blank
Mikael Arteta menyebut, penentuan juara EPL musim ini akan ditentukan dengan poin tipis. Foto: arsenal

blankOleh: Amir Machmud NS

// sedekat itu batas tangan meraih/ setipis itu batas nyaris menerpa/ o, hari-hari arsenal/ akankah terus jadi pengejar/ atau terus selalu terhenti/ di batas nyaris/ dan hanya nyaris…//
(Sajak “Psikologi Arsenal”, Desember 2023)

SEKOMPLEKS itukah psikologi Arsenal untuk melewati “barrier mental” dan keluar dari “sindrom nyaris”?

Perjalanan kompetitif mereka penuh dengan segala kenyarisan. Dua musim terakhir nyaris memimpin klasemen sampai tuntas dan meraih trofi Liga Primer.

Semua kompetitor nyaris tak ada yang tidak diadang.

Nyaris mereka berlari meninggalkan dua rival utama: Liverpool dan Manchester City. Lalu nyaris pecah telor dengan meraih juara yang terakhir kali dirayakan pada musim 2003-2004.

“Sindrom nyaris” itu seakan-akan paradoks dengan “psikologi penantang” yang lazimnya menyemangati “mentalitas challenger” atlet atau tim “pengejar”.

Pada musim 2020-2021, 2021-2022, dan 2022-2023, Arsenal selalu punya momentum memimpin klasemen, meninggalkan para rival dengan jarak poin cukup jauh. “Meriam London” boleh dibilang sudah bersiap-siap merayakan titel, namun akhirnya terbenam dengan cara menyakitkan. Memimpin, terkejar, terbuntuti, terjajari, dan ujungnya terlewati.

Nah, bakal terulangkah sejarah dengan cara serupa, ketika kesempatan yang telah tergenggam dipunahkan oleh “psikologi nyaris” yang bahkan bagai menjadi “kutukan” bagi Bukayo Saka dkk?

Rivalitas Superketat
Tak salah bila Mikael Arteta menyebut penentuan juara EPL musim ini akan ditentukan dengan poin tipis, saking ketatnya persaingan dan perubahan konstelasi kekuatan.

Dan, ketika gelandang Declan Rice menyatakan Arsenal sekarang sudah lebih matang dibandingkan dengan musim sebelumnya, hal itu sejatinya bermakna motivatif untuk menghadapi kondisi-kondisi saling kejar dan saling menyalip di papan atas klasemen.

Musim 2022-2023 menjadi yang paling “nyaris”, ketika Arsenal berpacu dengan Manchester City. Walaupun sempat memimpin hingga beberapa pekan, Meriam London akhirnya menempati posisi kedua.

Peringkat itu lebih baik dari capaian musim 2021-2022 di posisi kelima di bawah City, Liverpool, Chelsea, dan Tottenham Hotspur. Dua musim sebelum era arsitek Mikael Arteta, Arsenal hanya menempati posisi ke-8.

Arteta adalah sosok pelatih muda yang seimpresif dan sekeren Pep Guardiola. Dia sempat menjadi “murid” Pep saat masih bermain untuk City. Filosofinya pun mirip, yakni permainan umpan pendek yang mengalir, menyerang, dan sedap dipandang. Media menyebutnya sebagai “Arteta-ball”.

Kemenyatuan mayoritas pemain sejak empat tahun terakhir menciptakan kematangan tersendiri. Performa tim mengingatkan pada kerancakan bermain era Arsene Wenger yang terakhir kali memberi trofi pada 2004.

Benteng terakhir, Aaron Ramsdale kokoh di bawah mistar, dilapis nama-nama paten di barisan bek: Kieran Tierney, Ben White, Takehiro Tomiyasu, dan Mohamad Elneny.

Di sektor gelandang, Arteta punya kedalaman skuad yang bisa diandalkan. Sebutlah nama-nama Declan Rice, Jorginho, Emile Smith Rowe, dan sang kapten Martin Odeegard.

Sedangkan barisan penggempur punya banyak alternatif: Gabriel Jesus, Kai Havertz, Bukayo Saka, Eddie N’Ketiah, Gabriel Martinelli, dan Leandro Trossard.

Kedalaman skuad inilah yang menjadi salah satu kunci performa Arsenal, walaupun dari sisi stabilitas dan mental Manchester City selalu lebih unggul.

Kecenderungan labilitas itu tampak muncul kembali pekan lalu, ketika Odegaard cs takluk 0-1 dari Aston Villa, tim yang beberapa hari sebelumnya mampu menghumbalangkan The Citizens.

Walaupun terjadi saling geser di klasemen atas, bagaimanapun musim ini menjadi kesempatan terbaik bagi Arsenal untuk mengulang capaian 2004.

“Psikologi nyaris”-lah yang harus bisa dicegah dengan eksplorasi pendekatan untuk memperkuat tekad dan mentalitas, ‘Kalau tidak sekarang, kapan lagi?”

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah