JAKARTA (SUARABARU.ID) – Pencapaian target Net Zero Emission (NZE) Indonesia pada 2060 atau lebih cepat perlu disertai dengan peralihan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan.
Sayangnya, pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih terhalang kompetisi yang tidak setara dengan energi fosil yang sarat subsidi. Sementara, di berbagai negara, penurunan harga pembangkit energi terbarukan telah mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang signifikan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan berjudul Making Energy Transition Succeed: A 2023’s Update on The Levelized Cost of Electricity and Levelized Cost of Storage in Indonesia dan perangkat simulasi berbasis web yang dapat diakses oleh masyarakat, untuk memperkirakan biaya pembangkitan energi setiap teknologi pembangkitan dan penyimpanan energi.
Perhitungan biaya pembangkitan ini dapat membantu para pembuat kebijakan, pengembang energi terbarukan, investor, dan masyarakat luas dalam merencanakan pembangunan energi terbarukan dan menentukan pilihan-pilihan teknologi energi yang lebih murah secara biaya, dengan emisi GRK yang rendah.
Di Indonesia, perkembangan kapasitas energi terbarukan dalam lima tahun terakhir di bawah target yang direncanakan.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyampaikan, selama 2015 sampai 2021, kapasitas energi terbarukan bertambah rata-rata 400 MW atau kurang dari seperlima dari pertumbuhan yang seharusnya untuk mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025. Pada 2022, kapasitas pembangkit energi terbarukan bertambah 1 GW tapi masih jauh dari pertumbuhan seharusnya.
“Perkembangan energi terbarukan tidak signifikan karena adanya ketidaksesuaian level of playing field. Selama ini pembangkit energi terbarukan ini dianaktirikan dengan PLTU batubara. Terdapat pandangan bahwa batubara merupakan sumber energi paling murah. Padahal yang sebenarnya terjadi, listrik PLTU batubara murah karena ditopang oleh kebijakan DMO dan subsidi-subsidi lainnya mulai 2018,” jelas Fabby dalam rilis tertulisnya, Sabtu (25/3/2023).
Sementara itu, energi terbarukan tidak mendapatkan dukungan, malah harganya selalu diminta bersaing dengan listrik PLTU dan PLTG yang mendapatkan subsidi negara.
Analisis IESR menunjukkan harga pembangkit energi terbarukan semakin menurun dan kompetitif.
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berskala menengah memiliki biaya pembangkit rata-rata (Levelized Cost of Electricity, LCOE) yang paling rendah yakni sebesar 4,1 sen/kWh.
Di posisi kedua dan ketiga terendah secara berturut adalah Pembangkit Listrik Mini/Mikro Hidro (PLMTH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) senilai 4,9 sen/kWh dan 5,8 sen/kWh. Namun penghitungan biaya pembangkitan ini tidak memasukkan biaya penggunaan lahan dan biaya persiapan proyek, sehingga akan ada kemungkinan peningkatan LCOE setidaknya 6% untuk PLTA skala menengah, dan 18% untuk PLTS skala utilitas.