blank

Oleh Subchan Zuhri

Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara pemilu menjalankan tugas penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih angota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.

Penyelenggara pemilu yang dibagi menjadi tiga lembaga, yakni KPU, Bawaslu dan DKPP sebagaimana pasal 1 ayat (7) Undang-undang Pemilu di atas, mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban masing-masing. Begitu pula masing-masing mempunyai struktus penyelenggara yang dibentuk di tingkat bawahnya. Di KPU ada KPU Provinsi, KPU kabupaten/kota, panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan, dan ada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang bekerja di tingkat paling bawah, yakni di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Sementara di jajaran Bawaslu, ada Bawaslu Provinsi, Bawaslu kabupaten/kota, ada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) kecamatan, Panwaslu desa/kelurahan dan Penagawas TPS. Adapun di lembaga DKPP hanya dibentuk di tingkat pusat. Akan tetapi DKPP dalam melaksanakan tugas dapat membentuk tim pemeriksa daerah di tingkat provinsi yang bersifat ad hoc sebagaimana diatur di pasal 164 Undang-undang Pemilu.

Yang sedang ingin penulis sampaikan kali ini adalah, bahwa KPU tengah membentuk badan penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan, yakni PPK. Proses pembentukan PPK telah berlangsung, mulai dari pendaftaran, penelitian administrasi, pelaksanaan tes tertulis dengan metode computer assisted test (CAT) dan saat ini akan memasuki tahap wawancara.

Bagi yang sedang ingin menjadi penyelengara pemilu, baik yang sudah berpengalaman dari pemilu ke pemilu maupun yang baru akan mencoba menjadi, ingin saya sampaikan bahwa menjadi penyelenggara pemilu harus siap terima komplain dari manapun. Itu bagian risiko yang harus dari awal disipakan agar kelak tidak kaget lagi.

Komplain, protes, bahkan bisa berupa demontrasi kepada penyelenggara pemilu, pertama bisa datang dari peserta pemilu. Apabila penyelenggara pemilu dianggap tidak bersikap adil terhadap peserta pemilu, atau tidak bisa memenuhi “harapan” peserta pemilu, protes yang dialamatkan kepada penyelenggara adalah sesuatu yang sudah sering terjadi di setiap penyelenggaraan pemilu.

Kedua, protes bisa juga datang dari masyarakat, dalam hal ini pemilih. Penyelenggara pemilu punya tugas pelayanan baik kepada peserta maupun pemilih. Apabila penyelenggara pemilu tidak mampu memberikan layanan terbaik bagi pemilih dalam menggunakan hak konstitusinya, jangan kaget kalau masyarakat akan mengirim kado protes pada penyelenggara. Oleh karenanya hak konstitusi masyarakat dalam menggunakan pilihannya harus terlayani dengan baik.

Protes ketiga, bisa saja diberikan kepada penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU beserta jajaran penyelenggara ad hoc-nya dari sesama penyelenggara pemilu yakni jajaran Bawaslu. Bawasu memang punya tugas, wewenang dan kewajiban untuk mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu. Jika menemukan ada pelanggaran yang dilakukan oleh KPU dan jajarannya, tentu bisa memunculkan ‘komplain’ sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Tapi tentu beruntung bagi KPU dan jajarannya ada yang mengawasi, sehingga jika ada potensi salah ada yang mengingatkan. Yang justru rawan apabila suatu lembaga tidak ada yang mengawasi.

Selanjutnya komplain keempat bisa saja datang dari tentangga kita. Mengapa, ya menjadi penyelenggara pemilu di saat-saat tahapan sudah bertindihan ini, menjadikan kita jarang di rumah. Tentu banyak kegiatan kemasyarakatan akan terabaikan sementara. Jadi jarang hadir kumpulan RT, jarang menghadiri undangan hajatan tetangga, jarang bergaul seperti sebelum tahapan pemilu dimulai dan lainnya.

Dan yang kelima, komplain bisa datang dari orang terdekat kita, yakni keluarga. Sudah barang tentu, ketika berniat siap menjadi penyelenggara pemilu, harus paham tanggung jawab apa yang bakal diemban. Waktu bersama keluarga tentu akan semakin sempit. Tahapan pemilu berjalan terus berdasarkan hari kalender. Ingat tahapan berjalan berdasarkan hari kalender, bukan hari kerja. Artinya penyelenggaraan tahapan pemilu tidak terpengaruh hari libur nasional, mapun hari libur akhir pekan.

Komplain di atas bisa datang bergantian, bisa juga bersamaan. Sekali lagi ini risiko yang harus disiapkan khususnya bagi yang sedang akan berusaha menjadi penyelenggara pemilu.

Kalau boleh saya contohkan, dari yang selama ini melekat dengan penyelenggara pemilu tetapi tidak pernah komplain hanya kaos kaki dan daleman. Ini hanya karena saking sulitnya mencari siapa yang tidak pernah komplain. Kaos kaki yang selalu dipakai di dalam sepatu selama ini tak pernah protes gantian minta dipakai di luar. Begitu juga yang namanya daleman (pakaian yang dipakai di dalam). Mereka sadar, tugas, wewenang dan kewajibannya adalah melindungi bagian dalam. Meski kecut, berkahnya membuat bagian tubuh kita tak terlukan dan selalu nyaman.

Kembali ke kesiapan penyelenggara pemilu terima komplain, saya kira komplain, protes adalah sesuatu yang akan mewarnai perjalanan kita, dari siapapun, dari manapun dan kapanpun. Yang bisa dilakukan adalah bekerja dengan sebaik-baiknya dan jalin komunikasi dengan baik terhadap semua pihak karena komplain biasanya juga datang karena salah komunikasi.

*Subchan Zuhri, penulis adalah Ketua KPU Jepara