Oleh: Amir Machmud NS
// temukanlah kebanggaan/ di urat-urat kebangsaan/ di ruas pilihan jalan/ di titik keyakinan/ ketika hati menyatu/ mengikat rasa dan waktu//
(Sajak “Nation Pride”, 2023)
BIMA Sakti, atau Fachri Husaini?
Bima Sakti, atau Indra Sjafri?
Bima Sakti, atau Shin Tae-yong?
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan hendak menimbang siapa yang lebih kompeten di antara aset tim nasional Indonesia saat ini, namun justru menegaskan betapa PSSI kaya pilihan untuk berbagai kemungkinan pengelolaan timnas kelompok usia 17, 19, 23, dan senior.
Artinya, nikmatilah ini sebagai berkah, bukan justru potensi kecemburuan dan perpecahan, saling mencari kekurangan dan kelemahan. Yang harus digali dari empat nama itu adalah kelebihan, keunggulan, dan penjawab kebutuhan.
Penunjukan Bima Sakti — eks kapten PSSI Primavera 1990-an — yang memberi Piala AFF U16 2022, sempat memicu skeptisitas netizens. Bima dianggap kurang kompeten untuk event seakbar Piala Dunia, karena dalam Pra-Piala Asia saja tim asuhannya terhenti setelah kalah telak 1-5 dari Malaysia.
Faktor kematangan disebut-sebut menjadi titik kurang Bima, setidak-tidaknya ketika dibandingkan dengan Indra Sjafri dan STY.
Kekurangmatangan itu, misalnya, tampak dari ketidakberanian merotasi pemain, yang menyebabkan terjadi ketimpangan ketika salah satu pemain inti berhalangan. Atau, variasi taktik tidak tereksplorasi lewat para pemain cadangan yang kurang mendapat kesempatan.
Bima mendapat “privilese” dari PSSI, karena tim U17 yang sekarang adalah “anak-anaknya”. Dia yang paham betul detail tim juara AFF 2022 itu.
Yang melegakan, PSSI menugaskan coach Indra dan Shin sebagai pendamping. Artinya, sebagian kekhawatiran netizens terjawab, karena Bima Sakti akan didampingi “dewan syura” yang pasti memberi asupan-asupan berharga. Dalam seleksi awal pemain, dia juga disupervisi oleh Dennis Wise, legenda Chelsea yang mengarsiteki tim Garuda Select.
Mentalitas
Sejauh ini, Bima mengetengahkan pendekatan yang mirip dengan persuasi mental Indra Sjafri, yakni sentuhan tanggung jawab spiritual kepada para pemain.
Coach STY mengusung kesiapan fisik dan karakter, sementara Bima mentransformasi asupan mental dalam sikap disiplin spiritual. Sedangkan aksen Indra dan Fachri Husaini adalah menanamkan sikap “birrul walidain” dalam ungkapan rasa hormat pemain kepada pelatih.
Mencium tangan pelatih dalam pergantian pemain menjadi contoh transformasi sikap hormat itu. Para pemain juga dibiasakan mengekspresikan rasa syukur setiap kali tim memperoleh gol dan kemenangan.
Boleh jadi sisi-sisi ini dianggap sederhana, namun memuat makna spiritualitas yang dalam. Ada tanggung jawab besar pemain atas anugerah bakat dan kemampuan sebagai pemberian Tuhan dan tuntunan orang tua (pelatih).
Coach Bima sempat menjadi sorotan, ketika bersama asisten pelatih kiper meneriakkan kata “local pride” dalam momentum membawa Iqbal Gwijangge dkk menjuarai Piala AFF 2022.
“Ulah” ekspresional bersama asisten pelatih Markus Horison itu dianggap menyentil STY yang dari 2019 belum memberi satu trofi pun untuk timnas. Juga seperti “menyindir” proyek naturalisasi pemain yang gencar dalam empat tahun terakhir ini. Tim Bima Sakti seolah-olah menyampaikan dekonstruksi opini bahwa aset talenta-talenta lokal bisa meraih juara.
Untuk Dikenang
Piala Dunia U17 yang akan digelar pada November mendatang, bukan sekadar pelipur lara atas kegagalan Piala Dunia U20 di Indonesia, gara-gara ekspresi politik elite politik terkait Israel.
Event ini adalah tanggung jawab besar bangsa untuk mewujudkannya sebagai peristiwa olahraga yang bakal dikenang. Juga menorehkan sejarah bagi timnas remaja kita lewat penampilan yang membanggakan.
Media-media di sejumlah negara Asia Tenggara, yang notabene adalah rival Indonesia, memberi respons cenderung sinis. Mungkin pula itu adalah ungkapan iri, karena Indonesia berkesempatan menggelar event puncak sepak bola untuk anak-anak usia muda.
Sinisme itu sejatinya merupakan dorongan untuk membuktikan bahwa sepak bola Indonesia punya potensi untuk dibanggakan. Mampu menggelar turnamen dengan baik, sekaligus menampilkan performa tim yang tidak memalukan.
Ini, menurut saya, menjadi momentum menyatukan passion dari modalitas yang kita miliki. Nyatanya, kalah 0-2 dari juara dunia Argentina dalam FIFA matchday pada 19 Juni lalu menyisakan sejumlah catatan membanggakan.
Nah, kalau Muhammad Iqbal Gwijangge dkk mampu memberi suguhan yang patriotik, bahkan dengan hasil-hasil mantap, bukankah kita bakal makin mendapatkan suntikan rasa yang memacu kepercayaan diri sebagai bangsa?
Kita ciptakan nation pride, bukan pride-pride yang lain…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —