuhan kebutuhan piskologis, salah satunya lewat study tour.  Mereka mendalilkan, study tour tak masalah, yang bermasalah itu kendaran dan atau crew busnya yang patut diuji kelayakannya.

Kita membaca di media, Wapres terpilih, Gibran Rakabuming Raka pun tak sepakat study tour dilarang, “Nggak masalah (study tour). Study tour justru jangan dihilangkan. Dia menilai aspek pengetatan terhadap armada transportasinya saja yang lebih diutamakan,” tandasnya (Tempo, 19/5).