Media di Tengah “Ketenangan” Langit Politik
Oleh : Amir Machmud NS
KEGADUHAN di langit politik nasional telah berlalu, atau setidak-tidaknya makin mendingin, terutama setelah Presiden Joko Widodo memanggil nama-nama tokoh lalu mengumumkan susunan kabinetnya, pekan lalu.Kabinet seolah-olah menjadi ”ending”: parameter kolaborasi antarkekuatan dan antarkepentingan yang semula saling menggempur dan bersitegang.
Kalaupun muncul pro-kontra seputar pembagian kursi menteri, secara khusus hal itu menyangkut lawan politik utama kubu presiden terpilih dalam Pemilihan Presiden yang baru lalu. Partai Gerindra mendapat jatah kursi signifikan lewat Prabowo Subianto dan Edy Prabowo.
Dan, walaupun sepintas menimbulkan kecemburuan bagi parpol-parpol koalisi yang jelas “berkeringat”, namun itulah bentuk rekonsiliasi politik, yang realitasnya pasti bakal punya ekses dalampraktik-praktik demokrasi lima tahun ke depan.
Barang tentu, dinamika demokrasi yang bisa digambarkan terjadi juga bakal terkait dengan praktik bermedia. Dengan kekuatan oposisi yang menipis (PKS, PAN, dan kemungkinan Demokrat), harapan untuk melakukan kontrol yang sehat akan banyak bertumpu pada kekritisan media-media. Peran media, tentu tak terlepas dari elemen-elemen kritislain seperti kampus dan civil society.
Sanggupkah media menjadi kekuatan kritis yang sehat seperti amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengenai fungsi kontrol sosial? Apakah media justru ikut larut dalam atmosfer adhem-ayem ketika dua kubu yang semula saling bergebrak kini berangkulan menjadi satu kesatuan? Apakah mindset stabilitas yang boleh jadi muncul dalam benak gagasan Presiden Jokowi akan membawa bias berupa kemasifan sikap represi terhadap kekritisan kontrol media?
Mitra Kritis
Istilah mitra kritis boleh jadi mendekati kondisi ideal tentang tugas bersama elemen-elemen masyarakat, untuk bahu membahu menuju ke maslahat bagi publik. Ada kesadaran mengenai tujuan yang sama, yang tetap harus dijaga agar tidak melewati trek menyimpang.
Pada pemahaman seperti inilah wartawan dan media memainkan peran pengawalan. Dalam kondisi dua kekuatan berkolaborasi — ketika sebelum ini salah satu menjadi pengawas yang keras –, bisa saja lahirkombinasi big power yang tidak terkontrol. Maka kepada medialah ditumpukan harapan-harapan untuk tetap mengembangkan nalar kritis terhadap penyelenggaraan kekuasaan.
Artinya, praktik “koalisi baru” untuk menciptakan “ketenangan” dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan bukanlah tujuan utama. Kegaduhan dalam bentuk kekritisan untuk mengawal agar tujuan penyejahteraan rakyat betul-betul tercapai, tentu menciptakan sistem pengawasan yang bakal terasa lebih bermartabat.
Dalam praktik berdemokrasi yang berkeseimbangan antara yang berkuasa dan yang beroposisi, niscaya berlangsung perebutan ruang publik. Pada kondisi seperti dalam keriuhrendahan pilpres yang lalu, kematangan media betul-betul diuji. Misalnya untuk bersikap: mana pendapat yang layak diberi cukup ruang, dan mana statemen-statemen yang harus difilter atas nama kepentingan keberagaman dan kebhinekaan.
Independensi media, pada titik tertentu, tidak bisa hanya dimaknai sebagai iktikad memberi jarak dan ruang yang seimbang kepada kekuatan-kekuatan dengan kepentingan masing-masing, melainkan juga harus dipahami sebagai keberanian pilihan newsroom untuk memuat atau tidak memuat sebuah pernyataan dengan pertimbangan kepentingan yang lebih besar.
Ruang publik yang terepresentasi melalui pemanfgaatan space dan rubrikasi di media-media, pada ujungnya membutuhkan setting agar menjadi agenda forum dialog yang sehat menuju orientasi kemaslahatan bersama.
Maka apabila nalar kritis media kita satukan ke arah tujuan besar itu dan cara-cara mencapainya, kondisi establishyang diciptakan oleh penguasa dan kekuatan yang semula berhadapan di langit politik seperti sekarang, tidak boleh membuat media terlena. Tugas pengawalan merupakan peran kontrol sosial yang bahkan harus dilipatgandakan, jangan sampai permufakatan-permufakatan yang tanpa pengawasan justru menjadi bagian dari atmosfer “ketenangan”.
Lewat realitas kekuatan oposisi yang kini menipis itulah, sedikitnya media bisa terus menyampaikan amatan-amatan agar ketenangan di panggung kekuasaan tidak menciptakan bias keterlenaan. Peran itu, tentu saja butuh pengkolaborasian dengan kejernihan dunia akademis dan determinasi elemen-elemen kritis publik.
Justru dalam suasana seperti sekarang, iktikad peran media — bersama para mitra kolaboratif — menemukan ujiannya. (Amir Machmud NS, wartawan senior dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah).
Suarabaru.id