Keduanya punya alasan pembenar masing-masing dan sah-sah saja. Pada tulisan ini hanya menawarkan opsi ataupun alternatif ketika study tour itu absen bahkan nihil karena pelarangan pihak terkait. Kalau tidak salah, dalam hemat penulis, wisata atau study tour itu tak lebih membeli cerita, kisah atau kenangan dengan segenap bumbu atau asesoris lainnya.
Setiap tahun, study tour selalu menerbitkan kisah yang berbeda. Untuk tahun ini, sekolah anak saya sendiri juga menggelar study tour, yang digagas sejak awal masuk sekolah, dananya dihimpun dengan cara menabung hingga tenggat waktu tertentu yang disepakati.
Ada pula yang menjajakan hasil karyanya ke masyarakat untuk sedikit menopang dana study tour, dll. Saya hanya melihat di akhir semester atau akhir tahun pelajaran mereka mengalami pembelajaran yang menyenangkan sesungguhnya di luar bangku sekolah. Banyak jalan menuju Roma, begitu sebagian kreativitas agar bisa ikut study tour.
Maka kemudian, kala study tour mendapatkan pelarangan, beberapa study lain bisa ditempuh meski sensasinya beda : pertama rmengajak siswa untuk melakukan live in. Agenda ini merupakan kegiatan pengembangan diri yang dirancang untuk memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda (status sosial ekonomi budaya) dalam kehidupan nyata.
Live in pada dasarnya memiliki manfaat sesuai dengan tujuan dilakukannya kegiatan, misalnya saja meningkatkan kepekaan sosial, meningkatkan hardiness (ketahanan), resiliensi, membentuk karakter positif, ataupun sarana pendidikan multikulturalisme.
Oleh karena itu, penentuan lokasi live in pun dipilih lokasi yang sungguh-sungguh tepat untuk tempat belajar hidup bagi anak, seperti sinyal yang susah, akses jalan yang tidak mudah, jauh dari keramaian, bahkan rumah penduduk yang tidak memiliki MCK yang representatif.
Selain itu, berkaitan dengan penempatan, satu rumah/kepala keluarga hanya akan ditempati satu siswa. Hal ini dimaksudkan agar siswa benar-benar menyatu dalam irama kehidupan keluarga tersebut. Live in, sekurangnya bisa menekan pengeluaran atau dapat menjadi pertimbangan kala berat di ongkos untuk sebuah sudy tour. Live ini akan lebih bernyawa kala dibarengi dengan agenda bhakti sosial, misalnya di wilayah kemiskinan ekstrem.
Studi berbeda juga dapat dlakukan, seperti melakukan wisata daring dengan beragam destinasi wisata edukasi, semisal kuliah virutual dengan melibatkan pengelola museum, perpustakaan nasional, carag budaya, taman nasional, keratin, istana presiden, lemhanas maupun berbagai kampus favorit dan sebagainya. Tentu saja, anak-anak bisa berinteraksi dengan dialog untuk mengekspolorasi pengetahuan dan membentangkan cita-citanya seraya mangasah diri dalam pembelajaran.
Ragam studi lain masih bisa dijulurkan, misalnya dengan mengundang para expert di bidangnya, penulis, pelaku bisnis, duta pariwisata, artis juga pelaku seni budaya lainnya. Di samping menarik anak-anak, banyak pelajaran berharga bisa ditangguk di luar tembok sekolah dengan varian tips dan strategi bagaimana untuk survive dalam menjelajahi terjalnya kehidupan. Karena kehidupan bukan saja menemukan diri kita sendiri tapi lebih pada bagaimana kita mampu menciptakan diri kita, utamanya dalam meraih masa depan.
Aktivitas studi lain yang barangkali tak kalah menarik adalah dengan mengintensifkan kegiatan penelitian/riset di masyarakat maupun riset yang berelasi dengan mata pelajaran di sekolah. Kita akui selama ini di wilayah sekolah masih miskin aktivitas riset.
Melalui riset, meskipun sederhana para siswa akan lebih awal memahami metodologi riset dipandu peran guru sekolah masing-masing. Dari berbagai agenda alternatif tersebut, mungkin bisa low budget jika disandingkan cost study tour dari Tegal, Solo atau Jogja ke Pantai Losari Makassar atau Senggigi NTB.
Suka tak suka, study tour hanya nama sebuah bunyi, cuma soal narasi, redaksional atau tajuknya saja yang variatif. Terbitnya pelarangan study tour di beberapa daerah, sekurangya akan turut berdampak pada dunia usaha hotel dan restoran dan pelaku pariwisata lainnya, seperti UMKM, Event Organizer Wisata, biro perjalanan, petani, hingga kelompok seni dan budaya, dan sebagainya
Kita pahami, negasi study tour bukan sebatas pandapatan asli daerah akan melorot, tapi juga melemahkan ekonomi masyarakat, apalagi seperti Jogja, Bali, Bandung, Solo dan kota lainnya yang acap menumpukan harapan PAD pada sektor pariwisata dalam dalam menyokong pembangunan daerahnya.
Jadi, jangan sampai berkembang asumsi bahwa study tour hanya bagian dari masalah tapi harus menjadi bagian atas solusi. Yang pasti study tour maupun, model studi lain dengan tetap mengikuti ketentuan, termasuk study tour online itu baper : bawa perubahan, sekurangnya bagi siswa kita.
Untuk itu, sekolah yang secara reguler tahunan menggelar study tour manajemennya perlu ditata sedemikian rupa, agar memberi daya ungkit produktif bagi siswa, sekolah dan masyarakat. Termasuk konsistensi pemerintah atas hingga bawah dalam merawat kebijakan dan role model para elit dengan atau tanpa study tour atau sebutan lainnya.
Harapan kita, dengan atau tanpa study tour harus berkemampuan dalam menjalin solidaritas sosial internal sekolah (bonding), tetapi juga menjembatani aspirasi sekolah, masyarakat dengan negara (bridging), dan bahkan membangun jejaring (networking) dan kerja sama yang meluas. Dengan demikian, ongkos besar yang harus kita bayar dalam the journey study tour atau studi lainnya itu menjadi sepadan dengan efek dominonya.
Lantas, apakah no study tour no cry hanya cukup layak di ketengahkan atau cukup layak dipilih pada aras sekolah apalagi pengambil kebijakan. Sumonggo.
Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah