blank
Tri Hutomo

Oleh : Tri Hutomo

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 secara serentak di 37 provinsi di Indonesia. Yang akan diselenggarakan pada 27 November 2024 untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, yang diantaranya adalah pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Jepara

Yang patut menjadi perhatian khusus adalah mengantisipasi adanya praktik oligarki disinyalir semakin menguasai sistem politik Indonesia saat ini. Salah satu praktik yang bisa terjadi pada Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tak terkecuali di Jepara Jawa Tengah, bisa menjadi ladang kontestasi potensial bagi praktik penghamba kalangan elite politik.

Ancaman oligarki dalam Pilkada Jepara, perlu diwaspadai karena pasangan pemimpin daerah yang terpilih dapat menjadi tangan kanan kelompok elite politik untuk mengambil  keuntungan. Tentunya hal tersebut akan mencederai hak asasi manusia warga negara dan berdampak pada terabaikannya hak-hak dasar yang semestinya diperoleh oleh masyarakat secara umum.

Buruknya pelayanan kesehatan, tidak meratanya akses pendidikan maupun bantuan sosial, adanya monopoli distribusi pupuk dan BBM bersubsidi, pembangunan infrastruktur yang tidak merata, maraknya tambang illegal, anomali pengelolaan sempadan pantai dan pemanfaatan tata ruang, merupakan beberapa contoh cermin pelayanan publik yang cukup menghawatirkan di wilayah Jepara.

Tentunya karena sebuah kepentingan terselubung, kaum elite politik akan berlomba-lomba mengucurkan dananya untuk mendanai pasangan potensial yang memiliki kesempatan besar untuk memimpin di daerah yang menjadi tujuan kekuasaanya. Tujuannya tak lain adalah untuk memperkuat serta menyelamatkan posisi politik mereka, mengamankan usaha abu-abu mereka atau untuk melancarkan upaya menambah pundi-pundi kekayaan.

Adanya fenomena seperti itu tak ayal akan mengesampingkan hak-hak warga negara. Belum lagi proses demokratisasi yang berbanding lurus dengan partisipasi civil society, dan penguatan oligarki berbanding lurus dengan pelemahan civil society.

Sebagai contoh kasus lingkungan yang terjadi di Karimunjawa, penguatan oligarki juga dapat menyempitkan ruang keterlibatan civil society dalam tata kelola SDA menyebabkan kebijakan tata kelola SDA justru meningkatkan potensi kerusakan lingkungan lebih dalam.

Dan ironisnya dari DPRD Jepara yang mempunyai kewenangan pengawasan atas kinerja Pemerintahan Kab. Jepara seolah tidak berdaya, bungkam dan pura-pura tidak tahu atas permasalahan-permasalahan yang terjadi.  Sehingga represi terhadap civil society yang memperjuangkan tata kelola SDA yang berkelanjutan banyak mengalami ancaman dan kriminalisasi, seperti yang dialami salah satu aktivis lingkungan di Jepara.

Kondisi tersebut akan menjadi satu keprihatinan kita bersama. Hak asasi manusia akan sangat terancam apabila praktik oligarki semakin berkembang. Proses politik di masa depan terlebih pilkada di Jepara ini tidak boleh mengesampingkan prinsip dan nilai hak asasi manusia secara umum, bukan hanya untuk kepentingan kelompok dan pribadi tertentu.

Kepala daerah yang nantinya terpilih, seharusnya menjadi ujung tombak pemenuhan hak asasi manusia, mampu melindungi hak asasi rakyatnya. Sehingga penting bagi pemilih untuk benar-benar menggunakan hak pilihnya secara tepat. Hasil proses politik tersebut akan berdampak sangat besar bagi masyarakat, khususnya dalam pemenuhan hak-hak masyarakat .

Dalam Pasal 39 (a) UU No. 10 /2016 tentang Pilkada misalnya, menjelaskan bahwa peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, artinya partai politik mempunyai kewenangan yang besar dan strategis untuk mengajukan pasangan calon. Sehingga Parpol menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai hak istimewa untuk melakukan proses rekrutmen dimulai dari proses penjaringan, seleksi, pencalonan dan pendaftaran calon kepala daerah.

Akan tetapi, apakah internal parpol cukup ‘sehat’ melahirkan pemimpin daerah?. Seharusnya sesuai Pasal 29 ayat (2) UU No. 2/2008 tentang Partai Politik menegaskan  bahwa rekrutmen Bakal Calon Kelapa Daerah (Balonkada) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD/ART dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun sampai saat ini tidak ada perangkat hukum yang jelas bagaimana tata cara dan prosedur yang dilakukan di tingkat parpol dalam menerima bakal calon, proses pendaftaran di parpol, tata cara seleksi, panitia seleksi dan sistem penilaian atau kriteria yang digunakan ditingkat parpol untuk menerima atau menolak bakal calon. Dengan kata lain, otonomi yang diberikan kepada parpol dalam rekrutmen Cakada tidak diikuti dengan aturan hukum yang jelas.

Bahkan undang-undang tersebut juga tidak menguraikan dengan rinci dan jelas tentang makna demokratis dan terbuka dalam proses rekrutmen dan hanya menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme internal parpol.

Sehingga dalam praktiknya pencalonan lewat parpol sering terdistorsi oleh praktik politik yang bukan saja tidak mengakomodasi aspirasi publik dalam penentuan calon, namun juga terjadi manipulasi aspirasi atas nama politik uang.

Pencalonan melalui parpol bukan lagi menjadi ajang kontestasi kapasitas dan kapabilitas, tetapi lebih pada ajang pertarungan modal/kapital. Maka dikhawtirkan Partai gagal menciptakan sistem rekrutmen yang demokratis dan terbuka dan hanya berfungsi sebagai ‘kendaraan’ bagi kelompok masyarakat khususnya yang berkantong tebal.

Dalam perhelatan pilkada 2024 di Jepara, sebagai masyarakat kita berharap fungsi  parpol sebagai agen rekrutmen politik (pintu pencalonan) bisa berjalan optimal. Jika pencalonan lewat parpol masih sangat didominasi nuansa oligarki elit parpol, dan kecenderungan memilih berdasarkan ukuran popularitas dan materi, maka bisa menimbulkan masyarakat semakin apatis terhadap partai politik. Karena sudah kehilangan ruh demokrasi yaitu “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, partai hanya berorientasi sekedar menang pilkada dan segelintir elit yang akan merasakan nikmatnya.

Dampak lebih jauh dari oligarki elit parpol adalah menjamurnya praktek politik uang dalam proses seleksi. Realitas ini terjadi karena faktor terpenting untuk mendapatkan “kendaraan” adalah kemampuan finansial kandidat untuk berbagai jenis pengeluaran,  mulai dari biaya “tiket” untu gabung ke partai pengusung, biaya mobilisasi massa, biaya saksi dan operasional lainnya.

Untuk menghilangkan oligarki elit politik dalam penetapan calon pilkada, harus dibentuk peraturan hukum yang menjadi dasar bagi parpol atau gabungan parpol melakukan seleksi bakal calon kepala daerah ditingkat partai politik. Setidaknya regulasi itu harus mengatur tentang agaimana system seleksi, panitia seleksinya, standart penilaian dan keharusan proses seleksi dilakukan secara demokratis dan terbuka.

Mekanisme demokratis dan terbuka juga harus dijelaskan dengan detail yang artinya parpol membuka diri, menginformasikan dengan benar dan jujur, memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat serta mempertanggung jawabkan proses dan hasil seleksinya. Parpol sebagai benteng pertama demokrasi jangan sampai jebol, dan  masyarakat sebagai benteng terakhir juga harus cerdas dalam menentukan pasangan calon kepala daerahnya.

Penulis adalah aktivis tinggal di Jepara