JEPARA (SUARABARU.ID) – Upacara tradisional Perang Obor yang diadakan setiap setahun sekali, jatuh pada hari Senin Pahing malam Selasa Pon bulan Besar atau Dzulhijah atau tanggal 5 Juni 2023. Ritual yang konon sudah dilakukan sejak 500 tahun lalu ini ini diadakan atas dasar kepercayaan masyarakat desa Tegalsambi terhadap peristiwa pada masa lampau yang terjadi di desa tersebut yaitu peperangan Ki Babadan dan Ki Gemblong. Kini ritual Perang Obor telah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda bangsa Indonesia
Tradisi perang obor ini kemudian dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Tegalsambi kepada Tuhan yang telah memberi rezeki kepada masyarakat Desa Tegalsambi melalui hasil pertanian dan juga usaha yang lain.
Sebelum acara perang obor dimulai, terlebih dahulu diadakan selametan di delapan tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Tegalsambi. Ritual ini dilakukan sejak awal bulan 1 Mei 2023 dengan ziarah ke makam Mbah Tegal, Mbah Gemblong, Mbah Sudi Moro, Kyai Babadan, Mbah Surgi Manis, Mbah Tunggul Wulung, Barikan Sorogaten, dan Mbah Towikromo
Setelah itu dilakukan penyembelihan seekor kerbau jantan muda yang belum parnah dipakai untuk membajak. Penyembelihan itu dilakukan di rumah Petinggi dan biasanya dilakukan oleh kebayan Leger desa ini. Sedangkan sesajen ditaruh di sebuah Kendil yang terdiri dari darah kerbau, jeroan, dan danging yang sudah dimasak. Sesaji ini konon diperuntukkan bagi para danyang yang dipercayai ikut menjaga keselamatan Desa Tegalsambi.
Tradisi Perang Obor akan digelar tanggal 5 Juni 2023. Sebelum api obor disulut pada, Petinggi Tegalsambi Agus Santoso diarak 40 pasukan yang membawa 350 obor. Prosesi ini dimulai dari rumah Petinggi hingga kepusat upacara di perempatan jalan tengah desa. Petinggi mengenakan pakaian adat Jawa diapit pawang api dan sesepuh desa.
Juga ada prosesi mengarak dua pusaka yaitu dua buah pedang yaitu pedang Gendir dan pedang Gampang serta sebuah arca, dan sebuah Bedug Dobol, yang dipercayai sebagai warisan Sunan Kalijaga kepada dua kebayan Leger Tegalsambi waktu itu. Kedua pedang kayu itu konon merupakan serpihan kayu dan potongan reng yang dipakai membangun Masjid Demak. Pusaka ini disimpan oleh Petinggi dan dua Kebayan Leger.
Tepat pukul 20.00 upacara perang obor dimulai. Para peserta memakai seragam khusus, bersepatu dan bertutup kepala. Doa-doa memohon keselamatan kepada Allah dan juga ijin dari danyang pun dilakukan. Kemenyan dibakar kemudian diiringi gending Kebo Giro, sebanyak 40 orang dari empat jurusan di jalan desa Tegalsambi berjalan menuju ke perempatan jalan. Mereka sejenak berdiri saling berhadapan dalam kondisi obor telah dinyalakan.
Tibalah saat ritual Perang Obor. Tiba-tiba dengan suara keras salah seorang pemimpin pasukan berteriak, serang… Mendengar teriakan itu, anggota pasukan lari dari empat arah berlawanan diperempatan jalan. Mereka bertemu ditengah dan langsung saling hajar. Api yang berkobar diujung obor mereka arahkan ke kepala lawannya.
Upacara berlangsung bukan hanya di perempatan desa tetapi juga di sepanjang jalan di sekitar perempatan. Diiringi sorak-sorak dan jerit ketakutan para penonton, mereka saling pukul dengan obor selama hampir satu jam. Percikan bunga api Perang Obor ini menjadi pemandangan yang begitu magis.
Seusai perang pasukan langsung menuju rumah Petinggi Tegalsambi. Diantara mereka dipastikan ada yang luka karena terbakar. Namun mereka tidak mengeluh atau merasa kesakitan. Sebab mereka tahu bahwa secara turun-temurun pengobatan untuk luka bakar karena perang obor dapat dilakukan oleh istri Petinggi dengan cara mengoleskan minyak londoh pada bagian yang luka. Anehnya, luka ini langsung sembuh seketika.
Secara turun-temurun setiap malam Jumat, Petinggi Tegalsambi dan 2 kebayan Leger selalu mengadakan ritual doa untuk keselamatan masyarakat di desa tersebut. Doa tersebut dilakukan secara rutin dan sungguh-sungguh Dalam ritual ini menggunakan sesaji kembang telon. Dengan tekun Petinggi Tegalsambi mengumpulkan bunga yang kering dan disimpan disebuah tempat khusus.
Jika waktu prosesi Perang Obor tiba, bunga kering ini kemudian dicampur dengan minyak kelapa asli dengan disertai doa dan laku khusus. Minyak inilah yang kemudian dikenal sebagai minyak londoh. Minyak londoh ini Oleh masyarakat setempat ini dipandang sebagai keajaiban dari doa yang tulus kepada Allah, hingga seketika dapat menyembuhkan luka bakar akibat ritual Perang Obor ( * )